Baru saja mengikuti pengajian on line, kuperoleh
hikmah pencerahan yang luar biasa.
Sang ustadz mengawali kisah: ada seorang ibu sering berkomentar: “Saya sudah bahagia sekarang, anak-anak saya semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak pertama wakil direktur di bank, anak kedua saya jadi perwira polisi, anak ketiga saya menjadi anggota DPR pusat dan pengurus parpol”.
Sang ustadz mengawali kisah: ada seorang ibu sering berkomentar: “Saya sudah bahagia sekarang, anak-anak saya semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak pertama wakil direktur di bank, anak kedua saya jadi perwira polisi, anak ketiga saya menjadi anggota DPR pusat dan pengurus parpol”.
Tentu dong,
kita tidak boleh iri. Setiap orang memiliki jatah rezeki masing-masing. Namun,
Islam membolehkan iri dalam hal amal kebaikan dan ilmu yang bermanfaat.
Singkat
cerita, menurut pemberitaan media, salah satu dari putera ibu tertangkap oleh KPK karena kasus berat: suap, penipuan
data, penggelapan dan pencucian uang.
Beberapa
bulan kemudian ada berita lagi, ada kasus kredit fiktif milyaran rupiah di salah satu bank
suasta, kini dalam proses penyelidikan. Eeeeh ternyata anak dari ibu yang di sebut di
atas terlibat kasus pemalsuan tanda tangan .
Itulah
sedikit cerita yang disampaikan oleh kajian : muslim.com. yang aku ikuti. Ya dalam kesempatan ini sang ustadz bicara tentang “KEBAHAGIAAN
SEMU” dalam kajian Islam disebut Jebakan kebahagiaan/ Istidraj.
Sang ustadz mengingatkan kepada kita bahwa kebahagiaan semu
itu menipu dan sering kali melalaikan dari akhirat. Yang tertipu oleh godaan
syetan tersebut jelas tak peduli lagi apa itu
haram atau halal pokoknya yang penting enak dan banyak duit.
Sang ustadz mengingatkan kita lewat firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya
janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia melalikan kamu,
dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.”
(QS. Luqmaan: 33)
Allah Ta’ala juga berfirman,
“Ketahuilah,
bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang
melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya
mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat
warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang
keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak
lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al Hadid: 20)
Kita kembali pada komentar seorang ibu,
Saya sudah bahagia sekarang, anak-anak saya
semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak pertama wakil
direktur di bank, anak kedua saya jadi perwira polisi, anak ketiga saya menjadi
anggota DPR pusat dan ketua parpol”.
Sebetulnya, di tengah lantangnya suara ibu bercerita, ada bisik-bisik di antara ibu-ibu, " Ora usah nggumunan lho bu!. Anaknya sudah jadi orang semua. Biar anak kita miskin, tapi juga orang lho bu, ! dudu "jaran"!. Aku juga pernah dengar-dengar untuk meraih jabatan dari anak-anaknya "tidak fair ". Pokoknya didengarkan saja.
Sebetulnya, di tengah lantangnya suara ibu bercerita, ada bisik-bisik di antara ibu-ibu, " Ora usah nggumunan lho bu!. Anaknya sudah jadi orang semua. Biar anak kita miskin, tapi juga orang lho bu, ! dudu "jaran"!. Aku juga pernah dengar-dengar untuk meraih jabatan dari anak-anaknya "tidak fair ". Pokoknya didengarkan saja.
Kalau benar adanya bahwa, pihak berwajib menemukan
bukti bahwa putra dari ibu di atas
memang pelaku kemaksiatan, maka baik anak dan ibunya memang sudah tertipu atau
terjebak pada definisi bahagia sejati.
Kebahagian semu adalah kebahagiaan tipu-tipu karena
polah tingkah syetan. Dan menurut al Qur ‘an
kebanyakan manusia, bisa juga aku
sendiri mudah terkena godaan hawa nafsu syetan. Allah berfirman:
“Dan jika
kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116).
Apakah standar kebahagiaan kita?
Jika ada komentar, “saya hidup bahagia
sekarang, punya istri yang cantik, anak dan pintar, punya rumah yang cukup
besar karir saya di kantor terus naik dan bisnis lancar terus”. Maka,
orang yang tidak memiliki iman/ ingkar juga bahagianya seperti komentar di atas, oleh
karena itu tidak sepantasnya seorang muslim bahagia hanya
dengan patokan kebahagiaan
seperti komentar di atas. Mengenai ayat,
“Janganlah
sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam
negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah
Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” QS. Ali Imran: 196-197)
Apa itu kebahagiaan Sejati menurut
Islam?
Kebahagiaan adalah bahagia jika melaksanakan perintah
Allah dan merasa sedih jika melakukan kemaksiatan. Allah Ta’ala
berfirman,
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.”
(QS. An Nahl: 97)
Jadi jika kita berat melaksanakan shalat, puasa, atau
bahkan berat melaksanakan amalan-amalan sunnah, maka itu adalah tanda tidak
bahagia. Kemudian jika kita melakukan maksiat tetapi kita tenang-tenang saja,
atau yang lebih parah tidak tahu bahwa hal yang kita lakukakan adalah maksiat
dan dilarang oleh agama.
Bandingkan dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
Bandingkan dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
“Seorang mukmin
memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang
ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang
dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup
mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan mengenai
ciri kebahagiaan: “jika diberi [kenikmatan] maka ia bersyukur, jika
diuji [dengan ditimpa musibah] ia bersabar dan jika melakukan dosa ia
beristigfar [bertaubat]. Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”
Dan mengenai bahagia
yang sesungguhnya jelas letaknya adalah di hati. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan
banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’
adalah hati yang selalu merasa cukup.”
Oleh karena itu mari kita mencari kebahagiaan sejati.
SALAM SUKSES SEJATI