DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Minggu, 19 Agustus 2012

MENUJU SEHAT KARENA BERIMAN KEPADA ALLAH

WONOGIRI, VOICE OF WONOGIRI. (VOW). Apakah anda ingin  sehat? Jika iya maka berimanlah kepada Allah s.w.t. Orang yang beriman disayang Allah s.w.t, mungkin itulah sebabnya kemudian orang yang beriman juga memiliki kondisi kesehatan yang baik demikian salah satu pernyataanj yang ditulis oleh detik health. Nyatanya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang memiliki keyakinan dan keimanan yang teguh juga memiliki kondisi fisik yang lebih prima.

"Keyakinan terhadap agama bisa mengurangi stres, depresi, dan meningkatkan kualitas hidup," kata Dr Harold G. Koenig, profesor psikiatri dan ilmu perilaku di Duke University Medical Center seperti dilansir Medpagetoday.com, Minggu (19/8/2012).

Data sebuah penelitian yang dimuat American Journal of Health Promotion tahun 2005 menyimpulkan bahwa orang yang banyak berdoa lebih banyak mendapat manfaat kesehatan dengan cara menerapkan perilaku yang sehat, menjalankan antisipasi terhadap penyakit dan lebih puas terhadap pelayanan kesehatan.

Sebuah penelitian tahun 2006 yang dimuat British Medical Journal juga menemukan bahwa kehadiran dalam sebuah acara keagamaan ternyata berkaitan dengan penurunan risiko penyakit menular.

Menurut Koenig, adanya keyakinan beragama dan kegiatan spiritual berhubungan dengan risiko penyakit atau gangguan kesehatan yang lebih rendah, misalnya stres, penyakit kardiovaskular, tekanan darah, reaktivitas kardiovaskular, gangguan metabolisme serta dapat menjamin keberhasilan operasi jantung. Namun di sisi lain, Koenig juga memperingatkan bahwa cara kerja Tuhan ini tidak dapat diukur dengan cara dan metode apapun.

"Saya percaya bahwa doa efektif, tapi tidak berfungsi secara ilmiah dan tidak dapat diprediksi. Tidak ada alasan ilmiah atau teologis atas setiap efek dari keyakinan yang dapat dipelajari atau didokumentasi, seolah-olah Tuhan adalah bagian dari alam semesta yang dapat diprediksi. Ilmu pengetahuan tidak dirancang untuk membuktikan hal-hal yang supranatural," kata Koenig.

Selain itu, keyakinan terhadap agama juga telah dikaitkan dengan umur panjang, perkembangan penyakit kognitif yang lebih lambat dan penuaan yang sehat. Senada dengan Koenig, dr Robert A. Hummer, profesor sosiologi di University of Texas di Austin yang berfokus pada hubungan antara agama dan rendahnya risiko kematian juga memiliki pendapat yang sama.

Hummer merujuk sebuah penelitian yang melacak beberapa orang berusia 51 - 61 tahun selama 8 tahun untuk mendokumentasikan tingkat ketahanan hidupnya. Penelitian tersebut menemukan bahwa peserta yang tidak menghadiri acara keagamaan sama sekali memiliki kemungkinan 64 persen lebih tinggi mengalami kematian dibandingkan orang yang sering beribadah.

Yang terakhir, kenapa kita-ragu-ragu terhadap Allah s.w.t. Padahal jelas  IMAN KUNCI AMAN

SIKAP KITA SETELAH RAMADHAN BERLALU Penulis: Muhammad Al-Jabiri



SIKAP KITA SETELAH RAMADHAN BERLALU
 Penulis: Muhammad Al-Jabiri
Terjemah : Muhammad Iqbal Ghazali
Editor : Eko Abu Ziyad
SIKAP KITA SETELAH RAMADHAN BERLALU

          Wahai saudaraku, berikut ini adalah bebderapa sikap setelah Ramadhan berlalu

Sikap pertama:
          Hari-hari Ramadhan telah berlalu dan malam-malamnya telah pergi
Ramadhan telah selesai dan pergi untuk kembali lagi di tahun depan.     Ramadhan telah berlalu, bulan puasa dan shalat malam, bulan ampunan dan rahmat.
          Ramadhan telah berlalu, seolah-olah ia tidak ada.
          Wahai Ramadhan, apakah amal ibadah yang kusimpan padamu, apakah yang telah kutulis padamu dari rahmat (kasih sayang).
Ramadhan telah berlalu, di hati orang-orang shalih terasa kepedihan yang mendalam dan di dalam jiwa orang-orang abrar bagaikan terbakar.
          Bagaimana tidak demikian, pintu-pintu surga ditutup kembali dan pintu-pintu neraka dibuka kembali, serta jin-jin yang nakal dilepas kembali setelah Ramadhan.
          Ramadhan telah berlalu, andaikan aku tahu siapakah yang diterima (amal ibadahnya) maka kami memberikan ucapan selamat kepadanya, dan siapakah yang ditolak (amal ibadahnya) maka kami mengucapkan ta'ziyah kepadanya.
          Ramadhan telah berlalu, bagaimana setelah Ramadhan?
          Salafus shahih dari umat ini menjalani kehidupan di antara rasa takut dan harap.
          Mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah, maka apabila (Ramadhan) telah berlalu, salah seorang dari mereka merasakan kesedihan: Apakah Allah I menerima hal itu darinya ataukah menolaknya. Inilah keadaan salafus shalih, bagaimanakah keadaan kita?
          Demi Allah, sesungguhnya keadaan kita sangat aneh dan mengherankan.
          Maka demi Allah, shalat kita tidak seperti shalat mereka, puasa kita tidak seperti puasa mereka, sedakah kita tidak seperti sedakah mereka, dan zikir kita tidak seperti zikir mereka?
          Sungguh mereka bersungguh-sungguh dalam beramal, sempurna dan sangat baik. Kemudian setelah (Ramadhan) berlalu, salah seorang dari mereka merasa khawatir Allah I tidak menerima amal ibadahnya.
          Dan salah seorang dari kita sedikit beribadah, tidak mantap dan tidak sempurna. Kemudian ia berlalu dan kondisinya seolah-olah ia sudah mendapat jaminan diterima dan masuk surga.
          Wahai saudaraku, kamu harus hidup di antara rasa khauf (khawatir/takut) dan raja` (berharap). Apabila engkau teringat kekuranganmu dalam puasa dan shalat, engkau merasa khawatir Allah I tidak menerima amal ibadahmu. Dan apabila engkau memandang keluasan rahmat Allah I, dan sesungguhnya Allah I menerima sedikit dan memberi yang banyak atasnya, engkau berharap bahwa Allah I menerimamu bersama orang-orang yang diterima.

