- Pendahuluan
Pendidikan
merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi seseorang. Kebutuhan
yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Karena pendidikan merupakan
kebutuhan setiap individu untuk mengembangkan kualitas, pontensi dan
bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari tidak
mengetahui menjadi mengetahui, dari kebodohan menjadi kepintaran dari
kurang paham menjadi paham, intinya adalah pendidikan membentuk jasmani
dan rohani menjadi paripurna. Sebagaimana tujuan pendidikan, menurut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI NO. 20 TH. 2003 BAB II Pasal 3 dinyatakan
”
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[1]
Tujuan pendidikan setidaknya
terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan bertujuan mengembangkan aspek
batin/rohani dan pendidikan bersifat jasmani/ lahiriyah. Pendidikan
bersifat rohani merujuk kepada kualitas kepribadian,
karakter, akhlak dan watak, kesemua itu menjadi bagian penting dalam
pendidikan, kedua pengembangan terfokus kepada aspek jasmani, seperti
ketengkasan, kesehatan, cakap, kreatif. Pengembangan tersebut dilakukan
di institusi sekolah dan di luar sekolah seperti di dalam keluarga, dan
masyarakat.
Tujuan pendidikan
berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan
demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam
membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas
dalam segi skill, kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal
ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak
didik mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya.
Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi pribadi soleh, pribadi,
berkualitas secara skill, kognitif dan spiritual.
Tetapi realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum
mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Kenyataan
ini dapat dicermati dengan banyaknya perilaku tidak terpuji terjadi di
masyarakat, sebagai contoh merebaknya pengguna narkoba, penyalahgunaan
wewenang, korupsi, manipulasi, perampokan, pembunuhan, pelecehan
seksual, pelanggaran Hak Azasi Manusia, penganiayaan terjadi setiap
hari. Realitas ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu membentuk anak didik berkepribadian paripurna.
Pendidikan diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk anak didik berakhlak mulia. Padahal tujuan pendidikan di antaranya adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat beriman dan bertakwa serta
berakhlak. Dalam tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari dan meneliti
penyebab gagalnya pendidikan secara keseluruhan, tidak juga ditujukan
untuk meneliti aspek penyebab kegagalan, atau latar belakang kebijakan
pendidikan sehingga pendidikan menjadi carut marut.
Tetapi pembahasan ini akan difokuskan kepada metode membentuk pribadi berakhlak mulia. Berakhlak mulia merupakan
bagian dari tujuan pendidikan di Indonesia, tujuan tersebut membutuhkan
perhatian besar berbagai pihak dalam rangka mewujudkan manusia
berskill, kreatif, sehat jasmani dan rohani sekaligus
berakhlak mulia. Penulis beranggapan bahwa inti dari pendidikan adalah
pendidikan akhlak, sebab tidak ada artinya skill hebat jika tidak
berakhlak mulia. Tidak ada artinya mempunyai generasi hebat, jenius,
kreatif tetapi tidak berakhlak mulia.
Berdasarkan
alasan tersebut penulis menganggap bahwa akhlak merupakan bagian
terpenting dalam kehidupan ini. Kenapa penulis berasumsi demikian?
Karena tanpa akhlak dunia akan hancur, dunia akan menjadi seperti
neraka, dunia akan menjadi ladang pemuasan keinginan tak terkendali,
baik kendali keagamaan, adat maupun moral. Kalau disuruh memilih dua
pilihan, pilihan pertama pemimpin berakhlak mulia, tetapi
berpendidikan diploma, pilihan kedua pemimpin bergelar strata
tiga/Doktor tetapi berakhlak buruk, suka berzina, korupsi dan perilaku
jelek lainnya, pasti orang sehat akalnya akan memilih pemimpin
berpendidikan diploma, daripada pemimpin bergelar Doktor/S.3 tetapi
berakhlak buruk.
Dari
perumpamaan tersebut memperjelas dan menguatkan asumsi bahwa akhlak
mulia menempati urutan teratas jika dibandingkan dengan skill. Di mana
pun tempatnya akhlak mulia mendapatkan tempat dihati masyarakat. Untuk
itu perlu kiranya langkah dan terobosan lebih maju untuk mendidik anak
didik mempunyai akhlak mulia. Perlu adanya metode yang tepat untuk
mendidik anak agar berakhlak mulia. Metode yang dapat diandalkan dan mudah di lakukan. Di samping itu perlu adanya kesamaan antara pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat, sehingga dimungkinkan pendidikan jalan searah dalam mencapai tujuan.
