DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Selasa, 30 Oktober 2012

Tata cara pengiriman hasil karya penulisan ke jurnal ilmiah atau media cetak Oleh MaSukatno Giri


Mampu menulis  artikel  dan dipublikasikan kenaapa tidak?

Kebutuhan kepenulisan untuk para guru semakin mendesak, maksudnya bagi para guru PNS  untuk menapak karir  berpangkatan yang lebih tinggi  harsu mampu menulis karya ilmiah, salah satunya adalah memulir artikel yang dimuat di jurnal ilmiah.

Sebetulnya,  banyak para guru yang tergolong pintar. Namun mereka belum memaksimalkan kemampuannya, atau barangkali mereka  belum termotivasi dan mendapat informasi bahwa menusli  di jurnal ilmiah itu gampang. Berikut tata cara kepenulisan artikel di jurnal ilmiah:
1. Ketik naskah Anda dengan rapi dan cermat;
2. Pergunakan font Times New Roman, 12, 1,5 spasi, 3-5 halaman kertas A4;
3. Lengkapi dengan Kata Pengantar tulisan yang ditujukan ke alamat Redaksi;
4. Lengkapi pula dengan identitas diri yang terkait dengan kompetensi;
5. Kirim naskah Anda melalui pos atau melalui email;
6. Untuk pengiriman via pos, sertai dengan amplop dan prangko pengembalian;
7. Tunggu kira-kira dua minggu sejak saat pengiriman untuk meyakini naskah itu ditolak atau diterima;
8. Pada umumnya tidak ada pemberitahuan dari Redaksi sebuah naskah akan dimuat atau ditolak;
9. Anda sebagai penulislah yang mesti rajin memonitor untuk mengetahui naskah Anda dimuat atau tidak (bisa dilihat di situs web redaksi tersebut atau dengan mendapatkan cetakannya);
10. Jika tidak dimuat, Anda boleh memilih untuk membuat naskah baru atau merevisi naskah tadi dan mengirimkannya ke media lain;

STEPS TO BE A WRITER Rewritten by MasKatno Giri



  1. Consider all of the options. Not everyone can create a blockbuster novel. Anyone with passion might be able to earn a living from writing. Copywriting is probably the highest paid skill on the Internet. Article writing is in great demand for providing content for websites. Creative writers are in demand to bid for projects every day. So the first step in how to become a writer is to research all of the options.
  2. Plan using logic and desire. Write the way you want, but decide whether or not you want to rely on the income from your writing. Not having a regular job will allow you to focus on your writing, but it's very unlikely that you'll be able to depend on it for at least a few years.
  3. Think about what you want to write, instead of what you want to get from writing. You won't get anywhere if all you're after is money.
  4. Be prepared to work odd hours  you'll need to write whenever ideas strike, even if it's the middle of the night. Completely immerse yourself in the world you create.
  5. Find what works for you and stick with it. Even if you get dozens of rejection slips, if you feel comfortable working the way you do, you'll eventually have success.
  6. Know that writer’s block is a real thing. Too much writing, and concentrating too deeply, can cause you to not be able to write a word. Your focus and concentration leave, and you can just sit and stare at the page or the computer or typewriter, and not have a thing come to mind to write.
  7. Take a break to refresh your mind. Take a drive, or a walk, go to a movie, or just read a book. You may need a day, or a week to be able to once again concentrate. Be patient, your writers block will leave in due time. If that doesn't work, try the toilet, or in French, ca'mode. Toilet or Ca'mode means to refresh the body, which helps the mind as a writer.
  8. Use dreams to assist with ideas. Dreams are a big help. Have a notebook near you and if you remember a dream write it down. Some people can only remember some of their dream but when you write it down the rest will come back to you.
  9. Read, read, read. If you read a lot, sometimes ideas that aren't even related to what you're reading will come to you. This also helps with learning and memorizing words you can use later in writing.
  10. Ask yourself, "What kind of story is it going to be?" It can be a short story or a novel.
  11. Jot down notes and ideas. After that, check over your work and think about your ideas.
  12. Decide what genre your story will have. Some examples are romance, comedy, horror, fairy tale, and adventure.
  13. Think about the plot of your story. Will it have a happy or sad ending? Also think about the problem in your story, like stolen jewels.
  14. Create characters. Think of names and their personalities. Think about how important they are. Think the most about your main character.
  15. Think of a title. Don't make it too short, but not too long. Also, don't make a title that doesn't match the story, like a story called Home Run, and the book is about princesses.
  16. Get writing. You might want to use a pencil, or take some white-out if you are using a pen. You could also use what you are using right now-your computer.