Sikap kedua:
          Sesungguhnya bagi segala sesuatu ada tandanya, dan para ulama menyebutkan bahwa di antara tanda diterimanya amal kebaikan bahwa hamba meneruskannya dengan amal kebaikan lainnya. Maka bagaimana keadaanmu setelah Ramadhan? Apakah engkau telah lulus dari sekolah taqwa di bulan Ramadhan lalu jadilah engkau termasuk orang-orang yang bertaqwa. Apakah engkau telah lulus dari bulan Ramadhan, sedangkan engkau tetap punya semangat untuk terus bertaubat dan istiqamah?
          Apakah kondisimu menjadi lebih baik setelah Ramadhan dari pada sebelum Ramadhan?
          Jika engkau seperti itu, maka pujilah Allah I. Dan jika tidak demikian, maka tangisilah dirimu wahai si miskin, kemungkinan amal ibadahmu tidak diterima, dan bisa jadi engkau termasuk orang-orang terhalang (dari rahmat), sedangkan engkau tidak mengetahui.
         
Pendirian yang ketiga:
Pembagian manusia setelah Ramadhan:
          Setelah Ramadhan, manusia terbagi menjadi beberapa golongan:
Pertama: golongan yang tetap berada di atas kebaikan dan taat, maka tatkala bulan Ramadhan tiba, mereka menyingsingkan lengan baju mereka, melipat gandakan kesungguhan mereka, dan menjadikan Ramadhan sebagai ghanimah Rabbaniyah (harta rampasan perang karunia Allah I) dan pemberian ilahiyah, memperbanyak kebaikan, menyongsong rahmat, menyusul yang terlewati, semoga ia mendapatkan anugerah. Maka tidaklah Ramadhan berlalu kecuali mereka telah memperoleh bekal yang besar, kedudukan mereka menjadi tinggi di sisi Allah I, kedudukan mereka bertambah tinggi di surga dan semakin jauh dari neraka.
          Mereka menyadari bahwa tidak ada acara santai bagi mereka kecuali di bahwa pohon thuba (surga), maka mereka mengerahkan jiwa ini di dalam taat.
          Mereka menyadari  sesungguhnya amal shalih tidak hanya terbatas di bulan Ramadhan, maka kamu tidak melihat mereka kecuali puasa satu kaum. Mereka selalu puasa enam hari di bulan Syawal, puasa hari Kamis dan Senin serta pada hari-hari putih. Air mata selalu membasahi pipi mereka di tengah malam, dan di waktu sahur istighfar mereka melebihi orang-orang yang penuh dosa. Mereka hidup di antara rasa khauf (khawatir/takut) dan raja` (mengharap), dan kondisi mereka adalah seperti yang difirmankan Allah I:
وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَا آتوا وَقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُوْنَ
(Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka …dan hati mereka selalu merasa takut bahwa mereka akan kembali kepada Rabb-mereka).
Dan di dalam as-Sunan, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata: 'Rasulullah r membaca ayat ini, lalu aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang yang mencuri, berzinah, meminum arak, dan mereka takut kepada Allah I.' Rasulullah r bersabda:
لاَ يَابْنَةَ الصَّدِّيْقِ, وَلكِنَّهُمْ قَوْمٌ يُصَلُّوْنَ وَيَصُوْمُوْنَ وَيَتَصَدَّقُوْنَ وَيَخَافُوْنَ أَنْ يَرُدَّ اللهُ عَلَيْهِمْ ذلِكَ.
 'Tidak wahai putri ash-Shiddiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang selalu puasa, shalat, bersedakah, dan merasa takut Allah I tidak menerima semua itu.'
Merekalah orang-orang yang diterima. Merekalah orang-orang yang terdahulu (Sabiquun). Merekalah orang-orang yang memerdekakan jiwa mereka dan putih catatan amal ibadah mereka. Maka sangatlah beruntung, kemudian sangat beruntung bagi mereka.

Kedua: golongan kedua: Golongan yang sebelum Ramadhan berada dalam kelalaian, lupa, dan bermain. Maka tatkala tiba bulan Ramadhan, mereka tekun beribadah, puasa dan shalat, membaca al-Qur`an, bersedekah, air mata mereka berlinang, dan hati mereka khusyu', akan tetapi setelah Ramadhan berlalu mereka kembali seperti semula, kembali kepada kelupaan mereka, kembali kepada dosa mereka.
Maka kita katakan kepada mereka:
Barangsiapa yang menyembah Ramadhan maka Ramadhan lebih mati dan barangsiapa yang menyembah Allah I maka sesungguhnya Allah I Maha Hidup dan tidak pernah mati. Sesungguhnya Yang menyuruhmu beribadah di bulan Ramadhan Dia-lah yang menyuruhmu beribadah di luar bulan Ramadhan.
Wahai hamba Allah:
          Wahai orang yang kembali kepada dosa-dosamu, maksiatmu, dan kelalaianmu: perlahanlah sebentar, berfirlah sejenak.
Bagaimana engkau kembali kepada keburukan, dan bisa jadi Allah I telah membersihkan engkau darinya.
Bagaimana engkau kembali kepada perbuatan maksiat, kemungkinan Allah I telah menghapusnya dari catatan amal perbuatanmu.
Wahai hamba Allah:
          Apakah Allah I memerdekakan engkau dari neraka lalu engkau kembali kepadanya. apakah Allah I memutihkan  catatan amalmu dari segala dosa dan engkau kembali menodainya?
Wahai hamba Allah:
          Aaah, andaikan engkau mengetahui, maksiat apakah yang engkau terjerumus di dalamnya. Aaah, andaikan engkau mengetahui, bala apakah yang menimpamu. Sungguh telah mengganti kedekatakan menjadi jauh, kecintaan menjadi kebencian.
Wahai hamba Allah:
          Hati-hatilah, janganlah engkau menjadi seperti wanita yang menghancurkan tenunannya setelah menjadi kuat.
          Janganlah engkau menghancurkan sesuatu yang telah engkau bangun. Janganlah engkau menodai sesuatu yang telah engkau putihkan. Janganlah engkau kembali kepada kelupaan dan maksiat. Demi Allah, sesungguhnya engkau tidak membahayakan kecuali kepada dirimu sendiri.
          Wahai hamba Allah, sesungguhnya engkau tidak mengetahui kapan engkau meninggal dunia, engkau tidak mengetahui kapan engkau meninggalkan dunia.
          Maka hati-hatilah bahwa kematian mendatangimu, sedangkan engkau telah kembali kepada perbuatan dosa dan maksiat. Ingatlah:
إِنَّ اللهَ لاَيُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتىَّ يُغَيِّرُوْا مَا بِأَنْفِسِهِمْ
 (Sesungguhnya Allah I tidak merubah suatu kaum sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka).
Maka rubahlah keadaanmu, tinggalkanlah dosa-dosamu, menghadaplah kepada Rabb-mu I sehingga Allah I menghadap kepadamu.

