Segala puji
bagi Allah, Rabb semesta alam, tempat bersandar seluruh makhluk, tidak ada
sesembahan yang berhak disembah melainkan Dia. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik hingga hari kiamat.
Jalan meraih
sukses dengan pasti adalah dengan bertakwa dan bertawakkal pada Allah subhanahu
wa ta’ala. Ayat yang bisa menjadi renungan bagi kita bersama adalah firman
Allah Ta’ala,
وَمَنْ يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Barangsiapa
bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar, dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
(QS. Ath Tholaq: 2-3)
Hakekat
Tawakkal
Tawakkal
berasal dari kata “wukul”, artinya menyerahkan/ mempercayakan. Seperti dalam
kalimat disebutkan “وَكَّلْت أَمْرِي إِلَى فُلَان”, aku menyerahkan urusanku pada fulan. Sedangkan yang
dimaksud dengan tawakkal adalah berkaitan dengan keyakinan.
Berdasarkan
keterangan dari Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah, hakekat tawakkal
adalah benarnya penyandaran hati pada Allah ‘Azza wa Jalla untuk meraih
berbagai kemaslahatan dan menghilangkan bahaya baik dalam urusan dunia maupun
akhirat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya serta meyakini dengan
sebenar-benarnya bahwa ‘tidak ada yang memberi, menghalangi, mendatangkan
bahaya, dan mendatangkan manfaat kecuali Allah semata’.
Keutamaan
Tawakkal
Pertama: Tawakkal
sebab diperolehnya rizki
Ibnu Rajab
mengatakan, ”Tawakkal adalah seutama-utama sebab untuk memperoleh rizki”. Sebagaimana Allah Ta’ala sebutkan
dalam firman-Nya,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan
barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).
Kedua: Diberi kecukupan oleh Allah
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ath Tholaq ayat 3 kepada Abu Dzar Al
Ghifariy. Lalu beliau berkata padanya,
لَوْ أَنَّ
النَّاسَ كُلَّهُمْ أَخَذُوْا بِهَا لَكَفَتْهُمْ
“Seandainya
semua manusia mengambil nasehat ini, itu sudah akan mencukupi mereka.”[3] Yaitu seandainya manusia betul-betul bertakwa
dan bertawakkal, maka sungguh Allah akan mencukupi urusan dunia dan agama
mereka.[4]
Ibnu Jarir
Ath Thobari rahimahullah ketika menjelaskan surat Ath Tholaq ayat 3
mengatakan, “Barangsiapa yang bertakwa pada Allah dengan menjalankan
perintah-Nya dan menyandarkan hatinya pada-Nya, maka Allah akan memberi
kecukupan bagi-Nya.”[5]
Al Qurtubhi rahimahullah
menjelaskan pula tentang surat Ath Tholaq ayat 3 dengan mengatakan,
“Barangsiapa yang menyandarkan dirinya pada Allah, maka Allah akan beri
kecukupan pada urusannya.”[6]
Asy Syaukani
rahimahullah menjelaskan, “Barangsiapa menyerahkan urusannya pada Allah,
maka Allah akan berikan kecukupan pada urusannya.”[7]
Syaikh As
Sa’di rahimahullah menjelaskan pula, “Barangsiapa yang menyandarkan diri
pasa Allah dalam urusan dunia maupun agama untuk meraih manfaat dan terlepas
dari kemudhorotan, dan ia pun menyerahkan urusannya pada Allah, maka Allah yang
akan mencukupi urusannya. Jika urusan tersebut diserahkan pada Allah Yang Maha
Mencukupi (Al Ghoni), Yang Maha Kuat (Al Qowi), Yang Maha Perkasa (AL ‘Aziz)
dan Maha Penyayang (Ar Rohim), maka hasilnya pun akan baik dari cara-cara lain.
Namun kadang hasil tidak datang saat itu juga, namun diakhirkan sesuai dengan
waktu yang pas.”[8] Masya Allah suatu keutamaan yang sangat
luar biasa sekali dari orang yang bertawakkal.