Ada
kecenderungan dalam masyarakat bahwa pendidikan adalah di sekolah, di
sekolah anak sudah cukup mendapatkan pendidikan, mulai dari pendidikan
skill sampai pendidikan akhlak. Padahal pendidikan disekolah hanya satu
bagian dari bentuk pendidikan, adanya ketergantungan orang tua dalam
mendidik anak kepada sekolah berakibat pengabaian pendidikan di rumah
dan masyarakat, padahal pendidikan di sekolah hendaknya bersesuaian
dengan pendidikan di sekolah, paling tidak ada semacam kesamaan. Adalah
mustahil pendidikan di sekolah dapat berhasil maksimal sedangkan
pendidikan di rumah dan sekolah tidak mendukung.
Sebagai
contoh anak di sekolah mendapat pelajaran salat dari guru agamanya,
mulai dari persiapan hingga bacaan salat dan gerakan salat. Anak yang
telah mendapatkan ilmu tentang salat diharuskan untuk mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Ketika anak pulang dari sekolah, kemudian
datang waktu salat, anak melihat ayah, ibu dan saudaranya tidak salat,
bagaimana perasaan, pikiran anak tadi? Tentu akan timbul banyak anggapan
dan praduga dan analisa, banyak jawaban dan komentar terhadap peristiwa
tersebut. Mungkin anak akan enggan melaksanakan salat dengan alasan
ayah, ibu dan saudaranya juga tidak salat jadi untuk salat. Atau ketika
seorang guru menasehati anak didiknya untuk tidak merokok, kemudian pada waktu lain, anak didik melihat guru tersebut merokok. Bagaimana sikap siswa pada waktu itu? Bagaimana kesimpulan siswa ketika itu?
Kejadian
tersebut mungkin saja ada, dan merealitas dalam kehidupan masyarakat,
terlepas apakah metode yang digunakan di sekolah telah sesuai atau
tidak, apakah penyelenggaraan pendidikan di sekolah memungkinkan anak
didik merasa aman, terlindungi, gembira dalam mengembangkan bakat dan
potensinya, apakah guru sudah mengoptimalkan pembelejaran dengan
memperhatikan aspek psikomotor, afektif dan kognitif atau tidak, yang
pasti keadaan keadaan di masyarakat masih sering terjadi perbuatan
asusila, anarkis, amoral dan berbagai maksiat dan kejahatan. Kejadian
tersebut memberi sinyal dan gambaran bahwa pendidikan akhlak belum
menjadi prioritas dalam dunia pendidikan. Pendidikan hanya mengembangkan
aspek kognitif dibanding aspek psikomotor, afektif, emosi dan religi.
Pendidikan
dianggap tidak berkualitas, pendidikan telah diangggap gagal? Kegagalan
tersebut tercermin dari banyaknya perbuatan mungkar, asusila dalam
kehidupan masyarakat. Keadaan ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan
tidak berkualitas dan gagal. Apakah angapan tersebut berdasarkan? Karena
kegagalan pendidikan tidak hanya diukur dari sikap moral di masyarakat
saja.
Apakah
pendidikan tidak bermutu sehingga menghasilkan anak didik bermoral
rendah, berakhlak rendah? Apakah pendidikan tidak mampu menampung dan
mengakomodasi keinginan dan potensi, bakat dan kemampuan siswa? Apakah
proses pembelajaran sudah memberi ruang dan waktu bagi berkembangannya
bermacam potensi dan bakat siswa? Kalau siswa telah mendapatkan haknya
untuk mengembangkan diri dan potensinya maka pendidikan telah memberi
makna kepada siswa.