Ketiga: golongan ketiga: golongan yang datang dan perginya Ramadhan, kondisi mereka sama seperti keadaan mereka sebelumnya. Tidak ada sesuatu pun yang berubah dari mereka. Tidak ada perkara yang berganti. Bahkan, kemungkinan dosa mereka bertambah, kesalahan mereka menjadi lebih besar, catatan amal mereka bertambah hitam, dan leher mereka bertambah menyala ke neraka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar merugi.  Mereka hidup seperti kehidupan binatang. Mereka tidak mengenal untuk apa mereka diciptakan, terlebih-lebih mengenal kebesaran dan kehormatan Ramadhan. Sungguh, aku mendengar –demi Allah- salah seorang dari mereka bersenang-senang dan terang-terangan tidak puasa di siang hari bulan Ramadhan. Untuk golongan seperti ini tidak ada daya kecuali mendoakan mereka agar bertaubat yang nashuh, taubat yang tulus, dan barangsiapa yang bertaubat niscaya Allah I menerima taubatnya.
          Wahai saudaraku, berikut ini beberapa ungkapan salafus shalih dari umat ini, demi Allah, sesungguhnya ucapan mereka sedikit akan tetapi menghidupkan hati. Abu Darda` t berkata: 'Jika salah seorang darimu ingin melakukan safar, bukanlah ia mencari bekal yang cukup untuknya? Mereka menjawab: Tentu. Ia berkata: 'Safar di hari kiamat lebih jauh, maka ambillah yang pantas untukmu. Berhajilah untuk perkara-perkara besar. Berpuasalah di satu hari yang panasnya yang luar biasa untuk panasnya di hari dikumpulkan (hari kiamat). Shalatlah dua rekaat di kegelapan malam untuk bekal di kegelapan kubur. Sedakahlah secara rahasia untuk hari yang berat.'
Al-Hasanul Bashri berkata: Sesungguhnya Allah I menjadikan Ramadhan sebagai arena pertandingan untuk makhluk-Nya, mereka saling berlomba padanya untuk taat kepadanya, maka satu kaum mendahului maka mereka menang, dan yang lain ketinggalan maka mereka rugi. Maka sangat mengherankan pemain yang tertawa di hari yang menang padanya orang-orang yang berbuat baik dan merugi orang-orang yang berbuat batil.'
Ya Allah, jadikanlah apa yang kami katakan sebagai hujjah untuk kami, bukan sebagai malapetaka atas kami.
         
         


           

Sabtu, 18 Agustus 2012

Remaining Steadfast After Ramadhan

Sufyan ibn 'Abdullah radiallahu 'anhu said: "O Messenger of Allah, tell me something about Islam, which I cannot ask anyone else besides you." He said: "Say: 'I believe in Allah' and then be steadfast (upon that)." [Sahih Muslim 38]
The hadith is proof that the servant is obligated, after having iman in Allah, to persevere and be steadfast upon obeying Him by performing the obligatory acts and avoiding the prohibited ones. This is achieved by following the Straight Path, which is the firm Religion without drifting away from it, to the right or to the left.
If the Muslim lives through Ramadhan and spent his days in fasting and his nights in prayer and he accustomed himself to doing acts of good, then he must continue to remain upon this obedience to Allah at all times. This is the true state of the slave, for indeed, the Lord of the months is One and He is ever watchful and witnessing over his servants at all times.
Indeed, steadfastness after Ramadhan and the rectification of one's statements and actions are the greatest signs that one has gained benefit from the month of Ramadhan and striven in obedience. They are tokens of reception and signs of success.
Furthermore, the deeds of a servant do not come to an end with the end of a month and the beginning of another, rather they continue and extend until he reaches death. Allah says:
"And worship your Lord until the certainty (death) comes to you." [Al-Qur'an 15:99]
If the fasting of Ramadhan comes to an end, then indeed the voluntary fasting is still prescribed throughout the entire year. If standing in prayer at night during Ramadhan comes to an end, then indeed, the entire year is a time for performing the night prayer. And if the Zakat ul-Fitr comes to an end, then there is still the Zakah that is obligatory as well as the voluntary charity that lasts the whole year. This goes the same for reciting the Qur'an and pondering over its meaning as well as every other righteous deed that is sought, for they can be done at all times. From the many bounties that Allah has bestowed upon his servants is that He has placed for them many different types of righteous acts and provided many means for doing good deeds. Therefore, the ardor and zeal of the Muslim must be constant and he must continue to remain in the service of his Lord.
It is unfortunate to find that some people perform worship by doing different types of righteous deeds during Ramadhan. They guard strictly upon their five daily prayers in the masjid, they recite the Qur'an a lot and they give in charity from their wealth. But when Ramadhan comes to an end, they grow lazy in their worship. Rather, sometimes they even abandon the obligations, both generally, such as praying in congregation, and specifically, such as praying the fajr prayer.
And they commit forbidden acts such as sleeping over the time of prayers, indulging in places of foolishness and entertainment, and mingling in parks, especially on the day of 'Eid. Obtaining help from these evils is only through the grace of Allah. Thus, they demolish what they have constructed and destroy what they have established. This is an indication of deprivation and a sign of perdition. We ask Allah for His safeguarding and protection.
Indeed, this type of people take the example of turning in repentance and ceasing from committing evil deeds as something specific and restricted to the month of Ramadhan. And they stop doing these (good) acts when the month stops. Thus, it is as if they have abandoned sinning for the sake of Ramadhan, and not out of fear of Allah. How terrible is the state of these people, who do not know Allah, except in Ramadhan!
Truly, the success that Allah grants His servant lies in the fasting of Ramadhan. His assisting him to do that is a great favor, thus the calls for the servant to be grateful to his Lord. This understanding can be found in the statement of Allah after completing the favor of the month of fasting:
"(He wants that you) must complete the same number of days, and that you must magnify Allah (by saying Allahu Akbar) for having guided you, so that you may be grateful to Him." [Al-Qur'an 2:185]
The one who is grateful for having fasted, will remain upon that condition and continue to perform righteous deeds. Verily, the true way of the Muslim is that of one who praises and thanks his Lord for giving him the ability to fast and make qiyam. His condition after Ramadhan is better than it was before Ramadhan. He is more receptive to obey, desiring to do good deeds and quick to enforce the obligatory acts. This is because he has gained benefit from this prominent institute of learning. It is that of one who fears for having his fast not accepted, for indeed Allah only accepts from those who fear Him. The righteous predecessors would struggle to complete and perfect their deeds, hoping afterwards, that it would be accepted and fearing that it would be rejected. From the reports of 'Ali, "Be more concerned with having your deeds accepted than the deed itself. Did you not hear Allah say: 'Verily Allah, only accepts those from those who fear Him. (i.e. possess taqwa).' [Al-Qur'an 5:27]" [Lata'if al-Ma'arif, p. 246]
'A'ishah said: "I asked the Messenger of Allah concerning the ayah: 'And the one who are given what they are given and their hearts tremble with fear.' Are they the ones who drink alcohol and steal?" He said: "No, O daughter of as-Siddiq. Rather, they are the ones who fast and pray and give in charity yet fear that it won't be accepted from them. They are the ones who rush to do good deeds and they are the first to do them." [Sahih Sunan at-Tirmidhi 3/79-80]
So be warned and again be warned of turning backward after having attained guidance of going astray after persevering. And ask Allah to provide you with duration in doing righteous deeds and continuity in performing good acts. And ask Allah that He grant you a good end, so that H

