DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Rabu, 01 Mei 2013

Merindukan Istri Shalihah oleh Maskatno Giri

Ini bukan omong kosong. Berkali-kali dan beberapa orang dari temanku curhat bahwa kehidupan rumah tangganya tidak bahagia. Ternyata, salah satu penyebabnya adalah istri  temanku adalah bukan istri yang shalihah. Padahal dia sewaktu muda merindukaan istri yang shalihah.

Dia memancingku bercerita tetang kehidupan  rumah tanggaku. Aku katakan bahwa  kehidupan rumah tanggaku sangat membahagiakan. Puji syukur aku panjatkan kehadirat Allah swt, bahwa aku dikarunia istri shalihah. Barangkali ini hadiah untukku karena sewaktu muda aku belum pernah  punya pacar  apalagi berpacaran. Ditambah lagi, rumah tanggaku dikaruniai  anak-anak yang  selama ini sudah menunjukkan indikasi keshalihan. Lengkap sudah kebahagianku. Di tengah-tengah aku menulis saat ini, aku teringat salah satu putriku yang shalihah dan juara kelas (10 th) telah meninggal beberapa minggu lalu. Aku harus tetap sabar. Ini ujian, sebab puluhan tahun rumah tanggaku oke-oke saja, kami menikah lebih dari 10 tahun dalam kebahagiaan.  Aku dan istriku dimotivasi oleh para sahabatku, anakku merupakan tabungan di akherat.

Kembali kepada  kebahagiaan rumah tangga, kesimpulanku dan juga kesimpulan sahabatku bahwa sangat sulit rasanya kebahagian rumah tangga didapat tanpa hadirnya istri dan anak shalih dan shalihah.  Mari kita merenung untuk apa  harta melimpah,  kalau istri dan anak perilakunya seperti syetan, tentu akan  tercipta rumah tangga syetan dan anak-anak perilakunya seperti syetan  yang jauh dari barokah. Bagi para pembaca boleh percaya-boleh tidak tentang  pengalaman kehidupan rumah tanggaku dan pemikiranku bahwa "SANGAT BERAT BAGI PARA SUAMI ATAU ISTRI MENDAPATKAN KEBAHAGIAAN KALAU SUAMI DAN ISTRI JAUH DARI NILAI-NILAI KESHALIHAN. Barangkali pembaca  manganggap pikiranku dan kehidupan rumah tanggaku berdasar pemikiran subjektif, tapi akulah pelakunya,  bahwa  kami memang hidup dalam rumah tangga yang bahagia.  Lalu, kawanku yang  tidak memiliki istri  dan anak shalih merasa bagai hidupnya sengsara.

Aku berusaha jujur, baik hati dan tidak sombong, berikut ini kutulis  beberapa ciri istri shalihah:

 1. Penuh kasih sayang penuh cinta, baik hati, mudah minta maaf dan pemaaf , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى

“Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai )

2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suaminya), taat kepada suami selama suami dalm koridor kebaikan.
3. Menjaga rahasia-rahasia dan aib  suami dan dirinya sendiri, lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 
فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ

“Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ

“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud )

5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ

“Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)

6. Selalu memperbaiki diri melalui belajar tiada henti sebagai refleksi bersyukur  atas pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
 
“Allah tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur kepada suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)

7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar‘i atau kesehatan, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya, karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436)

إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ

“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
    
Qurthubi rahimahullah berkata: “Permasalahan ini dibawa kepada pendapat yang mengatakan bahwa penggantian istri dalam ayat ini merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya beliau menceraikan mereka di dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkan beliau di akhirat dengan wanita-wanita yang lebih baik daripada mereka.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/127)

Bukan bermaksud menggurui, mari kita berintropeksi dan  berbagi untuk meraih kesuksesan sejati.


Senin, 29 April 2013

Kilas Balik Tentang Bukuku "10 KUNCI SUKSES SEJATI" Oleh Maskatno Giri



Impianku bertahaun-tahun, akhirnya menjadi kenyataan. Salah satu impian lamaku adalah menghasilkan karya tulisan yang bermanfaat,  syukur-syukur menghasilkan uang  dan mencerahkan.  Di akhir April 2013, proses pencetaan  buku perdanaku dengan judul  10 KUNCI SUKSES SEJATI  sudah selesai. Buku ini tinggal proses penjilidan.

Saya masih ingat beberapa bulan lalu, salah satu bos percetakan di Solo,  beliau juga seorang ustadz menawarkan kepadaku untuk mencetak  kumpulan tulisanku dari blog. juga dari buku harianku   untuk diterbitkan. Alhamdulillah, aku bahagia sekali. Beliau percaya kepadaku bahwa tulisanku layak untuk diterbitkan. Setelah melalui proses kontemplasi, akhirnya kutemukan ide membuat judul buku "10 KUNCI SUKSES SEJATI". Ide  judul ini muncul setelah aku sering ke toko buku Gramedia dan menemukan buku 8 TO BE GREAT. Buku karangan Richard St. John ini sangat bagus, beliau  menawarkan  8 sifat atau kunci sukses Menurutku buku ini sangat bagus karena  memang International Best  seller, tapi buku ini terlalu tebal, mahal  dan kurang lengkap.