Ketiga: Masuk
surga tanpa hisab dan tanpa adzab
Dari Ibnu
‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِى سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ ، هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Tujuh
puluh ribu orang dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah
orang-orang yang tidak minta diruqyah, tidak beranggapan sial dan mereka selalu
bertawakkal pada Rabbnya.”[9]
Merealisasikan
Tawakkal
“Dalam
merealisasikan tawakkal tidaklah menafikan melakukan usaha dengan melakukan
berbagai sebab yang Allah Ta’ala tentukan. Mengambil sunnah ini sudah
menjadi sunnatullah (ketetapan Allah yang mesti dijalankan). Allah Ta’ala
memerintahkan untuk melakukan usaha disertai dengan bertawakkal pada-Nya,”
demikian penuturan Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah selanjutnya[10].
Jadi
intinya, dari penjelasan beliau ini dalam merealisasikan tawakkal haruslah
terpenuhi dua unsur:
- Bersandarnya hati pada Allah.
- Melakukan usaha.
Inilah cara
merealisasikan tawakkal dengan benar. Tidak sebagaimana anggapan sebagian orang
yang menyangka bahwa tawakkal hanyalah menyandarkan hati pada Allah, tanpa
melakukan usaha atau melakukan usaha namun tidak maksimal. Tawakkal tidaklah
demikian.
Ibnu Rajab
Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Usaha dengan anggota badan dalam
melakukan sebab adalah suatu bentuk ketaatan pada Allah. Sedangkan bersandarnya
hati pada Allah adalah termasuk keimanan.”[11]
Tawakkal
Haruslah dengan Usaha
Berikut di
antara dalil yang menunjukkan bahwa tawakkal tidak mesti meninggalkan usaha,
namun haruslah dengan melakukan usaha yang maksimal.
Dari Umar
bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لَوْ
أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا
يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
“Seandainya
kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian
rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi
hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.”[12]
Al Munawi
mengatakan, ”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali
ketika sore dalam keadaan kenyang. Namun, usaha (sebab) itu bukanlah yang
memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini menunjukkan
bahwa tawakkal tidak harus meninggalkan usaha. Tawakkal haruslah dengan
melakukan berbagai usaha yang akan membawa pada hasil yang diinginkan. Karena
burung saja mendapatkan rizki dengan usaha. Sehingga hal ini menuntunkan pada
kita untuk mencari rizki.”[13]
Ibnu ‘Allan
mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam Syu’abul
Iman:
Hadits ini
bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk
memperoleh rizki. Bahkan hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk
mencari rizki karena burung tersebut pergi di pagi hari untuk mencari rizki.
Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka
bertawakkal pada Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam
mengais rizki, kemudian melihat bahwa setiap kebaikan berada di tangan-Nya dan
dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut sebagaimana burung
yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan
kenyang. Namun ingatlah bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan,
tubuh, dan usaha mereka saja, atau bahkan mendustakan yang telah ditakdirkan
baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.”[14]
Imam Ahmad
pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah atau di
masjid. Orang yang duduk-duduk tersebut pernah berkata, ”Aku tidak
mengerjakan apa-apa. Rizkiku pasti akan datang sendiri.” Imam Ahmad
lantas mengatakan, ”Orang ini sungguh bodoh. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri telah bersabda,
إِنَّ اللَّه
جَعَلَ رِزْقِي تَحْت ظِلّ رُمْحِي
”Allah
menjadikan rizkiku di bawah bayangan tombakku.”[15]
Dan beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Seandainya kalian betul-betul
bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana
burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan
lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang”. Disebutkan dalam
hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan kembali pada waktu
sore dalam rangka mencari rizki. Para sahabat pun berdagang. Mereka pun
mengolah kurma. Yang patut dijadikan qudwah (teladan) adalah mereka (yaitu para
sahabat).[16]
Allah subhanahu
wa ta’ala dalam beberapa ayat juga menyuruh kita agar tidak meninggalkan
usaha sebagaimana firman-Nya,
وَأَعِدُّوا
لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ
”Dan siapkanlah
untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS. Al Anfaal: 60).