Jamaluddin
Idris mengatakan agar pembelajaran bermakna dan berpotensi
mengembangkan bakat siswa paling tidak harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut; Perkembangan anak didik, kemandirian anak., vitalisasi
model hubungan demokratis, vitalisasi jiwa aksploratif, kebebasan,
menghidupkan pengalaman anak, keseimbangan pengembangan aspek personal dan social, Kecerdasan emosional dan spiritual.[2]
Pendidikan
hendaknya memperhatikan perkembangan anak didik, baik dari segi
kurikulumnya, metode dan materi ajarnya, perhatian terhadap aspek
perkembangan anak didik perlu diperhatikan agar terjadi umpan balik yang
seimbang, umpan balik yang dimaksud adalah adanya respon yang positif dari
anak didik terhadap pendidikan yang sedang diukutinya, di sisi lain,
anak didik akan terhindar dari pengabaian pendidikan. Bakat, potensi dan
minatnya akan tersalurkan jika pendidikan memperhatikan aspek perkembangan anak didik. Guru akan mudah mengajar dan memberikan materi dengan metode tepat.
Pendidikan
hendaknya mengembangkan aspek pribadi dengan tidak mengabaikan aspek
sosial, lebih dari itu pendidikan hendaknya mengembangkan aspek emosi
dan religi anak. Agama adalah sumber ajaran akhlak mulia, dengan
pemahaman agama kuat diharapkan anak mempunyai referensi cukup untuk
mengembangkan kepribadiannya.
Mengembangkan
kepribadian mengacu kepada mendidik akhlak. Dalam mendidik akhlak perlu
sebuah sistem ataupun metode tepat agar proses internalisasi dapat
berjalan dengan baik, lebih penting adalah anak mampu menerima konsep
akhlak dengan baik serta mampu mewujudkan dalam kehidupan keseharian.
Tulisan
ini berusaha menitikfokuskan kepada metode-metode yang mungkin dapat
digunakan dalam mendidik akhlak anak. Ada titik fokus terhadap metode
pendidikan tertentu dan tepat sesuai dengan materi dan anak didik amak
tingkat keberhasilannya lebih besar. Meskipun selama ini anak telah
mendapatkan materi tentang akhlak di sekolah, di rumah dan tempat
pengajian, tetapi kenapa anak masih berperilaku melanggar norma adat dan
agama? Bukankah mereka sudah mendapatkan pendidikan akhlak di sekolah?
- Sekilas Tentang Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu alkhulqu, al-khuluq yang mempunyai arti watak, tabiat, keberanian, atau agama.[3] Secara Istilah akhlak menurut Ibnu Maskawaih (421 H) adalah
“suatau
keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari
keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi
dua, ada yang berasal dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari
kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu
melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka
jadilah suatu bakat dan akhlak.”[4]
Indikasi
bahwa akhlak dapat dipelajari dengan metode pembiasaan, meskipun pada
awalnya anak didik menolak atau terpaksa melakukan suatu perbuatan/
akhlak yang baik, tetapi setelah lama dipraktekkan, secara terus-menerus
dibiasakan akhirnya anak mendapatkan akhlak mulia.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sebagaimana
dikutip Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari memberikan definisi akhlak
sebagai”suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang
melahirkan macam-macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran
dan pertimbangan terlebih dahulu”[5]
Dari dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa akhlak bersumber dari dalam diri anak dan dapat juga berasal dari lingkungannya. Secara umum
akhlak bersumber dari dua hal tersebut dapat berbentuk akhlak baik dan
akhlak buruk, tergantung pembiasaannya, kalau anak membiasakan perilaku
buruk, maka akan menjadi akhlak buruk bagi dirinya, sebaliknya anak
membiasakan perbuatan baik, maka akan menjadi akhlak baik bagi dirinya.
Penjelasan
tersebut mengindikasikan bahwa akhlak dapat dipelajari dan
diinternalisasikan dalam diri seseorang melalui pendidikan, di antaranya
dengan metode pembiasaan. Dengan adanya kemungkinan diinternalisasikan nilai-nilai akhlak ke diri anak, memungkinkan pendidik melakukan pembinaan akhlak.