Buku  8 To Be Great sangat membantuku untuk memotivasi diriku sendiri dan mau menulis buku  dengan sudut pandang yang berbeda.  Ada perbedaan  8 To be Great dibanding bukuku "10 Kunci Sukses Sejati" , bukuku jelas lebih murah , lebih sedrhana, dan lebih  berdasar pada Al Qur'an  dan As Sunnah Insya Allah.

Sangat ribet, memakan waktu , memakan biaya dan tenaga, itulah proses pembuatan buku. Dari proses penulisan, pengeditan, revisi, revisi  lagi,  wah pokoknya ribet, ternyata masih saja ditemukan salah ketik, salah nulis ayat dll.

Bagi para pembaca baik di blog maupun pembaca bukuku, mungkin tidak membayangkan bahwa membuat buku itu sangat sulit. Kalau cuma membaca mudah saja, mengkritisi juga  sangat mudah. Namun, bagi penulis  bila sudah selesai berkarya, lalu karyannya bermanfaat, syukur-syukur menghasilkan uang tentu kebahagiaan luar biasa didapat. Demikian juga si pemilik percetakan, dia  mendapat bagian  yang lebih banyak. Aplagi kalau bukunya  laris, dia akan tersenyum manis.

Semoga  buku 10 KUNCI SUKSES SEJATI  menjadi buku laris, karena buku ini diniatkan positif. Pendapatan  dari buku ini lebih dari jatah kewajiban zakat, masih ditambah untuk kepentingn fakir miskin, Sekali lagi niat positif Insya Allah memberkahi, demikian juga untuk pemilik  percetakan BAROKAH MANDIRI , beliau Ustadz luar biasa Khoirul Anam asli dari  Kediri makin kaya dan berkah. Rezekinya  tidak untuk dirinya sendiri tapi untuk para puteranya yang berjumlah 5 anak.


Minggu, 28 April 2013

Mendambakan “Home Sweet Home” Oleh: Maskatno Giri


Home sweet home merupakan ungkapan yang memiliki  kedekatan  arti dengan  baitii jannatii  atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “rumahku surgaku”. Kita sering mendengar ungkapan “rumahku surgaku” yang artinya tidak ada tempat yang paling nyaman selain rumahku. Dalam ungkapan  tersebut bisa difahami bahwa bentuk fisik rumah tidaklah begitu penting. Rumah besar–kecil, mewah–sederhana, berdinding kayu atau tembok, berpekarangan atau saling berhimpitan dengan dinding tetangga, semuanya tidak mengurangi makna surga atau istana yang identik dengan kesan indah nyaman, dan penuh kebahagiaan.

Rumah yang bernuansa surga adalah harapan bagi setiap manusia yang berusaha memilki  jiwa-jiwa mulia laksana malaikat bukan setan yang terlaknat. Dari kumpulan jiwa-jiwa mulia yang selalu dekat dengan Tuhannya akhirnya terbentuklah rumah tangga yang penuh berkah. Namun, sebaliknya rumah tangga yang jauh dari keberkahan-Nya laksana neraka yang dikenal dengan “broken home”.

Peran Rumah 
Rumah bukan saja sekedar bangunan untuk tempat berteduh, namun rumah sebagai tempat  penghidupan keluarga untuk tumbuh dan berkembang dalam artian yang lebih luas. Kalau diibaratkan rumah itu sebagai makhluk, dia mampu untuk memberdayakan dan juga sebaliknya dia juga mampu menyengsarakan penghuninya. Peran rumah setidak-tidaknya ada lima yang disingkat dengan 5 M yaitu: mengukir sejarah hidup, melambangkan perjuangan hidup, membentuk budaya, membangun komunitas belajar, dan meningkatkan ibadah. Berikut ini penjabaran singkat mengenai peran rumah bagi penghuninya.

Mengukir sejarah hidup. Rumah adalah tempat kita berkumpul bersama keluarga, bersama orang-orang yang kita cintai dan yang mencintai kita. Rumah seringkali merupakan tempat kita atau anak-anak kita lahir, tumbuh besar dan dewasa. Rumah tak ubahnya album memori atau catatan harian yang menyimpan banyak kenangan atas berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya. Apalagi jika rumah tersebut adalah rumah yang diwarisi secara turun temurun. tentunya kesan mendalam lebih terasa. Mungkin tidak ada yang menduga sebelumnya bahwa salah satu penghuni rumah tersebut tumbuh menjadi orang besar dan berguna, atau lebih jauh lagi karena amal ibadah dari para penghuni menghantarkannya masuk surga.