Tips for Brilliant Writing


 Tips for Brilliant Writing

The ways you can start sounding brilliant as the following:
1. Have something to say
This makes writing easier and faster. When you have nothing to say, you are forced to write sentences that sound meaningful but deliver nothing.
Read widely. Take notes. Choose your subjects wisely. Then share your information with readers.
2. Be specific
Consider two sentences:
·         I grow lots of flowers in my back yard.
·         I grow 34 varieties of flowers in my back yard, including pink coneflowers, purple asters, yellow daylilies, Shasta daisies, and climbing clematis.
Which is more interesting? Which helps you see my back yard?
3. Choose simple words
Write use instead of utilize, near instead of close proximity, help instead of facilitate, for instead of in the amount of, start instead of commence.
Use longer words only if your meaning is so specific no other words will do.
4. Write short sentences
You should keep sentences short for the same reason you keep paragraphs short: they’re easier to read and understand.
Each sentence should have one simple thought. More than that creates complexity and invites confusion.
5. Use the active voice
In English, readers prefer the SVO sentence sequence: Subject, Verb, Object. This is the active voice.
For example:
Passive sentences bore people.
When you reverse the active sequence, you have the OVS or passive sequence: Object, Verb, Subject.
For example:
People are bored by passive sentences.
You can’t always use the active voice, but most writers should use it more often.
6. Keep paragraphs short
Look at any newspaper and notice the short paragraphs.
That’s done to make reading easier, because our brains take in information better when it’s broken into small chunks.
In academic writing, each paragraph develops one idea and often includes many sentences. But in casual, everyday writing, the style is less formal and paragraphs may be as short as a single sentence or even a single word.
See?
7. Eliminate fluff words
Qualifying words, such as very, little, and rather, add nothing to your meaning and suck the life out of your sentences.
For example:
It is very important to basically avoid fluff words because they are rather empty and sometimes a little distracting.
Mark Twain suggested that you should “Substitute damn every time you’re inclined to write very; your editor will delete it and the writing will be just as it should be.”
8. Don’t ramble
Rambling is a big problem for many writers. Not as big as some other problems, such as affordable health insurance or the Middle East, which has been a problem for many decades because of disputes over territory. Speaking of which, the word “territory” has an interesting word origin from terra, meaning earth.
But the point is, don’t ramble.
9. Don’t be redundant or repeat yourself
Also, don’t keep writing the same thing over and over and over. In other words, say something once rather than several times. Because when you repeat yourself or keep writing the same thing, your readers go to sleep.
10. Don’t over write
This is a symptom of having too little to say or too much ego.
Put your reader first. Put yourself in the background. Focus on the message.
For example:
You can instantly and dramatically improve your blog writing skills and immediately explode your profits and skyrocket your online success by following the spectacular, simple, and practical tips found in this groundbreaking new free blog post.
11. Edit ruthlessly
Shorten, delete, and rewrite anything that does not add to the meaning. It’s okay to write in a casual style, but don’t inject extra words without good reason.
To make this easier, break your writing into three steps: 1) Write the entire text. 2) Set your text aside for a few hours or days. 3) Return to your text fresh and edit.
None of us can ever be perfect writers, and no one expects us to be. However, we can all improve our style and sound smarter by following these tips and writing naturally.

Quotes on Happines


Quotes on Happines
Do you want to be successful, you must be happy first...and  take these quotes
Most people would rather be certain they're miserable, than risk being happy.
Robert Anthony

But what is happiness except the simple harmony between a man and the life he leads?
- Albert Camus

The best way to cheer yourself up is to try to cheer somebody else up.
Mark Twain

Happiness is when what you think, what you say, and what you do are in harmony.
- Mahatma Gandhi

Action may not always bring happiness, but there is no happiness without action.
- Benjamin Disraeli

Happiness is not a destination. It is a method of life.
Burton Hills

Happiness is that state of consciousness which proceeds from the achievement of one's values.
- Ayn Rand

Nobody really cares if you're miserable, so you might as well be happy.
Cynthia Nelms

Most folks are about as happy as they make up their minds to be.
- Abraham Lincoln

The foolish man seeks happiness in the distance, the wise grows it under his feet.
- James Oppenheim

I don't know what your destiny will be, but one thing I do know: the only ones among you who will be really happy are those who have sought and found how to serve.
- Albert Schweitzer

Happiness depends upon ourselves.
- Aristotle

The road to happiness lies in two simple principles; find what interests you and that you can do well, and put your whole soul into it - every bit of energy and ambition and natural ability you have.
John D Rockefella

Success is not the key to happiness. Happiness is the key to success. If you love what you are doing, you will be successful.
- Albert Schweitzer

Many persons have a wrong idea of what constitutes true happiness. It is not attained through self-gratification but through fidelity to a worthy purpose.
- Helen Keller

You will never be happy if you continue to search for what happiness consists of. You will never live if you are looking for the meaning of life.
- Albert Camus

When you relinquish the desire to control your future, you can have more happiness.
- Nicole Kidman (in The Scotsman)

What sunshine is to flowers, smiles are to humanity. These are but trifles, to be sure; but, scattered along life's pathway, the good they do is inconceivable.
Joseph Addison
Lebaran yang dinanti tinggal beberapa saat lagi. Kumandang takbir mengingatkan kita masa kecil dulu, hari penuh ceria  nan  bahagia.  Lebaran adalh uang fitrah. Uang Fitrah sebenarnya tidak seberapa, namun rasa bangga yang  tiada tara bila kita menerimanya.