- Jenis Metode Mendidik Akhlak
Abdurrahman
an-Nahlawi mengatakan metode pendidikan Islam sangat efektif dalam
membina akhlak anak didik, bahkan tidak sekedar itu metode pendidikan
Islam memberikan motivasi sehingga memungkinkan umat Islam mampu
menerima petunjuk Allah. Menurut Abdurrahman an-Nahlawi metode
pendidikan Islam adalah metode dialog, metode kisah Qurani dan Nabawi,
metode perumpaan Qurani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi
dan pengamalan, metode ibrah dan nasihat serta metode targhib dan tarhib.[6] Dari kutipan
tersebut tergambar bahwa Islam mempunyai metode tepat untuk membentuk
anak didik berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Islam. dengan metode
tersebut memungkinkan umat Islam/masyarakat Islam mengaplikasikannya
dalam dunia pendidikan. Dengan demikian diharapkan akan mampu memberi
kontribusi besar terhadap perbaikan akhlak anak didik, untuk memperjelas
metode-metode tersebut akan di bahas sebagai berikut:
-
- Metode Dialog Qurani dan Nabawi
Metode
dialog adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembiacaaan antara
dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan
topik pembicaraan tertentu. Metode dialog berusaha menghubungakn
pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi
pelaku dan pendengarnya.[7] Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.
Abdurrrahman
an-Nahlawi mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan
berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topic dialog disajikan dengan
pola dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk
mengikuti dialog hingga selesai, melalui dialog perasaan
dan emosi pembaca akan terbangkitkan, topic pembicaraan disajikan
bersifat realistik dan manusiawi.[8] Dalam al-Quran banyak memberi informasi tentang dialog, di antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog khitabi, taabbudi, deskritif, naratif, argumentative serta dialog Nabawiyah.[9] Metode dialog sering dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada anak didik untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami.
-
- Metode kisah Qurani dan Nabawi
Dalam
al-Quran banyak ditemui kisah menceritakan kejadian masa lalu, kisah
mempunyai daya tarik tersendiri yang tujuannnya mendidik akhlak,
kisah-kisah para Nabi dan Rasul sebagai pelajaran berharga. Termasuk
kisah umat yang inkar kepada Allah beserta akibatnya, kisah tentang
orang taat dan balasan yang diterimanya. Seperti cerita Habil dan Qobil,
“Ceritakanlah
kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari
salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang
lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata
Habil: “Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang
bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk
membunuhku, Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu
untuk membunuhmu. Sesungguhnya Aku takut kepada Allah, Tuhan seru
sekalian alam. Sesungguhnya Aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa)
dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni
neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh
saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang di antara
orang-orang yang merugi.”[10]
Ayat di atas merupakan contoh
dalam ayat Al-Quran yang berhubungan dengan kisah. Kisah dalam al-Quran
mengandung banyak pelajaran. Kisah dalam al-Quran dapat menjadi
pelajaran bagi manusia. Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan kisah
mengandung aspek pendidikan yaitu dapat mengaktifkan dan membangkitkan
kesadaran pembacanya, membina perasaan ketuhanan dengan cara
mempengaruhi emosi, mengarahkan emosi, mengikutsertakan psikis yang
membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita, topic cerita
memuaskan pikiran. Selain itu kisah dalam al-Quran
bertujuan mengkokohkan wahyu dan risalah para Nabi, kisah dalam al-Quran
memberi informasi terhadap agama yang dibawa para Nabi berasal dari
Allah, kisah dalam al-Quran mampu menghibur umat Islam yang sedang sedih
atau tertimpa musibah.[11]
Metode mendidik
akhlak melalui kisah akan memberi kesempatan bagi anak untuk berfikir,
merasakan, merenungi kisah tersebut, sehingga seolah ia ikut berperan
dalam kisah tersebut. Adanya keterkaitan emosi anak terhadap kisah akan
memberi peluang bagi anak untuk meniru tokoh-tokoh berakhlak baik, dan
berusaha meninggalkan perilaku tokoh-tokoh berakhlak buruk.
Cerita mengusung
dua unsur negatif dan unsur positif, adanya dua unsure tersebut akan
memberi warna dalam diri anak jika tidak ada filter dari para orang tua
dan pendidik. Metode mendidik akhlak melalui cerita/ kisah berperan
dalam pembentukan akhlak, moral dan akal anak.[12]
Dari kutipan tersebut dapat diambil pemahaman bahwa cerita/kisah dapat
menjadi metode yang baik dalam rangka membentuk akhlak dan kepribadian
anak.