Melambangkan perjuangan hidup. Rumah dengan segala bentuk dan isinya juga merupakan simbol perjuangan baik fisik maupun non fisik. Sebagai contoh perjuangan fisik, berkat kerja keras untuk menjemput rejeki dari Allah SWT, pemiliknya mampu membangun pondasi rumah, melengkapi bagian pagar, mengisinya dengan benda-benda pelengkap kebutuhan kita seperti lemari, kursi, dan lainnya. Sedangkan perjuangan non fisik mencakup pembentukan mental spiritual yang mencakup keimanan, sehingga kebaikan akhlak terhadap Tuhannya dan sesama manusia terbentuk. Dari perjuangan yang bersifat non fisik, akhirnya menjadikan penghuninya termasuk pribadi terpuji di mata Allah SWT.

Membentuk budaya. Rumah kita memiliki ukuran, bentuk, dan gaya tertentu. Rumah dan penataannya selain dipengaruhi oleh ekonomi dipengaruhi juga oleh budaya yang dikembangkan oleh penghuninya, misalnya apakah mereka terbiasa budaya Islami apa tidak, bersih dan teratur apa tidak, apakah penghuninya bersifat materialistis apa tidak, semuanya bisa terlihat. Budaya yang sudah terbentuk dalam rumah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dari hari ke hari. Kebiasaan-kebiasaan akan terbentuk selaras dari sisi ide, impian, dan cita-cita bersama dari para penghuninya terutama dari orangtuanya.

Membangun komunitas belajar. Komunitas belajar yang efektif bisa berawal dari rumah, jika rumah dipimpin oleh kepala rumah tangga yang sadar pentingnya belajar. Rumah yang layak untuk belajar adalah rumah yang menyediakan berbagai sarana pembelajaran misalnya buku-buku yang bermanfaat dan ruangan yang memadai untuk sarana belajar. Keberhasilan pembelajaran di rumah banyak ditentukan oleh gurunya dalam hal ini kedua orangtuanya. Bimbingan secara intensif di dalam rumah menjadikan para putra benar-benar telah siap mendapat pembelajaran formal di sekolah.

Meningkatkan ibadah. Tidak diciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada Allah SWT, itulah salah satu misi diciptakan alam raya ini. Apapun profesi manusia baik penguasa maupun rakyat biasa, mereka berkewajiban beribadah kepada-Nya. Terwujudnya kesadaran untuk beribadah di rumah merupakan tanggung jawab awal dari kepala rumah tangga. Demikian juga bila para penghuni rumah jauh dari nilai-nilai ibadah, pertanggungjawaban ada pada orangtuanya. Mestinya sebagai orangtua memiliki misi untuk selalu berlomba meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT.

Modal Utama Orangtua
Terciptanya home sweet home sangat ditentukan oleh peran kepala rumah tangga. Suasana “surga” di dalam rumah dibutuhkan modal, sebagai kepala rumah tangga paling bertanggung jawab atas keberadaan modal tersebut. Lalu modal apa yang harus dimiliki untuk menciptakan “rumahku surgaku”?

Banyaknya harta benda bukan merupakan modal utama untuk meraih kebahagiaan rumah tangga, modal non materi lebih utama ketimbang materi. Modal utama yang harus dimiliki kepala rumah tangga antara lain adalah hope, organizing skill, learning willingness, inventing ability , spiritualistic quotien , training ability, and creativity  yang disingkat dengan (HOLISTIC). Hope yang diartikan sebagai pengharapan yang disertai doa dan usaha. Dalam hal ini dianalogikan bahwa pengharapan apa yang kita tanam akan ada hasil yang akan kita petik, atau dalam falsafah Jawa sapa nandur bakale ngunduh.

Organizing skill yaitu keterampilan dalam mengatur dan mengendalikan seluruh penghuni rumah. Jadi seluruh penghuni rumah baik anak maupun istri tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa kendali.  Learning willingness yaitu kemauan mengajak, membelajarkan seluruh penghuni rumah untuk terus-menerus belajar, dalam hal ini belajar dalam artian yang lebih luas, belajar untuk saling memahami, belajar menjadi lebih baik, dan sebagainya.

Inventing and evaluating ability yaitu kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru dan intropeksi diri yang bermanfaat bagi bekal dalam menjalani hidup yang lebih baik. Spiritualistic quotient  yaitu kecerdasan ruhani yang berhubungan dengan keimanan terhadap keberadaan Sang Pencipta, sehingga semua penghuni rumah baik anak maupun istri diajak senantiasa sadar untuk hidup bermakna melalui ibadah dan rasa syukur kepada  Allah SWT. Training ability  yaitu kemampuan untuk melatih diri sendiri dan orang lain mampu berubah ke arah yang lebih positif. Yang terakhir, creativity  yaitu kemampuan berkreasi atau memiliki kaya daya cipta atau ide dalam menjalani kehidupan dan pemecahan masalah.

Perlu difahami bahwa kita semua mempunyai hak yang sama untuk hidup bahagia di dalam rumah tangga. Dengan memiliki sifat-sifat mulia, kebahagiaan akan bisa diraih. Kesadaran atas kewajiban terhadap orang lain maupun Tuhan yakni Allah SWT merupakan modal utama untuk menikmati  “rumahku surgaku”.
*Telah dimuat di RESPON edisi 253 / XXV 20 Juni – 20 Juli 2011.