Kini aku  sudah semakin tua, anak-anakku empat jumlahnya. Kehidupan mereka jauh  lebih bahagia dari masa kecilku. Kini aku ragi apakah kiehidupan anak-anaku bisa lebih baik dari kehidupanku.

Tiap hari aku berdoa, nantinya mereka bisa hidup bahagia. Kubekali dengan nasihat biar mereka menjadi manusia sholih dan sholihat.


TANGISAN "SELAMAT TINGGAL RAMADLAN 2012 M"

Tangisan itulah yang dirasakan Rasulullah dan para sahabatnya  ketika akan meninggalkan bulan ramadlan. Rasulullah adalah pribadi  yang terpelihara dari dosa, para sahabatnya adalah umat nabi yang terbaik karena sifat mulianya. Mereka semua orang-orang yamg mulia namun merasa diri mereka  belum maksimal dalam beramal di bulan ramadlan.

Kita sebagai manusia biasa yang masih berlumur dosa sering melewatkan ha-hal yang memberikan ampunan dan pahala  luar biasa di bulan ramadlan di tahun ini, kita terlena dengan kehidupan yang menipu. Ramadlan berlalu, kita kehilangan  greget mohon ampunan Allah s.w.t. . Pahala kitapun  tidak  dimaksimalkan. Dan tanpa menyesal atas kelemahan, dan dosa.

Sikap rasulullah s.a.w dan sahabatnya di akhir bulan ramadlan alam  suatu riwayat: “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya.”

Waktu terus bergulir dari detik ke detik, dari menit ke menit, dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu…. Rasanya baru kemarin kita begitu bersemangat mempersiapkan diri untuk memasuki bulan Ramadhan, bulan tarbiyah, bulan latihan, bulan Quran, bulan maghfirah, bulan yang penuh berkah. Namun beberapa saat lagi, Ramadhan akan meninggalkan kita, padahal kita belum optimal melaksanakan qiyamul lail kita, belum optimal membaca Al-Quran serta belum optimal melaksanakan ibadah-ibadah lain, target-target yang kita pasang belum semuanya terlaksana. Dan kita tidak akan pernah tahu apakah kita masih dapat berjumpa dengan Ramadhan berikutnya.

Bagi para salafush shalih, setiap bulan Ramadhan pergi meninggalkan mereka, mereka selalu meneteskan air mata. Di lisan mereka terucap sebuah doa yang merupakan ungkapan kerinduan akan datangnya kembali bulan Ramadhan menghampiri diri mereka.

Orang-orang zaman dahulu, dengan berlalunya bulan Ramadhan, hati mereka mejadi sedih. Maka, tidak mengherankan bila pada malam-malam terakhir Ramadhan, pada masa Rasulullah SAW, Masjid Nabawi penuh sesak dengan orang-orang yang beri’tikaf. Dan di sela-sela i’tikafnya, mereka terkadang menangis terisak-isak, karena Ramadhan akan segera berlalu meninggalkan mereka.

Ada satu riwayat yang mengisahkan bahwa kesedihan ini tidak saja dialami manusia, tapi juga para malaikat dan makhluk-makhluk Allah lainnya.

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda, “Di malam terakhir Ramadhan, menangislah tujuh petala langit dan tujuh petala bumi dan para malaikat, karena akan berlalunya Ramadhan, dan juga keistimewaannya. Ini merupakan musibah bagi umatku.”

Kemudian ada seorang sahabat bertanya, “Apakah musibah itu, ya Rasulullah?”
“Dalam bulan itu segala doa mustajab, sedekah makbul, segala kebajikan digandakan pahalanya, dan siksaan kubur terkecuali, maka apakah musibah yang terlebih besar apabila semuanya itu sudah berlalu?”

Ketika mereka memasuki detik-detik akhir penghujung Ramadhan, air mata mereka menetes. Hati mereka sedih.Betapa tidak. Bulan yang penuh keberkahan dan keridhaan Allah itu akan segera pergi meninggalkan mereka. Bulan ketika orang-orang berpuasa dan menghidupkan malam-malamnya dengan ibadah. Bulan yang Allah bukakan pintu-pintu surga, Dia tutup pintu-pintu neraka, dan Dia belenggu setan. Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya ampunan, dan akhirnya pembebasan dari api neraka. Bulan ketika napas-napas orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada minyak kesturi. Bulan ketika Allah setiap malamnya membebaskan ratusan ribu orang yang harus masuk neraka. Bulan ketika Allah menjadikannya sebagai penghubung antara orang-orang berdosa yang bertaubat dan Allah Ta’ala.

Mereka menangis karena merasa belum banyak mengambil manfaat dari Ramadhan. Mereka sedih karena khawatir amalan-amalan mereka tidak diterima dan dosa-dosa mereka belum dihapuskan. Mereka berduka karena boleh jadi mereka tidak akan bertemu lagi bulan Ramadhan yang akan datang.
Suatu hari, pada sebuah shalat ‘Idul Fithri, Umar bin Abdul Aziz berkata dalam khutbahnya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah berpuasa karena Allah selama tiga puluh hari, berdiri melakukan shalat selama tiga puluh hari pula, dan pada hari ini kalian keluar seraya memohon kepada Allah agar menerima amalan tersebut.”