Penyebab Artikel Ilmiah ditolak oleh Penerbit Oleh MaSukatno Giri


 Bagi anda yang  berniat  menulis artikel dan  mengirimkanya  ke media cetak, pasti menghendaki segera dimuat. Eh ternyata banyak sekali orang yang mengirim artikel, sehingga persaingan pun sangat ketat. Belum tentu artikel yang bagus akan dimuat di media. Apalagi artikel yang kita kirim belum  bermutu atau tidak aktual. Kemungkinannya memang ditolak. Ya tidak masalah, nasihat dari Pak Katno. ' JANGAN MENYERAH!"

Walau Pak katno baru penulis lokal setidak-tidaknya layak memberikan informasi, sumbernya dari sobatku wartawan kompas,  beliau Pepih Nugraha. Menurutnya  ada beberapa penyebab artikel ditolak oleh media:

1. Topik atau tema yang diangkat kurang aktual
2. Tidak memberikan argumen yang baru
3. Konteks pembahasan kurang jelas
4. Cakupan pembahasan terlalu kecil alias lokal
5. Cara penyajian berkepanjangan.
6. Bahasa yang digunakan bertele-tele.
7. Pengetikan acak-acakan dan penggunaan tanda baca yang semrawut
8. Menggunakan istilah-istilah yang sulit difahami.
9. Gaya bahasa yang digunakan mirip naskah pidato/ceramah/makalah
10. Sumber kutipan kurang jelas
11. Terlalu banyak kutipan
12. Diskusi kurang berimbang
13. Alur uraian kurang runtut.
14. Uraian terlalu datar.
15. Alinea pengetikan terlalu panjang

Itulah beberapa penyebab artikel  yang dikirimkan ditolak oleh media. Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa selain itu ada hal-hal lain yang menjadi pertimbangan. Seperti penulis kurang terkenal, kurang rutin mengirimkan artikel dan tidak mempunyai kedekatan khusus dengan media terkait. Entah itu benar atau tidak, yang jelas itu merupakan rahasia perusahaan media-media tersebut. Yang jelas, jika kita menghindari hal-hal yang telah disebutkan diatas, sangat besar  kesempatan  artikel kita akan diterima.INSYA ALLAH