Jumat, 26 April 2013

Berbagi Untuk Meraih Bahagia sejati oleh Maskatno Giri

Kalau mau mendapat kebahagiaan sejati salah satunya rela berbagi, itulah nasihat yang kuperoleh   dari guruku beberapa tahun yang lalu dan kuyakini kebenaranya sampai saat ini. Berbagi  motivasi lewat blog adalh salah satu hobiku. Sebab, jika aku berbagi uang ternyata aku tidak lebih kaya yang dikira orang. Hanya sedekah tulisan motivasi yang bisa kupersembahkan.

Hampir setiap hari aku membuka blog pribadiku. Minimal aku bisa melihat adakah kunjungan ke blogku hari ini? Eh ternyata blog ini lumayan ramai pengunjung. Beberapa bulan lalu pengunjung blogku masih kurang dari 50 kunjungan setiap hari , tapi saat ini sudah seratusan lebih pengunjung yang melihat-lihat dan membaca tulisan di blogku. Data terakhirn blogku sudah dikunjungi sampai 30 ribu lebih.    Setiap peningkatan  jumlah pengunjung, tanpa sengaja aku semakin merasa bahagia. Mungkin ini perasaan positif rezeki dari Allah bahwa niat positif bisa mengundang rezedki positif pula. Rezeki positif itu adalh bahagia tiada tara, ooh ternyata aku dilahirkan di dunia ini tidak sia-sia.

Aku semakin mantap bahwa berbagi bisa dijadikan jalan untuk meraih bahagia sejati. Benar juga  nasihat dari guruku tercinta. Ya Allah berilah kebahagian pula  bagi  para guru-sahabat yang telah menjadikan aku lebih semangat dan bahagia.

Kamis, 25 April 2013

Belajar Menjadi Pribadi Layak Diteladani

Tak ada alasan untuk semakin lemah. Walau usia kita semakin tua, apakah perlu kita semakin lemah dalam karya, beramal dan tindakan positif lainnya?

Semakin tua berarti tanggung jawab kita juga semakin banyak, karena kita tidak hidup sebagai pribadi, tapi kita harus layak menjadi teladan untuk anak cucu.

Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang seharusnya bisa dijadikan teladan. generasi kita adalah tanggung jawab utama kita. Krisis keteladanan sebagai akibat dari para orang tua yang kurang  layak dijadikan teladan. Kalaupun ada teladan, tapi  jumlahnya sangat terbatas. Padahal kita tahu bahwa, jumlah generasi muda kita sangat banyak. Mau diarahkan kemana mereka? Tidakkah kita takut generasi negeri ini  menjadi pribadi rusak?

Untuk kita yang sudah semakin tua, idelanya semakin sadar bahwa kita tidak mungkin hidup selamanya, dan kita tidak mungkin selamamya muda. Berupaya  menyiakan diri menjadi  pribadi yang layak diteladani adalah tindakan mulia, daripada menjadi sumber masalah yang membikin resah. Sebagaimana rasulullah saw, beliau adalah sosok uswatun hasanah atau suri teladan yang sangat baik dan mulia.

Selasa, 23 April 2013

Pembelajaran Inkuiri



A. Konsep Dasar
Pembelajaran inkuiri  adalah pembelajaran yang menekankan kepada proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung.ngkan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar. Pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Pembelajaran ini sering juga dinamakan pembelajaran heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti “saya menemukan:.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi-kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis.
B. Ciri-ciri Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri   memiliki beberapa ciri, di antaranya:
Pertama, pembelajaran inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan. Artinya, pada pembelajaran inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima materi pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, pada pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai satu-satunya sumber belajar,  tetapi lebih diposisikan sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui proses tanya jawab antara guru dan siswa. Karena itu kemampuan guru dalam menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri. Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.
Ketiga, tujuan dari pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demikian, dalam pembelajaran pembelajaran inkuiri siswa tidak hanya dituntut untuk menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan potensi yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai pelajaran belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal. Sebaliknya, siswa akan dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya manakala ia bisa menguasai materi pelajaran.
C. Prinsip-Prinsip  Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini:
  1. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual. Tujuan utama dari pembelajaran inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar.
  2. Prinsip Interaksi. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri.
  3. Prinsip Bertanya. Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan pembelajaran ini adalah guru sebagai penanya. Sebab, kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir. Dalam hal ini, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat diperlukan. Di samping itu, pada pembelajaran  ini juga perlu dikembangkan sikap kritis siswa dengan selalu bertanya dan mempertanyakan berbagai fenomena yang sedang  dipelajarinya.
  4. Prinsip Belajar untuk Berpikir. Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how to think), yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.
  5. Prinsip Keterbukaan. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya.
D.  Langkah-Langkah Pelaksanaan Pembelajaran Inkuiri
Proses pembelajaran inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
  1. Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
  2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan hipotesis.
  3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
  4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
  5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
E, Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan pembelajaran yang banyak dianjurkan, karena  memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:
  1. Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang,  sehingga pembelajaran melalui pembelajaran ini dianggap jauh lebih bermakna.
  2. Pembelajaran ini dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
  3. Pembelajaran ini merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
  4. Keuntungan lain adalah dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.
Di samping memiliki keunggulan, pembelajaran ini juga mempunyai kelemahan, di antaranya:
  1. Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
  2. Sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar.
  3. Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
  4. Selama kriteria keberhasiJan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka  strategi  ini tampaknya akan sulit diimplementasikan.