Salah seorang di antara jama’ah terlihat sedih.Seseorang kemudian bertanya kepadanya, “Sesungguhnya hari ini adalah hari bersuka ria dan bersenang-senang. Kenapa engkau malah bermuram durja? Ada apa gerangan?”
“Ucapanmu benar, wahai sahabatku,” kata orang tesrebut. “Akan tetapi, aku hanyalah hamba yang diperintahkan oleh Rabb-ku untuk mempersembahkan suatu amalan kepada-Nya. Sungguh aku tidak tahu apakah amalanku diterima atau tidak.”

Kekhawatiran serupa juga pernah menimpa para sahabat Rasulullah SAW. Di antaranya Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Diriwayatkan, di penghujung Ramadhan, Sayyidina Ali bergumam, “Aduhai, andai aku tahu siapakah gerangan yang diterima amalannya agar aku dapat memberi ucapan selamat kepadanya, dan siapakah gerangan yang ditolak amalannya agar aku dapat ‘melayatnya’.”

Ucapan Sayyidina Ali RA ini mirip dengan ucapan Abdullah bin Mas’ud RA, “Siapakah gerangan di antara kita yang diterima amalannya untuk kita beri ucapan selamat, dan siapakah gerangan di antara kita yang ditolak amalannya untuk kita ‘layati’. Wahai orang yang diterima amalannya, berbahagialah engkau. Dan wahai orang yang ditolak amalannya, keperkasaan Allah adalah musibah bagimu.”

Imam Mu’alla bin Al-Fadhl RA berkata, “Dahulu para ulama senantiasa berdoa kepada Allah selama enam bulan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Kemudian mereka juga berdoa selama enam bulan agar diterima amal ibadah mereka (selama Ramadhan).”

Wajar saja, sebab, tidak ada yang bisa menjamin bahwa tahun depan kita akan kembali berjumpa dengan bulan yang penuh berkah, rahmat, dan maghfirah ini. Karenanya, beruntung dan berbahagialah kita saat berpisah dengan Ramadhan membawa segudang pahala untuk bekal di akhirat.

Jika kita merenungi kondisi salafush shalih dan meneliti bagaimana mereka menghabiskan waktu-waktu mereka di bulan Ramadhan, bagaimana mereka memakmurkannya dengan amal shalih, niscaya kita mengetahui jauhnya jarak di antara kita dan mereka.

Bagaimana dengan kita? Adakah kesedihan itu hadir di hati kita di kala Ramadhan meninggalkan kita? Atau malah sebaliknya, karena begitu bergembiranya menyambut kedatangan Hari Raya ‘Idul Fithri, sampai-sampai di sepuluh hari terakhir, yang seharunya kita semakin giat melaksanakan amalan-amalan ibadah, kita malah disibukkan dengan belanja, membeli baju Lebaran, disibukkan memasak, membuat kue, dan lain-lain.

Padahal di sisi lain, masih banyak orang di sekitar kita yang berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi untuk berbuka hari ini, bukan untuk besok, apalagi untuk pesta pora di hari Lebaran.

Tapi apakah salah bila kita menyongsong Hari Raya ‘Idul Fithri dengan kegembiraan? Tentu saja tidak. Bukankah Rasulullah SAW telah mengatakan, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya, dan sesungguhnya hari ini adalah hari raya kita.” (HR Nasa’i).

Rasululah menambahkan
. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no. 760.

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mencari pahala, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[ HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759)

Jumat, 17 Agustus 2012

UKG (Uji Kompetensi Guru) MENUAI PROTES


WONOGIRI. VOICE  OF   WONOGIRI (VOW).   Uji Kompetenisi Guru mendapat perlawanan dari  Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). “ Wah semakin gayeng, sudah  dana  sertifikasi guru belum lancar cair  ada masalah lagi,  padahal dana  dijagake kanggo bakdan”  kata MasKatnoGiri  jurnalis  lepas landas dari VOW.
"Kami meminta agar MA menyatakan Permendikbud No 57/2012 tentang Uji Kompetensi Guru tidak sah dan tidak berlaku umum," ucap sekjen FSGI Retno Listtyarti. Sembilan guru yang mewakili FSGI mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA). Mereka menggugat Permendikbud No 57/2012 tentang Uji Kompetensi Guru (UKG) karena dinilai merugikan guru dan bertentangan dengan peraturan di atasnya. Demikian seperti diberitakan oleh  detik.com. dan  beritakan ulang oleh VOW.

Retno menambahkan ,"Adanya UKG ini membuat kami harus meninggalkan peserta didik, mengeluarkan biaya tinggi untuk ikut UKG. Soal-soal yang diujikan juga tidak valid, masa soalnya pilihan ganda, gambar dan tabel juga tidak ada di soal, padahal diminta untuk melengkapi tabel, kan aneh," kepada detikcom di gedung MA jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu, (15/8/2012).

Retno menilai kompetensi guru itu seharusnya diperoleh melalui pendidikan profesi, bukan dengan UKG. Selain itu kompetensi guru ada 4 bukan 2 seperti yang diatur dalam Permendikbud tersebut. Jika mau diuji harus holistik, tidak bisa dicicil.

"Mengukur kualitas dan kinerja guru sebaiknya dilakukan secara holistik dan melibatkan kepala sekolah bukan dengan memberikan soal pilihan ganda," ujar Retno.

Menurutnya, penyelenggaraan UKG semestinya tidak dilaksanakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjamin Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP) akan tetapi harus dilaksakan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Selain itu Retno mengatakan Permendikbud ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan UU diatasnya yakni UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Uji materiil ini didaftarkan oleh para guru yang berdomisili di Jakarta, Banten, Bandung, Medan dan Indragiri Hilir (Kepri). Mereka meminta agar MA membatalkan Permendikbud tersebut.


