Artikel Kompas hari ini Senin 12/1/2015 sungguh luar biasa: Bapak,
Ibu, Bangunlah!
Berikut potongan dari artikelnya:
SEBAGAI
sebuah bangsa, kita kini tengah terbuai dalam mimpi indah. Diramalkan, pada
2030 Indonesia berpotensi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di
dunia. Pada dekade itu juga kita akan menikmati "bonus demografi"
karena sekitar 180 juta penduduk (70 persen) ada dalam usia produktif (15-64
tahun).
Proyeksi lain memperkirakan populasi Indonesia pada 2020 sebesar 287,9
juta jiwa. Potensi keunggulan Indonesia semakin membesar karena pada saat yang
sama diprediksi justru profil penduduk sejumlah negara lain di Asia semakin
menua: Jepang, Tiongkok, Singapura, Taiwan, dan terutama Korea Selatan,
sehingga produktivitas mereka menurun. Sekarang terpulang kepada kita apakah
akan membiarkan semua potensi itu tetap merupakan mimpi indah atau hendak
mewujudkannya sebagai kenyataan. Jika memilih yang pertama, maka lanjutkan
tidur nyenyak. Kalau pilihannya yang kedua, maka wahai bapak, ibu, bangunlah!
Darah halal
Kita tahu, pada 2030 yang akan menjadi angkatan kerja paling
potensial dan berada di tengah piramida kependudukan itu adalah para pemuda
yang berusia 15-30 tahun. Mereka adalah anak-anak kita yang dilahirkan sejak
tahun 2000 hingga hari-hari sekarang ini.
Jika demikian, pertanyaan
introspektif pertama yang harus diajukan adalah: apakah mereka berasal dari gen
yang bermutu sehingga akan menjadi generasi yang cerdas, kreatif, dan kuat
menjadi tenaga pendorong pertumbuhan? Pertanyaan tersebut akan melahirkan
rentetan pertanyaan berikutnya. Apakah mereka berasal dari sperma dan indung
telur yang sehat dan bergizi? Apakah mereka terbuat dari darah halal yang
berasal dari rezeki yang diridai Allah, dan tidak dikotori oleh korupsi dan
narkoba?
Pertanyaan-pertanyaan harus terus dipertajam dan dilanjutkan. Apakah anak-anak
itu dikandung dalam rahim bunda yang bahagia atau ibu yang penuh tekanan dan
kesedihan? Apakah sang bunda hanya menelan makanan yang sehat, berserat, kaya
protein, dan bebas dari yang instan? Apakah sang bunda selalu membawa janinnya
ke dalam suasana yang tenang, damai, dan mengajaknya berdialog dengan
percakapan yang penuh pembelajaran?
Apakah kemudian sang jabang bayi dilahirkan
secara normal atau melalui rekayasa kedokteran? Setelah dilahirkan, apakah masa
40 hari pertamanya hangat dalam pelukan bunda dan mendapatkan air susu ibu?
Apakah pada tahun pertama dan keduanya, saat terjadi penyambungan sel-sel di
dalam otaknya, kedua orangtuanya memberikan rangsangan positif sehingga semua
pengetahuan yang—meminjam bahasa komputer—di-install dan di-down loadhanyalah
program-program yang religius, humanistik, dan saintifik?
Selanjutnya adalah
pertanyaan paling "mematikan": apakah setelah anak memasuki usia
toddler (18-24 bulan), ayah dan bunda sibuk "mengurus"-nya karena
beranggapan bahwa itu merupakan perwujudan dari tanggung jawab dan kasih sayang
orangtua terhadap anak? Jika jawabannya "ya", maka itulah awal dari
pembunuhan karakter dan kecerdasan anak! Dengan sibuk "mengurus"
anak, maka ayah dan bunda bukannya menyayangi anak, melainkan berlaku zalim terhadapnya.
Artinya, pada 2030 kita tidak akan memiliki generasi penerus yang bermutu dan
unggul, tetapi generasi yang rentan dan gagal. Semua mimpi indah tadi akan
berubah menjadi mimpi buruk!