Perbedaan penggunaan in spite of, despite, although dan even though



Perbedaan in spite of, despite, although dan even though. Keempat kata ini digunakan untuk menunjukkan pertentangan (bisa diartikan “walaupun”) tetapi ada perbedaan dalam struktur dimana kata-kata ini terdapat.
In spite of dan Despite
Setelah in spite of dan despite kita menggunakan noun atau pronoun.
  • We enjoyed our picnic in spite of the rain
  • Despite the pain in his foot he completed the marathon
  • Despite having all the necessary requirements, they didn’t offer her the job.
Perlu diingat bahwa gerund (bentuk -ing) adalah bentuk noun dari sebuah kata kerja (verb). Jadi pada kalimat terakhir di atas despite juga diikuti oleh noun.
Yang membedakan antara in spite of dan despite hanya “of”. Despite tidak menggunakan of. Kalimat berikut salah:
  • Despite of the bad day, there was many people at the match.
Although
Setelah although kita menggunakan sebuah subjek dan sebuah kata kerja (verb).
  • We enjoyed our picnic although it rained all day.
  • Although she studied very hard, she didn’t manage to pass the exam.
  • The picnic was great although the service wasn’t very nice.
In spite of dan despite boleh digunakan bersama dengan sebuah subjek dan sebuah kata kerja jika kita menyertakan frase “the fact that“.
  • In spite of the fact that she studied very hard, she didn’t manage to pass the exam.
  • Despite the fact that she studied very hard, she didn’t manage to pass the exam.
Even though
Even though sama struktur penggunaannya dengan although, hanya saja even though lebih kuat.
  • I decided to buy the car even though we didn’t really have enough money
  • He keep making that annoying noise even though I’ve asked him to stop twice.
Seperti although, even though juga diikuti dengan sebuah subjek dan sebuah kata kerja (verba).

