Di samping tragedi pendidikan sebagaimana ditulis Sidharta Susila, pendidik
dari Muntilan, dua bulan lalu di rubrik ini, dunia pendidikan kita juga
menghasilkan komedi.
Komedi satir atas dunia pendidikan di Indonesia muncul dalam banyak hal
sehingga timbul dugaan bahwa pemerintah tidak memiliki desain besar untuk
mengelola dunia pendidikan. Wacana demi wacana bermunculan tanpa ada eksekusi
akhir yang komprehensif sehingga tidak menimbulkan korban: guru, anak didik,
dan masa depan bangsa.
Pendidikan Karakter
Saat generasi muda ditengarai kehilangan jati diri sebagai manusia
Indonesia, pemerintah memunculkan wacana pentingnya pendidikan karakter bagi
anak di- dik. Guru diminta menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada
anak didik: jujur, disiplin, bertanggung jawab, cinta tanah air, kerja sama,
dan seterusnya. Ini lelucon yang tidak lucu sebab seolah-olah pemerintah
mengabaikan peran membentuk karakter anak didik. Sudah jadi tugas seorang guru
menanamkan sikap dan budi pekerti yang luhur kepada anak didik.
Guru dianggap tukang sulap: mampu membuat sesuatu dalam sekejap. Ia juga
dianggap tukang servis mental bagi anak didik. Padahal, luntur, rapuh dan
hilangnya jati diri serta karakter anak didik bukan disebabkan kelalaian guru.
Ini masalah sangat kompleks dan tak dapat sepenuhnya diserahkan kepada guru
untuk menanganinya.
Memang tak dapat dimungkiri bahwa guru berperan penting dalam memengaruhi
karakter anak didiknya. Yang harus diingat, dalam kurun 24 jam, anak-anak ha-
nya sekitar enam jam di bawah pengasuhan guru. Selebihnya anak-anak diasuh
”guru-guru lain”: televisi, internet, lingkungan, teman sebaya.
Penetrasi televisi dan internet demikian kuat. Pemerintah lupa dengan
fungsinya memberi aturan yang jelas dan tegas dalam kaidah bagi dunia
pertelevisian dan internet. Gambaran anakanak sekolah, pergaulan remaja dalam
sinetron di televisi yang tidak berpijak pada akar budaya bangsa adalah salah
satu bukti bahwa pemerintah gagal menjalankan fungsinya melindungi anak-anak
dari hal-hal buruk.
Jika aturan tegas ditegakkan tanpa peduli terhadap kekuatan kekuasaan
stasiun televisi, dalam skala minimal anak-anak dapat diselamatkan dari
pengaruh buruk hiburan di televisi.
Lalu, pemerintah mewacanakan pendidikan antikorupsi di se- kolah dan akan
jadi mata kuliah wajib di perguruan tinggi. Ini juga komedi pendidikan. Dunia
pendidikan selalu mengajarkan sikap jujur kepada anak didiknya. Tak satu guru
pun di muka bumi ini yang tak menanamkan kebaikan kepada anak didiknya. Saya
sudah puluhan tahun sebagai guru. Anak didik saya yang masih usia SD adalah
anak-anak yang lugu. Semua budi baik yang saya tanamkan kepada mereka dilaksa-
nakan. Saya yakin di tingkat SMP, SMA, bahkan perguruan tinggi, hal-hal itu
selalu ditanamkan.
Masalah timbul manakala mereka terjun di tengah-tengah masyarakat dengan
ragam profesi. Ada yang menjadi polisi, jaksa, hakim, advokat, pengusaha, atau
pegawai negeri. Jika ternyata ada di antara mereka yang berperilaku korup saat
terjun di tengah masyarakat, solusinya bukan lewat pendidikan antikorupsi di
sekolah dan bangku kuliah. Namun, lewat penegakan hukum yang jelas dan tegas kepada
pelaku korupsi itu.
Buat aturan yang tegas, hukum berat koruptor, miskinkan koruptor, sita
harta hasil korupsi adalah salah satu cara mengatasi korupsi. Ketika hukum
sedemikian ramah kepada perilaku korup, jangan harap korupsi akan hilang dari
bumi Indonesia meski anak didik dijejali dengan pendidikan antikorupsi. Jika
para koruptor dijatuhi hukuman mati, maka tak usah dibentuk KPK. Tak ada
gunanya kurikulum antikorupsi dalam situasi kekinian Indonesia.
Pendidikan itu soal hati. Yang paling penting adalah implementasi di
lapangan. Di bangku kuliah mahasiswa diajari pendidikan antikorupsi, tetapi
saat mereka hendak menjadi PNS, jaksa, hakim, polisi, semua harus lewat
”menyuap”. Bagi yang terjun sebagai pengusaha: untuk sukses mendapat proyek,
juga lewat cara-cara korup dengan menyuap para pejabat. Logika Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan tidak nyambung dengan realitas di lapangan. Kalangan
pendidik harus dilibatkan dan publik harus menguji keefektifan rencana itu.
Uji Kompetensi
Komedi pendidikan yang tidak lucu berikutnya adalah mengenai uji kompetensi
guru (UKG) yang membuat jantung guru berdetak keras. Apa urgensi pemerintah
melaksanakan UKG bagi guru yang sudah sertifikasi?
Pemerintah seolah-olah
ragu dengan langkah yang dilakukan dalam program sertifikasi. Pemerintah
sendiri yang menentukan parameter sertifikasi, panduan sertifikasi, mekanisme
sertifikasi. Semua sudah berjalan lancar. Lalu pemerintah mengeluarkan
kebijakan UKG setelah melihat tidak ada perubahan kompetensi guru antara
sebelum dan sesudah sertifikasi. Komedinya tak lucu