Juga
firman-Nya,
فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
“Apabila
telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah.” (QS. Al Jumu’ah: 10). Dalam ayat-ayat ini terlihat
jelas bahwa kita dituntut untuk melakukan usaha.
Meraih
Sukses dengan Menempuh Sebab yang Benar
Sahl At
Tusturi rahimahullah mengatakan, ”Barangsiapa mencela usaha
(meninggalkan sebab) maka dia telah mencela sunnatullah (ketentuan yang Allah
tetapkan). Barangsiapa mencela tawakkal (tidak mau bersandar pada Allah) maka
dia telah meninggalkan keimanan.”[17]
Dari
keterangan Sahl At Tusturi ini menunjukkan bahwa jangan sampai kita
meninggalkan sebab. Namun dengan catatan kita tetap bersandar pada Allah ketika
mengambil sebab dan tidak boleh bergantung pada sebab semata.
Oleh karena
itu, perlu diperhatikan bahwa dalam mengambil sebab ada tiga kriteria yang
mesti dipenuhi. Satu kriteria berkaitan dengan sebab yang diambil. Dua kriteria
lainnya berkaitan dengan orang yang mengambil sebab.
Kriteria pertama: Berkaitan
dengan sebab yang diambil. Yaitu sebab yang diambil haruslah terbukti secara
syar’i atau qodari.
Secara
syar’i, maksudnya
adalah benar-benar ditunjukkan dengan dalil Al Qur’an atau hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Contoh:
Dengan minum air zam-zam, seseorang bisa sembuh dari penyakit. Sebab ini
adalah sebab yang terbukti secara syar’i artinya ada dalil yang menunjukkannya
yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyebut air zam-zam,
إِنَّهَا
مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ
“Sesungguhnya
air zam-zam adalah air yang diberkahi, air tersebut adalah makanan yang
mengenyangkan.”[18]
Ditambahkan
dalam riwayat Abu Daud (Ath Thoyalisiy) dengan sanad jayyid (bagus) bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
وَشِفَاءُ
سُقْمٍ
“Air
zam-zam adalah obat dari rasa sakit (obat penyakit).”[19]
Begitu pula
disebutkan dalam hadits lainnya, dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَاءُ
زَمْزَمَ لِمَا شُرِبَ لَهُ
“Khasiat
air zam-zam sesuai keinginan ornag yang meminumnya.”[20]
Secara
qodari, maksudnya
adalah secara sunnatullah, pengalaman dan penelitian ilmiah itu terbukti
sebagai sebab memperoleh hasil. Dan sebab qodari di sini ada yang merupakan
cara halal dan ada pula yang haram.
Contoh:
Dengan belajar giat seseorang akan berhasil dalam menempuh UAS (Ujian Akhir
Semester). Ini adalah sebab qodari dan dihalalkan.
Namun ada
pula sebab qodari dan ditempuh dengan cara yang haram. Misalnya menjalani ujian
sambil membawa kepekan (contekan). Ini adalah suatu bentuk penipuan. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ غَشَّ
فَلَيْسَ مِنِّى
“Barangsiapa
menipu, maka ia tidak termasuk golonganku.”[21]
Misalnya
lagi, memperoleh harta dengan cara korupsi. Ini adalah cara yang haram. Dari
Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنِ
اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ
فَهُوَ غُلُولٌ
“Siapa
saja yang kami pekerjakan lalu telah kami beri gaji maka semua harta yang dia
dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut, pent) adalah harta yang
berstatus ghulul (baca:korupsi)”.[22]
Kriteria kedua: Berkaitan
dengan orang yang mengambil sebab, yaitu hendaklah ia menyandarkan hatinya
pada Allah dan bukan pada sebab. Hatinya seharusnya merasa tenang dengan
menyandarkan hatinya kepada Allah, dan bukan pada sebab. Di antara tanda
seseorang menyandarkan diri pada sebab adalah di akhir-akhir ketika tidak
berhasil, maka ia pun menyesal.