President Obama’s Speech in Jakarta, Indonesia

THE WHITE HOUSE
Office of the Press Secretary
For Immediate Release
November 10, 2010
REMARKS BY THE PRESIDENT
IN JAKARTA
University of Indonesia
Jakarta, Indonesia
9:30 A.M. WIT
THE PRESIDENT:  Terima kasih.  Terima kasih, thank you so much, thank you, everybody.  Selamat pagi.  (Applause.)  It is wonderful to be here at the University of Indonesia.  To the faculty and the staff and the students, and to Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, thank you so much for your hospitality.  (Applause.)
Assalamualaikum dan salam sejahtera.  Thank you for this wonderful welcome.  Thank you to the people of Jakarta and thank you to the people of Indonesia.
Pulang kampung nih.  (Applause.)  I am so glad that I made it back to Indonesia and that Michelle was able to join me.  We had a couple of false starts this year, but I was determined to visit a country that’s meant so much to me.  And unfortunately, this visit is too short, but I look forward to coming back a year from now when Indonesia hosts the East Asia Summit.  (Applause.) 
Before I go any further, I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians who are affected by the recent tsunami and the volcanic eruptions -- particularly those who’ve lost loved ones, and those who’ve been displaced.  And I want you all to know that as always, the United States stands with Indonesia in responding to natural disasters, and we are pleased to be able to help as needed.  As neighbors help neighbors and families take in the displaced, I know that the strength and the resilience of the Indonesian people will pull you through once more. 
Let me begin with a simple statement:  Indonesia bagian dari didi saya.  (Applause.)  I first came to this country when my mother married an Indonesian named Lolo Soetoro.  And as a young boy I was -- as a young boy I was coming to a different world.  But the people of Indonesia quickly made me feel at home.
Jakarta -- now, Jakarta looked very different in those days.  The city was filled with buildings that were no more than a few stories tall.  This was back in 1967, ’68 -- most of you weren’t born yet.  (Laughter.)  The Hotel Indonesia was one of the few high rises, and there was just one big department store called Sarinah.  That was it.  (Applause.)  Betchaks and bemos, that’s how you got around.  They outnumbered automobiles in those days.  And you didn’t have all the big highways that you have today.  Most of them gave way to unpaved roads and the kampongs.
So we moved to Menteng Dalam, where -- (applause) -- hey, some folks from Menteng Dalam right here.  (Applause.)  And we lived in a small house.  We had a mango tree out front.  And I learned to love Indonesia while flying kites and running along the paddy fields and catching dragonflies, buying satay and baso from the street vendors.  (Applause.)  I still remember the call of the vendors.  Satay!  (Laughter.)  I remember that.  Baso!  (Laughter.)  But most of all, I remember the people -- the old men and women who welcomed us with smiles; the children who made a foreign child feel like a neighbor and a friend; and the teachers who helped me learn about this country.
Because Indonesia is made up of thousands of islands, and hundreds of languages, and people from scores of regions and ethnic groups, my time here helped me appreciate the common humanity of all people.  And while my stepfather, like most Indonesians, was raised a Muslim, he firmly believed that all religions were worthy of respect.  And in this way -- (applause) -- in this way he reflected the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s Constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics.  (Applause.)
Now, I stayed here for four years -- a time that helped shape my childhood; a time that saw the birth of my wonderful sister, Maya; a time that made such an impression on my mother that she kept returning to Indonesia over the next 20 years to live and to work and to travel -- and to pursue her passion of promoting opportunity in Indonesia’s villages, especially opportunity for women and for girls.  And I was so honored -- (applause) -- I was so honored when President Yudhoyono last night at the state dinner presented an award on behalf of my mother, recognizing the work that she did.  And she would have been so proud, because my mother held Indonesia and its people very close to her heart for her entire life.  (Applause.)
So much has changed in the four decades since I boarded a plane to move back to Hawaii.  If you asked me -- or any of my schoolmates who knew me back then -- I don’t think any of us could have anticipated that one day I would come back to Jakarta as the President of the United States.  (Applause.)  And few could have anticipated the remarkable story of Indonesia over these last four decades.
The Jakarta that I once knew has grown into a teeming city of nearly 10 million, with skyscrapers that dwarf the Hotel Indonesia, and thriving centers of culture and of commerce.  While my Indonesian friends and I used to run in fields with water buffalo and goats -- (laughter) -- a new generation of Indonesians is among the most wired in the world -- connected through cell phones and social networks. And while Indonesia as a young nation focused inward, a growing Indonesia now plays a key role in the Asia Pacific and in the global economy.  (Applause.) 
Now, this change also extends to politics.  When my stepfather was a boy, he watched his own father and older brother leave home to fight and die in the struggle for Indonesian independence.  And I’m happy to be here on Heroes Day to honor the memory of so many Indonesians who have sacrificed on behalf of this great country.  (Applause.)  
When I moved to Jakarta, it was 1967, and it was a time that had followed great suffering and conflict in parts of this country.  And even though my stepfather had served in the Army, the violence and killing during that time of political upheaval was largely unknown to me because it was unspoken by my Indonesian family and friends.  In my household, like so many others across Indonesia, the memories of that time were an invisible presence.  Indonesians had their independence, but oftentimes they were afraid to speak their minds about issues.
In the years since then, Indonesia has charted its own course through an extraordinary democratic transformation -- from the rule of an iron fist to the rule of the people.  In recent years, the world has watched with hope and admiration as Indonesians embraced the peaceful transfer of power and the direct election of leaders.  And just as your democracy is symbolized by your elected President and legislature, your democracy is sustained and fortified by its checks and balances:  a dynamic civil society; political parties and unions; a vibrant media and engaged citizens who have ensured that -- in Indonesia -- there will be no turning back from democracy.
But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia -- that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in mosques and churches and temples standing alongside each other; that spirit that’s embodied in your people -- that still lives on.  (Applause.)  Bhinneka Tunggal Ika -- unity in diversity.  (Applause.)  This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important part in the 21st century.
So today, I return to Indonesia as a friend, but also as a President who seeks a deep and enduring partnership between our two countries.  (Applause.)  Because as vast and diverse countries; as neighbors on either side of the Pacific; and above all as democracies -- the United States and Indonesia are bound together by shared interests and shared values.