Hikmah dan Keutamaan dalam Berpuasa


Hikmah dan Keutamaan dalam Berpuasa


1. Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum
Ash-Shaum merupakan salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki keutamaan yang sangat tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan hikmah sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam tafsirnya tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ( البقرة: ١٨٣
”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian ash-shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]
Diantaranya :
1. Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang mengantarkan seseorang menuju taqwa. [1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong orang yang menjalankan ibadah shaum untuk meninggalkan berbagai larangan Allah Ta’ala, baik berupa minuman, makanan, dan jima’ (hubungan suami-istri) dan beberapa larangan sejenisnya yang disukai oleh hawa nafsu, dan shaum dilakukan dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan mengharapkan balasan di sisi-Nya.
2. Orang yang menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya agar senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muroqobatullah) sehingga dia meninggalkan kemauan hawa nafsunya meskipun mampu menurutinya, sebab dia mengetahui adanya pengawasan Allah Ta’ala terhadap dirinya.
3. Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan karena ia masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])
4. Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga orang tersebut semakin terjauhkan dari kemaksiatan.
5. Orang yang menunaikan ash-shaum, mayoritasnya akan melakukan banyak ketaatan dan itu merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala
6. Terkhusus bagi orang kaya bila merasakan pedihnya lapar karena ash-shaum maka akan muncul dalam dirinya kepedulian kepada fuqara`, dan hal ini juga merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. ([3])
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah ash-shaum, beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab antara lain : bahwa ash-shaum mememiliki beberapa hikmah dalam hal sosial kemasyarakatan, antara lain munculnya perasaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa mereka adalah umat yang satu, makan dan bershaum di waktu yang sama. [4])
Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5]) menyebutkan hikmah lain dari ibadah ash-shaum, di antaranya :
1. Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan mengingat berbagai nikmat-Nya.
2. Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan kesempatan pada alat pencernaan untuk istirahat.
———————————–
[1] Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat pertama yang padanya Allah memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum diakhiri dengan penyebutan tujuan tersebut, yaitu ayat ke-183 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “Agar kalian bertaqwa
Begitu pula Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum ini dengan penyebutan tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat Al-Baqarah, Allah berfirman :
لَعَلَّهُمْ تَتَّقُونَ “Agar mereka bertaqwa
[2] Dari Shafiyyah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرى الدَّم
Sesungguhnya Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya.” [HR. Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171; Muslim 2175]
[3] Tafsir As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..
[4] Lihat Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.
[5] Taudhihul Ahkam (3/123)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=235, judul asli Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum)
2. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
Sementara Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan dalam berbagai hadits, baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun fadhilah shaum Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami akan menyebutkan beberapa di antaranya :
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ – وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya sedang shaum” – dua kali – Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku. Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam An-Nasa`i dari shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits tersebut adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash, kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “Sesungguhnya aku sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata : Sungguh aku telah mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.
[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]

2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.

Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan yang masuk melaluinya pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang yang bershaum (berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي و أحمد]
Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([7])

3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.

Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق عليه]
Tidaklah seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan Allah akan menjauhkan wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di hari kiamat, sejauh 70 tahun.” [Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad, antara lain Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab : فَضْلِ الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul : فَضْلِ الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ حَقٍّ(Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di atas hanya khusus bagi yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di sini adalah : ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits adalah : “Barangsiapa yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”. Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika berjihad fi sabilillah.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai makna hadits berikut ini. [9])

4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.

Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه الترمذي]
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jadikan antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang (yang lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])