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa
menggantungkan diri pada sesuatu, niscaya Allah akan menjadikan dia selalu
bergantung pada barang tersebut.”[23] Artinya, jika ia bergantung pada selain Allah,
maka Allah pun akan berlepas diri darinya dan membuat hatinya tergantung pada
selain Allah.
Kriteria ketiga: Berkaitan
dengan orang yang mengambil sebab, yaitu meyakini takdir Allah. Seberapa
pun sebab atau usaha yang ia lakukan maka semua hasilnya tergantung pada takdir
Allah (ketentuan Allah).
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
كَتَبَ
اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ
بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Allah
telah mencatat takdir setiap makhluk sebelum 50.000 tahun sebelum penciptaan
langit dan bumi.”[24]
Beriman
kepada takdir, inilah landasan kebaikan dan akan membuat seseorang semakin
ridho dengan setiap cobaan. Ibnul Qayyim mengatakan, “Landasan setiap kebaikan
adalah jika engkau tahu bahwa setiap yang Allah kehendaki pasti terjadi dan
setiap yang tidak Allah kehendaki tidak akan terjadi.” [25] [26]
Tawakkal
yang Keliru
Dari
penjelasan di atas kita dapat merinci beberapa bentuk tawakkal yang keliru:
Pertama:
Menyandarkan hati pada Allah, namun tidak melakukan usaha dan mencari sebab.
Perilaku semacam ini berarti mencela sunnatullah sebagaimana dikatakan oleh
Sahl At Tusturi di atas.
Kedua: Melakukan
usaha, namun enggan menyandarkan diri pada Allah dan menyandarkan diri pada
sebab, maka ini termasuk syirik kecil. Seperti memakai jimat, agar dilancarkan
dalam urusan atau bisnis.
Ketiga: Sebab yang
dilakukan adalah sebab yang haram, maka ini termasuk keharaman. Misalnya,
meraih dengan jalan korupsi.
Keempat: Meyakini
bahwa sebab tersebut memiliki kekuatan sendiri dalam menentukan hasil, maka ini
adalah syirik akbar (syirik besar). Keyakinan semacam ini berarti telah
menyatakan adanya pencipta selain Allah. Misalnya, memakai pensil ajaib yang
diyakini bisa menentukan jawaban yang benar ketika mengerjakan ujian. Jika
diyakini bahwa pensil tersebut yang menentukan hasil, maka ini termasuk syirik
akbar.
Ketika
Mendapat Kegagalan
Ketika itu
sudah berusaha dan menyandarkan diri pada Allah, maka ternyata hasil yang
diperoleh tidak sesuai yang diinginkan maka janganlah terlalu menyesal dan
janganlah berkata “seandainya demikian dan demikian” dalam rangka menentang
takdir.
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
الْمُؤْمِنُ
الْقَوِىُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ وَفِى
كُلٍّ خَيْرٌ احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ وَلاَ تَعْجِزْ
وَإِنْ أَصَابَكَ شَىْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّى فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا.
وَلَكِنْ قُلْ قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ
الشَّيْطَانِ
“Mukmin yang
kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah. Namun,
keduanya tetap memiliki kebaikan. Bersemangatlah atas hal-hal yang bermanfaat
bagimu. Minta tolonglah pada Allah, jangan engkau lemah. Jika engkau tertimpa
suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan demikian
dan demikian.’ Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini sudah jadi takdir Allah.
Setiap apa yang telah Dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena perkataan law
(seandainya) dapat membuka pintu syaithon.”[27]
Demikian
sedikit pembahasan kami tentangt tawakkal. Semoga bermanfaat. Segala puji bagi
Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel
http://rumaysho.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berlatih kreatif melaui pembuatan komentar