Yesterday, President Yudhoyono and I announced a new Comprehensive Partnership between the United States and Indonesia.  We are increasing ties between our governments in many different areas, and -- just as importantly -- we are increasing ties among our people.  This is a partnership of equals, grounded in mutual interests and mutual respect.
So with the rest of my time today, I’d like to talk about why the story I just told -- the story of Indonesia since the days when I lived here -- is so important to the United States and to the world.  I will focus on three areas that are closely related, and fundamental to human progress -- development, democracy and religious faith.
First, the friendship between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in development.
When I moved to Indonesia, it would have been hard to imagine a future in which the prosperity of families in Chicago and Jakarta would be connected.  But our economies are now global, and Indonesians have experienced both the promise and the perils of globalization:  from the shock of the Asian financial crisis in the ‘90s, to the millions lifted out of poverty because of increased trade and commerce.  What that means -- and what we learned in the recent economic crisis -- is that we have a stake in each other’s success.
America has a stake in Indonesia growing and developing, with prosperity that is broadly shared among the Indonesian people -- because a rising middle class here in Indonesia means new markets for our goods, just as America is a market for goods coming from Indonesia.  So we are investing more in Indonesia, and our exports have grown by nearly 50 percent, and we are opening doors for Americans and Indonesians to do business with one another.
America has a stake in an Indonesia that plays its rightful role in shaping the global economy.  Gone are the days when seven or eight countries would come together to determine the direction of global markets.  That’s why the G20 is now the center of international economic cooperation, so that emerging economies like Indonesia have a greater voice and also bear greater responsibility for guiding the global economy.  And through its leadership of the G20’s anti-corruption group, Indonesia should lead on the world stage and by example in embracing transparency and accountability.  (Applause.)
America has a stake in an Indonesia that pursues sustainable development, because the way we grow will determine the quality of our lives and the health of our planet.  And that’s why we’re developing clean energy technologies that can power industry and preserve Indonesia’s precious natural resources -- and America welcomes your country’s strong leadership in the global effort to combat climate change.  
Above all, America has a stake in the success of the Indonesian people.  Underneath the headlines of the day, we must build bridges between our people, because our future security and prosperity is shared.  And that is exactly what we’re doing -- by increasing collaboration among our scientists and researchers, and by working together to foster entrepreneurship.  And I’m especially pleased that we have committed to double the number of American and Indonesian students studying in our respective countries.  (Applause.)  We want more Indonesian students in American schools, and we want more American students to come study in this country.  (Applause.)  We want to forge new ties and greater understanding between young people in this young century.
These are the issues that really matter in our daily lives.  Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet.  It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world.  It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not suffocated by corruption.  It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta I once knew -- technology and trade and the flow of people and goods -- can translate into a better life for all Indonesians, for all human beings, a life marked by dignity and opportunity.
Now, this kind of development is inseparable from the role of democracy.
Today, we sometimes hear that democracy stands in the way of economic progress.  This is not a new argument.  Particularly in times of change and economic uncertainty, some will say that it is easier to take a shortcut to development by trading away the right of human beings for the power of the state.  But that’s not what I saw on my trip to India, and that is not what I see here in Indonesia.  Your achievements demonstrate that democracy and development reinforce one another. 
Like any democracy, you have known setbacks along the way.  America is no different.  Our own Constitution spoke of the effort to forge a “more perfect union,” and that is a journey that we’ve traveled ever since.  We’ve endured civil war and we struggled to extend equal rights to all of our citizens.  But it is precisely this effort that has allowed us to become stronger and more prosperous, while also becoming a more just and a more free society.
Like other countries that emerged from colonial rule in the last century, Indonesia struggled and sacrificed for the right to determine your destiny.  That is what Heroes Day is all about -- an Indonesia that belongs to Indonesians.  But you also ultimately decided that freedom cannot mean replacing the strong hand of a colonizer with a strongman of your own.
Of course, democracy is messy.  Not everyone likes the results of every election.  You go through your ups and downs.  But the journey is worthwhile, and it goes beyond casting a ballot.  It takes strong institutions to check the power -- the concentration of power.  It takes open markets to allow individuals to thrive.  It takes a free press and an independent justice system to root out abuses and excess, and to insist on accountability.  It takes open society and active citizens to reject inequality and injustice.
These are the forces that will propel Indonesia forward.  And it will require a refusal to tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a belief that the freedom of Indonesians -- that Indonesians have fought for is what holds this great nation together.
That is the message of the Indonesians who have advanced this democratic story -- from those who fought in the Battle of Surabaya 55 years ago today; to the students who marched peacefully for democracy in the 1990s; to leaders who have embraced the peaceful transition of power in this young century.  Because ultimately, it will be the rights of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara that stretches from Sabang to Merauke, an insistence -- (applause) -- an insistence that every child born in this country should be treated equally, whether they come from Java or Aceh; from Bali or Papua.  (Applause.)  That all Indonesians have equal rights.
That effort extends to the example that Indonesia is now setting abroad.  Indonesia took the initiative to establish the Bali Democracy Forum, an open forum for countries to share their experiences and best practices in fostering democracy.  Indonesia has also been at the forefront of pushing for more attention to human rights within ASEAN.  The nations of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny, and the United States will strongly support that right.  But the people of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny as well.  And that’s why we condemned elections in Burma recently that were neither free nor fair.  That is why we are supporting your vibrant civil society in working with counterparts across this region.  Because there’s no reason why respect for human rights should stop at the border of any country.