5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و الطبراني]
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “sejauh perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :
a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa sangat jauhnya.”
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في رواياتهم ( مائة عام ).
Memperkuat pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan An-Nasa`i, bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut. [13])
b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah dan pahala bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya jarak tersebut menjadi seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini disampaikan oleh Al-Imam As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])
Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :
- Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى، بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap wajah Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh perjalanan terbang burung Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru menetas hingga mati di usia yang tua. ” [Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
- Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِائَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ المُضَمَّرِ )) [رواه عبد الرزاق و الطبراني]
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah, niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
—————————
[1] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan ( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2231.
[4] HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul Jami’ish Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz bin Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada bab halaman ………………..
[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.
[11] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[13] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14] Ibid.
[15] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah seorang perawi yang lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang perawi yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan; Al-Hafizh juga berkata tentangnya : mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16] Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi, syarh hadits no. 2828.
[17] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini : “Munkar dengan konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya terdapat kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah), yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”
Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun Yukhthi’ (jujur namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id melemahkan hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid ini. beliau berkata : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=236, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 1)
3. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
6. Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
Dosa yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga, harta, atau tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق عليه]
Bagi orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika berbuka dia bergembira dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya (Allah) dia bergembira dengan (pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] ([2])
8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق عليه]
Barangsiapa yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah, karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Namun barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa, karena sesungguhnya shaum tersebut berfungsi sebagai perisai baginya. [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma ash-shaum berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda yang belum mampu melakukan pernikahan.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( الصِّيَامُ و القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَ الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ: رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ ))
Ash-Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb, sesungguhnya aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata : Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani] ([4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا القول يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من الأحاديث التي فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع، و نحوه كثير. و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y، بل هو طريقة المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان )الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل و تشقي، و العياذ بالله. اهـ
Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh Allah untuk memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat sebenarnya, yaitu dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut, kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”
Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata : “Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad (fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash seperti ini bukanlah metode generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan seperti itu sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum mu’tazilah) yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka. Wal’iyyadzubillah. –selesai–
10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
Tiga pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin yang adil, seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang yang terzhalimi, …” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a seorang yang bershaum ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga datangnya waktu ifthar adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ))
Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ ))
Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar
Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan tentang lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini lemah. [7])
——————————
[1] Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2] Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3] Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4] Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam Shahihut Targhib no. 984 beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula Tamamul Minnah hal. 394-395.
[5] At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad bin Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini adalah seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.
[7] Lihat Al-Irwa` no. 921.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=237, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 2)
4. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ )) [رواه مسلم]
Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa selama masih meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR. Muslim] ([1])
Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus dosa sangat bergantung kepada sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir , yaitu dosa-dosa besar. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan kalian (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang mulia (Al-Jannah).” [An-Nisa` : 31]
Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang ayat di atas :
Tentu ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika mereka menjauhi dosa-dosa besar yang terlarang, maka pasti Dia akan mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, serta akan memasukkan mereka ke tempat yang mulia dan penuh kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi segala keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam sanubari manusia.
Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri dari Al-Kaba`ir adalah menunaikan berbagai kewajiban, yang apabila ditinggalkan maka pelakunya tergolong telah melakukan dosa besar, seperti shalat lima waktu, dan shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Antara shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at berikutnya, serta antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya selama masih dijauhi dosa-dosa besar
Definisi Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang diancam dengan hukuman pidana di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau penafian iman (dari pelakunya), terkenainya laknat dan marah Allah atasnya.” [2])
Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :
1. Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa atau penghapus kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).
2. bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan Al-Kaba`ir, sehingga dengan itu kita dapat menghindarkan diri kita darinya, dan tentunya hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i).
2. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang sebelumnya, yaitu dari sisi bahwa barangsiapa yang bershaum pada bulan Ramadhan akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Namun keutamaan tersebut memang hanya bisa diraih dengan dua syarat :
a. Shaum yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan, yaitu keimanan bahwa shaum Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya dari Allah dan telah diwajibkan kepada kaum mu`minin.
b. Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan) pahala dan ridha Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong dia untuk melakukannya dengan penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan duniawi.
Sehingga barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi dua sikap di atas, dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.
Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui, antara lain :
a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ dengan lafadz :
(( وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ )). رواه النسائي في الكبرى
Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadr karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. [An-Nasa`i] [4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini dengan tambahan lafazh (( وَ مَا تَأَخَّرَ )) adalah hadits yang Syadz (ganjil).
b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( من صام رمضان وعرف حدوده، وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه، كفر ما قبله )) . رواه أحمد والبيهقي
Barangsiapa yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui batas-batas (syar’i) nya, serta dia berupaya menjaga diri dari segala sesuatu yang semestinya ia menjaga dirinya dari hal itu, maka pasti akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Ahmad dan Al-Baihaqi]
Hadits ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah. [5]) Karena pada sanadnya ada seorang perawi yang majhul, yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim namun beliau tidak menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan) atau pun ta’dil (rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah bahwa Al-Husaini berkata tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad : bahwa dia adalah seorang perawi yang majhul.
3. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ))
Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah [Muttafaqun ‘alaihi] ([6])
————————————
[1] Muslim 233
[2] Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.
[3] Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[4] An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.
[5] Lihat Tamamul Minnah hal. 395.
[6] Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=239, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 ))
5. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ ))
Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu langit dan ditutuplah pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para syaithan. [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
Dalam riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
(( … فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ … ))
“… maka dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda, yaitu :
- dibukakannya pintu Al-Jannah
- dibukakannya pintu rahmat
- dibukakannya pintu langit
sepintas nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.
Maksud “dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya berbagai perkataan baik kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun kalimat tauhid Lailaha Illallah, serta diangkatnya berbagai amalan shalih menuju kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Fathir : 10]
Sehingga dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara “dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :
1. Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang mu`min, yang rahmat itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah, sehingga hamba-hamba Allah tidaklah masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab rahmat Allah, bukan karena amalan mereka.
2. Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena dalam beberapa keterangan Al-Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”, sebagaimana dalam hadits :
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي ))
Allah Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki dari kalangan hamba-hamba-Ku’.” [Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan tentang maksud : « وصفدت الشياطين »
Di antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis syaithan. Namun hanya terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan dengan Al-Maradah ( المَرَدَةُ ), yaitu para syaithan yang tingkat kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama, antara lain :
1. Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau menyebutkan :
باب ذكر البيان أن النبي r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم، لا جميع الشياطين
Bab : Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah memaksudkan dengan perkataannya : « وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling durhaka), bukan seluruh jenis syaithan.
Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776 – « إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، … »
Jika pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu Khuzaimah–
Disebutkan pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah, dengan lafazh :
(( … وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، … ))
“… dan padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])
2. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :
Maksud (dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang paling durhaka) di antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam riwayat lain. Sementara yang dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu para syaithan yang paling besar permusuhan dan kebencianya terhadap anak Adam.” ([4])
Namun ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas, antara lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
yang dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit). Tidakkah engkau perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين ))، (para syaithan yang sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu turunnya Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya penjagaan (terhadap) Al-Qur’an dilakukan dengan cara bintang-bintang (yang dilemparkan), sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan Ramadhan, dalam rangka penjagaan yang lebih serius (terhadap Kalamullah). [6])
2. Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :
جاء رجل إلى النبي r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله وأنك رسول الله، وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت رمضان وقمته، فممن أنا؟ قال : (( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار وابن خزيمة وابن]
Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha Illallah dan bahwa engkau adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat lima waktu, saya menunaikan zakat, dan saya bershaum di bulan Ramadhan dan saya laksanakan shalat (pada malam harinya), maka dari golongan manakah aku?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang menunaikan shaum Ramadhan dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam) padanya, maka dia akan digolongkan dalam golongan para syuhada` dan shiddiqin.
3. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :
(( إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة – يعني في رمضان – وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة )) رواه البزار
Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari adzab An-Nar) pada setiap siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan sesungguhnya setiap muslim memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang dan malam” [Al-Bazzar] [8])
4. Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( احضروا المنبر )) فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة قال : (( آمين ))؛ فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا ما كنا نسمعه؟ قال : (( إن جبريل عليه السلام عرض لي، فقال : بعد من أدرك رمضان فلم يغفر له، قلت آمين، فلما رقيت الثانية قال : بعد من ذكرت عنده فلم يصل عليك، فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة قال بعد : من أدرك أبويه الكبر عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح الإسناد
Hadirlah kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir. Ketika menaiki tangga pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika menaiki tangga kedua beliau mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika menaiki tangga ketiga, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau telah turun dari mimbar, kami bertanya : “Wahai Rasulullah sungguh kami telah mendengar darimu sesuatu pada hari ini yang belum pernah kami mendengar sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh telah datang kepadaku Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin. Kemudian ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak bershalawat untukmu.’ Maka aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga ketiga, Jibril berkata : ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang tuanya pada masa tua, atau salah satu di antara keduanya, namun (keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia ke dalam Al-Jannah.’ Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim] [9]
Dalam hadits di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan. Sehingga hendaknya setiap mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkannya. Karena apabila dia gagal mendapatkan ampunan di bulan Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a celaka dari malaikat Jibril ‘alaihis salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah melindungi kita semua.
————————–
[1] Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2] Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat Abu Hurairah.
[3] HR. An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2106.
[4] Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5] Konteks ayat tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ (6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ الصافات: ٦ – ٨
Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan bintang-bintang, dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka. Agar syaithan-syaithan itu tidak dapat mencuri-curi dengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka dilempari (dengan bintang-bintang tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat : 6-8]
[6] Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7] Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361, 749, 1003, 2515,
[8] HR. Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 1002
[9] HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahihut Targhib wat Tarhib hadits no. 995 : Shahih li gharihi. Hadits tersebut diriwayatkan pula dari shahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi. Riwayat kedua ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih bab : At-Tarhib min Ifthar Ramadhan (II/378)
Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=240, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 ))
Sumber: http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1354. Penulis: Redaksi Ma’had As Salafy, Hikmah & Fadhilah (Keutamaan) Shaum