10 M Tips Menulis Artikel Dalam Jurnal Ideal Oleh MasSukatnoGiri


1. Mencarilah topik yang banyak dibutuhkan orang, namun jarang yang menulis tentang itu. Untuk mencari topik yang bagus, anda harus memperhatikan selera pasar, jangan hanya asal sesuai selera anda sendiri. Topik tersebut dapat anda cari secara online, entah di Google, Social Bookmarkings dll, atau dapat anda dapatkan dari media massa, seperti televisi, koran, majalah ataupun bisa juga dari buku, dan isu-isu aktual yang sedang terjadi.
2. Menggunakan kreativitas sudut pandang anda. Yang dimaksud disini adalah, anda harus pandai-pandai mengangkat topik tulisan dari sudut pandang yang semenarik mungkin. Kreativitas ini sangat menentukan kualitas sebuah tulisan. Jika anda menggali sudut pandang lain dari sebuah topik, tidak ada salahnya anda menulis tentang topik yang sudah banyak diposting orang. Walaupun topiknya sama dengan blog lain, pengunjung akan suka mengunjungi blog anda, karena mendapatkan sesuatu yang baru, yangtidak didapat diblog lain.
3. Menggunakan bahasa yang baik dan mudah difahami. Hindarilah menulis dengan kalimat yang terlalu bertele-tele, namun kurang bermakna. Para pembaca lebih menyukai tulisan yang singkat jelas dan padat.
4. Menulis ide yang muncul difikiran Anda. Ide-ide kreatif tidak selalu muncul ketika kita sedang mau menulis, acapkali ide tersebut muncul secara tiba-tiba, disaat kita melakukan aktifitas yang lain. Apabila anda menemukan ide kreatif, segera tulis ide tersebut, jangan biarkan ide tersebut melayang begitu saja. Jika memungkinkan, anda bisa menuliskannya dibuku, tapi kalau tidak anda bisa menuliskannya di selembar kertas ataupun di HP.
5. Menghindari menulis sebagai beban. Jadikanlah aktifitas menulis sebagai suatu aktifitas yang menyenangkan. Jika anda masih merasa bahwa menulis adalah sesuatu yang berat, maka belajarlah untuk menikmati aktifitas menulis itu. Karena jika anda menulis dengan terpaksa, maka orang lain pun akan akan membaca tulisan anda dengan terpaksa!
6. Memperbanyak membaca buku,karya ilmiah koran, majalah dsb. Ini merupakan hal terpenting! Semakin banyak pengetahuan anda, maka akan semakin banyak tulisan yang bisa anda buat. Dengan membaca banyak buku, koran majalah dsb, anda bisa belajar banyak hal, sekaligus dapat mempelajari gaya penulisan dan tata bahasa yang baik
7. Memperbanyak berlatih! Practice makes perfect, begitulah kira-kira peribahasanya. Sering-seringlah menulis, karena hanya dengan itu skil menulis anda akan semakin terasah.
8. Memililih topik yang sesuai dengan kemampuan anda. Apabila anda mempunyai keahlian di bidang makanan, maka jangan nekad menulis artikel tentang matematika. Selain anda akan kesulitan dalam menulis, juga sangat mungkin terjadi kesalahan, sehingga akan menyesatkan para pembaca.
9. Menerima kritikan Punyailah hati seluas lautan, jangan mudah minder jika ada orang yang mengatakan bahwa tulisan anda jelek, bertele-tele dan sebagainya. Jadikan kritikan mereka sebagai pelecut semangat. Buktikan kepada mereka bahwa anda adalah seorang penulis yang  HEBAT!!!
10. Menjadilah dirimu sendiri, jangan mencoba untuk menjadi plagiator! Jangan sekali-kali mencoba untuk copy paste. Sama artinya anda membunuh karakter anda sendiri. Jika anda menemukan artikel yang bagus, jadikan itu sebagai referensi, bukan untuk dijiplak!

Minggu, 28 Oktober 2012

SEKOLAH UNTUK APA? Bersumber dari ide Prof Rhenald Kasali


Kenyataan saat ini, mencari sekolah sangat sulit. Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati.   Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum.  Sudah masuk, ternyata banyak yang “salah kamar”.  Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah.

Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah.  Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.  Bagaimana kalau uang tak ada?  Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2.  Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.  Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.

Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar?  Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong.  Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.  Lengkap sudah masalah kita.
Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit?  Lantas apa yang harus dilakukan orang tua?  Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini?

Kesadaran Membangun SDM
Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju.  hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya.

Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan.  Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah.

Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.  ”Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di Erasmus.  Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat.

Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini?  ”Mudah saja,” ujar dekan itu.  ”Kita potong di tahun kedua.  Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali.  Di sinilah kita baru bicara kualitas,  sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,”ujarnya.

Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di New Zealand.  Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.  Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah.

Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak  bersekolah di tingkat SLTA di New Zealand.  Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik.  Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.  Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah.

Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka)  dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek.  Potensi anak hanya dilihat dari nilai,  yang merupakan cerminan kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking.  Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.
.
Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus.  Mohon maaf, ternyata tidak demikian.  Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak.  Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa tes.  Apa yang membuat demikian? “undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di New Zealand.

Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya?  ”itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putera sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.  Maksudnya, test masuk tetap ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.

Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu matematika dan bahasa Inggris.  Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif semata.

Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali?  Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan,stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun.   Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada yang lulus.  Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.

Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok! Di mana masalahnya?  Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah.  Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun datang dengan lebih menyenangkan.  Belajar bukan hanya dari guru, tapi dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik.  Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, Lifelong learning.

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah.  Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, “Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak sepuluh tahun yang lalu.  Makanya sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah.  Guru kami ubah, metode diperbaharui, fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.

Masih banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang lebih baik.

Rhenald Kasali
Ketua Program MMU