Hand in hand, that is what development and democracy are about -- the notion that certain values are universal.  Prosperity without freedom is just another form of poverty.  Because there are aspirations that human beings share -- the liberty of knowing that your leader is accountable to you, and that you won’t be locked up for disagreeing with them; the opportunity to get an education and to be able to work with dignity; the freedom to practice your faith without fear or restriction.  Those are universal values that must be observed everywhere. 
Now, religion is the final topic that I want to address today, and -- like democracy and development -- it is fundamental to the Indonesian story.
Like the other Asian nations that I’m visiting on this trip, Indonesia is steeped in spirituality -- a place where people worship God in many different ways.  Along with this rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population -- a truth I came to know as a boy when I heard the call to prayer across Jakarta. 
Just as individuals are not defined solely by their faith, Indonesia is defined by more than its Muslim population.  But we also know that relations between the United States and Muslim communities have frayed over many years.  As President, I have made it a priority to begin to repair these relations.  (Applause.)  As part of that effort, I went to Cairo last June, and I called for a new beginning between the United States and Muslims around the world -- one that creates a path for us to move beyond our differences.
I said then, and I will repeat now, that no single speech can eradicate years of mistrust.  But I believed then, and I believe today, that we do have a choice.  We can choose to be defined by our differences, and give in to a future of suspicion and mistrust.  Or we can choose to do the hard work of forging common ground, and commit ourselves to the steady pursuit of progress.  And I can promise you -- no matter what setbacks may come, the United States is committed to human progress.  That is who we are.  That is what we’ve done.  And that is what we will do.  (Applause.)
Now, we know well the issues that have caused tensions for many years -- and these are issues that I addressed in Cairo.  In the 17 months that have passed since that speech, we have made some progress, but we have much more work to do.
Innocent civilians in America, in Indonesia and across the world are still targeted by violent extremism.  I made clear that America is not, and never will be, at war with Islam.  Instead, all of us must work together to defeat al Qaeda and its affiliates, who have no claim to be leaders of any religion –-- certainly not a great, world religion like Islam.  But those who want to build must not cede ground to terrorists who seek to destroy.  And this is not a task for America alone.  Indeed, here in Indonesia, you’ve made progress in rooting out extremists and combating such violence.
In Afghanistan, we continue to work with a coalition of nations to build the capacity of the Afghan government to secure its future.  Our shared interest is in building peace in a war-torn land -- a peace that provides no safe haven for violent extremists, and that provide hope for the Afghan people. 
Meanwhile, we’ve made progress on one of our core commitments -- our effort to end the war in Iraq.  Nearly 100,000 American troops have now left Iraq under my presidency.  (Applause.)  Iraqis have taken full responsibility for their security.  And we will continue to support Iraq as it forms an inclusive government, and we will bring all of our troops home.
In the Middle East, we have faced false starts and setbacks, but we’ve been persistent in our pursuit of peace.  Israelis and Palestinians restarted direct talks, but enormous obstacles remain.  There should be no illusion that peace and security will come easy.  But let there be no doubt:  America will spare no effort in working for the outcome that is just, and that is in the interests of all the parties involved -- two states, Israel and Palestine, living side by side in peace and security.  That is our goal.  (Applause.)
The stakes are high in resolving all of these issues.  For our world has grown smaller, and while those forces that connect us have unleashed opportunity and great wealth, they also empower those who seek to derail progress.  One bomb in a marketplace can obliterate the bustle of daily commerce.  One whispered rumor can obscure the truth and set off violence between communities that once lived together in peace.  In an age of rapid change and colliding cultures, what we share as human beings can sometimes be lost.
But I believe that the history of both America and Indonesia should give us hope.  It is a story written into our national mottos.  In the United States, our motto is E pluribus unum -- out of many, one.  Bhinneka Tunggal Ika -- unity in diversity.  (Applause.)  We are two nations, which have traveled different paths.  Yet our nations show that hundreds of millions who hold different beliefs can be united in freedom under one flag.  And we are now building on that shared humanity -- through young people who will study in each other’s schools; through the entrepreneurs forging ties that can lead to greater prosperity; and through our embrace of fundamental democratic values and human aspirations.
Before I came here, I visited Istiqlal mosque -- a place of worship that was still under construction when I lived in Jakarta.  And I admired its soaring minaret and its imposing dome and welcoming space.  But its name and history also speak to what makes Indonesia great.  Istiqlal means independence, and its construction was in part a testament to the nation’s struggle for freedom.  Moreover, this house of worship for many thousands of Muslims was designed by a Christian architect.  (Applause.)
Such is Indonesia’s spirit.  Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila.  (Applause.)  Across an archipelago that contains some of God’s most beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people choose to worship God as they please.  Islam flourishes, but so do other faiths.  Development is strengthened by an emerging democracy.  Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.
That is not to say that Indonesia is without imperfections.  No country is.  But here we can find the ability to bridge divides of race and region and religion -- by the ability to see yourself in other people.  As a child of a different race who came here from a distant country, I found this spirit in the greeting that I received upon moving here:  Selamat Datang.  As a Christian visiting a mosque on this visit, I found it in the words of a leader who was asked about my visit and said, “Muslims are also allowed in churches.  We are all God’s followers.”
That spark of the divine lives within each of us.  We cannot give in to doubt or cynicism or despair.  The stories of Indonesia and America should make us optimistic, because it tells us that history is on the side of human progress; that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace.  May our two nations, working together, with faith and determination, share these truths with all mankind.
Sebagai penutup, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia:  terima kasih atas.  Terima kasih.  Assalamualaikum.  Thank you.
END           10:31 A.M. WIT
(Distributed by the Bureau of International Information Programs, U.S. Department of State. Web site: http://www.america.gov)