Cerita
mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri dalam menarik simpati
anak, perasaannya aktif, hal ini memberi gambaran bahwa cerita disenangi
orang, cerita dalam al-Quran bukan hanya sekedar memberi hiburan,
tetapi untuk direnungi, karena cerita dalam al-Quran memberi pengajaran
kepada manusia. Dapat dipahami bahwa cerita dapat
melunakkan hati dan jiwa anak didik, cerita tidak hanya sekedar
menghibur tetapi dapat juga menjadi nasehat, memberi pengaruh terhadap
akhlak dan perilaku anak, dan terakhir kisah/ cerita merupakan sarana ampuh dalam pendidikan, terutama dalam pembentukan akhlak anak.
3. Metode Mauizah
Dalam tafsir al-Manar
sebagai dikutip oleh Abdurrahman An-Nahlawi dinyatakan bahwa nasihat
mempunyai beberapa bentuk dan konsep penting yaitu, pemberian nasehat
berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan
tujuan orang diberi nasehat akan menjauhi maksiat, pemberi nasehat
hendaknya menguraikan nasehat yang dapat menggugah perasaan afeksi dan
emosi, seperti peringatan melalui kematian peringatan melalui sakit
peringatan melalui hari perhitungan amal. Kemudian dampak yang
diharapkan dari metode mauizah adalah untuk membangkitkan
perasaan ketuhanan dalam jiwa anak didik, membangkitkan keteguhan untuk
senantiasa berpegang kepada pemikiran ketuhanan, perpegang kepada jamaah
beriman, terpenting adalah terciptanya pribadi bersih dan suci.[13]
Dalam
al-Quran menganjurkan kepada manusia untuk mendidik dengan hikmah dan
pelajaran yang baik.“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa
yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui
orang-orang yang mendapat petunjuk.”[14]
Dari
ayat tersebut dapat diambil pokok pemikiran bahwa dalam memberi nasehat
hendaknya dengan baik, kalau pun mereka membantahya maka bantahlah
dengan baik. Sehingga nasehat akan diterima dengan rela tanpa ada unsur
terpaksa. Metode mendidik akhlak anak melalui nasehat sangat membantu
terutama dalam penyampaian materi akhlak mulia kepada anak, sebab tidak
semua anak mengetahui dan mendapatkan konsep akhlak yang benar.
Nasehat menempati kedudukan tinggi dalam agama karena agama adalah nasehat, hal ini diungkapkan
oleh Nabi Muhammad sampai tiga kali ketika memberi pelajaran kepada
para sahabatnya. Di samping itu pendidik hendaknya memperhatikan
cara-cara menyampaikan dan memberikan nasehat, memberikan nasehat
hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, pendidikan hendaknya
selalu sabar dalam menyampaikan nasehat dan tidak merasa bosan/ putus
asa.[15] Dengan memperhatikan waktu dan tempat tepat akan memberi peluang bagi anak untuk rela menerima nasehat dari pendidik.
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd mengatakan cara mempergunakan rayuan/ sindiran dalam nasehat, yaitu:
- Rayuan dalam nasehat, seprti memuji kebaikan murid, dengan tujuan agar siswa lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan membicarakan keburukannya.
- Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga membangkitkan semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
- Membangkitkansemangat dan kehormatan anak didik.
- Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
- Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui sindiran
- Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang melakukan sesuatu berbeda dengan perbuatannya. Kalau hal ini dilakukan akan akan mendorongnya untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.[16]
Dengan
cara tersebut akan memaksimalkan dampak nasehat terhadap perubahan
tingkah laku dan akhlak anak, perubahan dimaksud adalah perubahan yang
tulus ikhlas tanpa ada kepura-puraan, kepura-puraan akan muncul ketika
nasehat tidak tepat waktu dan tempatnya, anak akan merasa tersinggung
dan sakit hati kalau hal ini sampai terjadi maka nasehat tidak akan
membawa dampak apapun, yang terjadi adalah perlawanan terhadap nasehat
yang diberikan.
-
- Metode Pembiasaan dengan Akhlak Terpuji
Manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih, dalam keadaan seperti ini manusia akan mudah menerima kebaikan atau keburukan.
Karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk menerima kebaikan
atau keburukan hal ini dijelaskan Allah, sebagai berikut:” Dan jiwa
serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang
yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang
mengotorinya.”[17]
Ayat
tersebut mengindikasikan bahwa manusia mempunyai kesempatan sama untuk
membentuk akhlaknya, apakah dengan pembiasaan yang baik atau dengan
pembiasaan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa metode
pembiasaan dalam membentuk akhlak mujlai sangat terbuka luas, dan
merupakan metode yang tepat. Pembiasaan yang dilakukan sejak dini /sejak
kecil akan memebawa kegemaran dan kebiasaan tersebut menjadisemacam
adapt kebiasaan sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadiannya. Al-Ghazali mengatakan:
”
Anak adalah amanah orang tuanya . hatinya yang bersih adalah permata
berharga nan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu
siap menerima setiap tulisan dan cenderung pada setiap yang ia
inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu
tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia didunia dan akhirat,
orang tuanya pun mendapat pahala bersama.”[18]
Kutipan
di atas makin memperjelas kedudukan metode pembiasaan bagi perbaiakn
dan pembentuakan akhlak melalui pembiasaan, dengan demikian pembiasaan
yang dilakukan sejak diniakan berdampak besar terhadap
kepribadian /akhlak anak ketiak mereka telah dewasa. Sebab pembiasan
yang telah dilakukan sejak kecil akan melekat kuat di ingatan dan
menjadi kebiasaan yang tidak dapat dirubah dengan mudah. Dengan demikian
metode pembiasaan sangat baik dalam rangka mendidik akhlak anak.
-
- Metode Keteladanan
Muhammad
bin Muhammad al-Hamd mengatakan pendidik itu besr dimata anak didiknya,
apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena murid akan meniru
dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya.[19]
Dengan memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan
mempunyai arti pentng dalam mendidik akhlak anak, keteladanan menjad
titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik, kalau
pendidik berakhlak baik ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak
baik, karena murid meniru gurunya, senbaliknya kalauguru berakhlak buruk
ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak buruk.
Dengan
demikian keteladanan menjadi penting dalam pendidikan akhlak,
keteladanan akan menjadi metode ampuh dalam membina akhlak anak.
Mengenai hebatnya keteladanan Allah mengutus Rasul untuk menjadi teladan
yang paling baik, Muhammad adalah teladan tertinggi sebagai panutan
dalam rangka pembinaan akhlak mulai,” Sesungguhnya Telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.”[20]
Keteladanan sempurna,
adalah keteladanan Muhammad Saw menjadi acuan bagi pendidik sebagai
teladan utama, dilain pihak pendidik hendaknya berusaha meneladani
Muhammad Saw sebagai teladannya, sehingga diharapkan anak didik
mempunyai figure yang dapat dijadikan panutan.
-
- Metode Targhib dan Tarhib
Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Sedangkan tarhib adalah ancaman, intimidasi melalui hukuman.[21]
Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa metode pendidikan akhlak
dapat berupa janji/pahala/hadiah dan dapat juga berupa hukuman. Muhammad
Rabbi Muhammad Jauhari menyatakan metode pemberian hadiah dan hukuman
sangat efektif dalam mendidik akhlak terpuji.[22]
Anak
berakhlak baik, atau melakukan kesalehan akan mendapatkan
pahala/ganjaran atau semacam hadian dari gurunya, sedangkan siswa
melanggar peraturan berakhlak jelek akan mendapatkan hukuman setimpal
dengan pelanggaran yang dilakukannya. Dalam al-Quran
dinyatakan orang berbuat baik akan mendapatkan pahala, mendapatkan
kehidupan yang baik.” Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan
kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami
beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
Telah mereka kerjakan.”[23]
Berdasarkan ayat di atas dapat diambil
konsep metode pendidikan yaitu metode pemberian hadiah bagi siswa
berprestasi atau berakhlak mulai, dengan adanya hadian akan memberi
motivasi siswa untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan
kebaikan akhlak yang telah dimiliki. Di lain pihak, temannya yang
melihat pemberian hadiah akan termotivasi untuk memperbaiki akhlaknya
dengan harapan suatu saat akan mendapatkan kesempatan memperoleh hadiah.
Hadiah diberikan berupa materi, doa, pujian atau yang lainnya.
Muhammad
Jamil Zainu mengatakan,”Seorang guru yang baik, harus memuji muridnya.
Jika ia melihat ada kebaikan dari metode yang ditempuhnya itu,dengan
mengatakan kepadanya kata-kata “bagus”, “semoga Allah memberkatimu”,
atau dengan ungkapan “engkau murid yang baik’.[24]
Sanksi
dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan terlalu lunak akan
membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati.
Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan
teguran, kemudian diasingkan, dan terakhir dipukul dalam arti tidak
untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi
fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul
wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas
dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
- memberi nasehat dan petunjuk.
- Ekspresi cemberut.
- Pembentakan.
- Tidak menghiraukan murid.
- Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
- Jongkok.
- Memberi pekerjaan rumah/ tugas.
- Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
- Dan alternatif terakhir adalah pukulan ringan.[25]
Dalam memberi
sanksi hendaknya dengan cara bertahap, dalam arti diusahakan, dengan
tahapan paling ringan, diantara tahapan ancaman dalam al-Quran adalah
diancam dengan tidak diridhoi oleh Allah, diancam dengan murka Allah
secara nyata, diancam dengan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, diancam
dengan sanksi akhirat, diancam dengan sanksi dunia.[26]
Kutipan tersebut menunjukkan bahwa dalam melaksanakan hukuman dituntut
berdasarkan tahapan-tahapan, sehingga ada rasa keadilan dan proses
sesuai prosedur hukuman.
- Penutup
Menurut
Abdurrahman an-Nahlawi metode pendidikan Islam adalah metode dialog,
metode kisah Qurani dan Nabawi, metode perumpaan Qurani dan Nabawi,
metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan, metode ibrah dan
nasihat serta metode targhib dan tarhib. Dalam
pemberian sanksi diusahakan tidak mendahulukan sanksi bersifat fisik,
kalau pun terpaksa hendaknya menghindari bagian muka dan bagian lain
yang membahayakan anak didik, kemudian pukulan dilaksanakan hanya
sekedarnya saja, tidak bermaksud balas dendam atau motif lain.
[1] Redaksi Sinar Grafika,Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI NO.20 TH.2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 5-6
[2] Jamaluddin Idris, Kompilasi Pemikiran Pendidikan, (Yogyakarta, Banda Aceh: Suluh Press dan Taufiqiyah Sa’adah:2005)., h. 11-15
[3] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari,Akhaquna,terjemahan. Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia,2006)., h. 88
[4] Ibid.,
[5] Ibid.
[6] Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha fii Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ Penerjemah. Shihabuddin, (Jakart: Gema Insani Press:1996)., h.204,
[7] Ibid., h.205
[8] Ibid.
[9] Ibid.,lebih lanjut baca Abdurrahman An-Nadawi hal 206-238
[10]Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemah dan Penjelasan Ayat Ahkam,(Jakarta: Pena Pundi Aksara,2006., h. 272
[11] Abdurrahman San-Nahlawi, Op.Cit., h. 239-250
[12] Abdul Aziz Abdul Majid,AlQissah fi al-tarbiyah,
penerjemah. Neneng Yanti Kh. Dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT.
Remaja Rosda Karya,2001), h.4. bandingkan dengan Jaudah Muhammad Awwad,Mnhajul Islam Tarbiyatil Athfal, penerjemah Shihabbuddin, (Jakarta: Gema Insani Press,2001)., h.46-47
[13] Abdurrahman an-Nahlawi, Op.Cit., h.289-296
[14] Departemen Agama RI, Op.Cit., h. 282
[15] Muhammad bin Ibrahim al- Hamd, Maal Muallimin, Penerjemah, Ahmad Syaikhu, ( Jakarta: Darul Haq,2002)., h.140, bandingkan dengan Fuad bin Abdul Azizi al-Syalhub,Al-Muallim alAwwal shalallaahu alaihi Wa Sallam Qudwah Likulli Muallim wa Muallimah, ,penerjemah. Abu Haekal,(Jakarta: Zikrul Hakim,2005), h.43-45
[16] Ibid., h.142
[17] Departemen Agama RI, Op. Cit. h. 596
[18] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Op.Cit., h.109
[19] Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Op.Cit., h.27
[20] Departemen Agama RI, Op.Cit, h.421
[21] Abdurrahman an-Nahlawi, Op.Cit., h. 296
[22] Muhammad Rabbi Jauhari, Op.Cit., h.115
[23] Departemen Agama RI, Op.Cit., h.279
[24] Fuad bin Abdul Aziz al-Syalhub, Op.Cit., h. 63
[25] Ibid., h59-60
[26] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhar, Op. Cit., h.122-124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berlatih kreatif melaui pembuatan komentar