Maka, bapak, ibu, bangunlah! Berhentilah mengurus
anak! Mengurus anak adalah terus menyuapinya walau anak sudah berusia lebih
dari lima tahun. Mengurus anak adalah selalu memakaikan celana, baju, dan
sepatunya. Selalu mengancingkan baju dan mengikatkan tali sepatunya. Selalu
memandikan, memilihkan pakaian, dan mendandaninya. Selalu menyiapkan tas,
buku-buku, dan makanan bekalnya. Tidak memberi mereka kesempatan untuk belajar
mandiri karena ayah-bunda tidak sabar melihat proses yang perlahan dan kadang
berantakan.
Bapak, ibu, bangunlah anak, dan bukan mengurusinya! Membangun anak
adalah memberinya sedikit kesulitan agar ia selamat di masa depan. Ajari
anak-anak untuk bisa mengatasi setiap kesulitan sejak usia dini. Tidak terus
dibantu, disuapi, dan dituntun. Anak-anak hanya perlu arahan, informasi yang
lengkap, faktual, ilmiah, contoh konkret, dan dorongan semangat, bukan bantuan
terus-menerus yang mematikan semangat dan merebut kesempatannya untuk belajar.
Menemukan pengetahuan serta pengalaman hidupnya yang otentik adalah proses
pembelajaran yang sangat dibutuhkan anak, dan itu akan melekat secara permanen
di dalam benaknya sebagai bangunan awal dari konsepnya tentang dunia. Ajaklah
anak ikut bekerja di dapur. Ajaklah anak ikut mencuci mobil dan bongkar-pasang
perabotan. Itulah arti dari ungkapan "pengalaman adalah guru terbaik".
Tepuk diam
Jika sudah waktunya, masukkanlah mereka ke sekolah usia dini yang
mengajarkan tentang klasifikasi warna-bentuk-ukuran, ciri-tanda-sifat-habitat,
sebab- akibat, fungsi-manfaat. Bukannya taman kanak-kanak yang memaksa anak
untuk segera bisa membaca dan menulis, dan bahkan berbahasa Inggris, sementara
bahasa ibu dan bahasa Indonesianya diabaikan. Sekolah anak usia dini yang
menggunakan metode pengajaran yang benar adalah yang membuat anak-anak bahagia,
dan mendorong mereka untuk menemukan sendiri pengetahuan dasarnya melalui
berbagai kegiatan main bebas dan main dengan aturan. Bukan memaksa mereka untuk
duduk manis dan diam, dan menyuruh mereka tak bergerak dengan berbagai tipuan.
Anak-anak perlu bergerak
untuk belajar memahami dan berkomunikasi dengan dunia melalui pancaindranya.
Mereka perlu membangun seluruh kecerdasan jamaknya sebagaimana dirumuskan
Howard Gardner (logik-matematik, bahasa, tubuh, ruang, intrapersonal,
interpersonal, musikal, natural, spiritual).
Anak-anak harus dibangun
kepercayaan dirinya. Dibangun inisiatif dan semangatnya untuk bereksplorasi.
Dibangun keberaniannya untuk berekspresi, bereksperimen, dan belajar dari
kesalahan. Kita pun punya konsep pendidikan yang bagus dan mampu melewati
zamannya yang diterapkan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa. Tiga filosofinya
yang terkenal adalah fondasi bagi para guru dan orangtua untuk membangun
kecerdasan anak dan karakter yang kuat: Di depan memberi teladan (ing ngarso
sung tulodo), di tengah membangun semangat (ing madya mangun karsa), di
belakang memberikan dukungan (tut wuri handayani).
.. Tangan
ibulah yang pertama-tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati
manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Tidak tanpa alasan orang
mengatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diminum bersama air susu ibu."
Kartini menegaskan: "Pendidikan yang baik bukan yang semata-mata
didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan
pembentukan akhlak pula.… Tanpa pembentukan budi pekerti, pengajaran yang
terbaik tidak akan menghasilkan buah yang sangat diharapkan dari pendidikan
itu." Maka, bapak, ibu, bangunlah anak-anak kita dengan pola dan cara yang
lebih baik. Jangan belenggu anak-anak kita dengan kurikulum yang dibuat oleh
pemerintah secara tergesa-gesa. Bangunlah jiwa dan raga anak-anak kita secara
merdeka.
Copy and WIN : http://bit.ly/copy_win
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berlatih kreatif melaui pembuatan komentar