Mewujudkan harapan
setidak-tidaknya ada seorang guru
yang menghasilkan satu artikel
ilmiah ternyata bukan pekerjaan yang
mudah. Itulah pengalamanku sebagai motivator kepenulisan ketika berhadapan
dengan puluhan guru bahasa Inggris SMP di SMPN 4 Wonogiri. Penuh perhatian dan
konsentrasi itulah kesan yang terlihat saat-saat para guru mendengarkan
motivasi kepenulisan. Namun, begitu sampai pada tugas mengawali menulis
terlihat kebingungan dan aras-arasen.
Sejatinya, para guru sudah faham
bahwa keterampilan menulis itu sangat penting. Apalagi akhir-akhir ini mereka
dimotivai dari berbabgai lini bahwa syarat untuk lolos sertifikasi juga
kenaikan pangkat melalui unjuk prestasi berupa karay kepenulisan. Namun, kenapa
para guru masih bermalas-malasan untuk menulis?
Dalam Kompas.com (Kamis, 3 Juni
2010),Wijaya Kusumah menyatakan bahwa di antara penyebab para guru
tidak atau belum menghasilkan
karya kepenulisan adalah mereka
belum memahami profesi guru, masih terjebak rutinitas kerja dan malas
membaca. Guru belum memahami profesinya
bisa difahami bahwa profesi guru adalah profesi yang sangat mulia. Atas
kemuliannya guru idealnya bukan hanya guru yang mampu mentransfer ilmu dengan baik,
tetapi juga mampu ditiru untuk memberi
tauladan, kalau dalam hal ini guru dituntut memberikan teladan dalam hal
kepenulisan.
Sedangkan penyebab kedua adalah
guru terjebak rutinitas mengajar idialnya guru harus membuat jadwal yang
terencana. Dia mestinya tidak terjebak di dalam rutinitas kerja saja,
sebetulnya guru belajar menulis dari
membuat diari atau catatan harian yang ditulis dalam agenda guru, di dalam blog
internet, dan lain-lain. Rutinitas kerja tanpa sadar membuat guru terpola menjadi
guru yang kurang berkualitas.
Yang tidak kalah penting guru
seharusnya terbiasa membaca. Jika dikembangkan guru yang terbiasa membaca akan mudah menulis. Dari membaca itulah guru
mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya, kemudian kesimpulan itu ia
tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri. Guru yang rajin menulis, maka ia
mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam, layaknya sebilah pisau.
Untuk memacu para guru agar mau
menulis, berbagai media sebenarnya telah
memberikan penghargaan baik berupa piagam maupun imbalan finansial. Iming-iming
kenyataanya belum mampu menggerakkan semangat guru untuk berkarya. Melihat
kenyataan bahwa para guru belum tergerak hatinya untuk
memulai menulis, maka dibutuhkan motivator kepenulisan. Diharapkan
setelah para guru dimotivasi mereka menjadi lebih bergairah untuk menghasilkan
karya tulisan. Sebagaimana para siswa
perlu dimotivasi oleh guru untuk berkarya, tentunya seorang guru juga
demikian.
Untuk menjadi seorang penulis tidak
memerlukan biaya keuangan yang banyak, temapat dan waktu yang longgar.
Dimanapun karya tulisan bisa dibuat.Kenyataanya tidak sedikit para guru yang
sama sekali belum menghasilkan karya tulisan yang bisa dinikmatai oleh pembaca.
Penyadaran para guru harus terus
menerus digencarkan. Ketidakmempanan proses penyadaran para guru, karena mereka
belum menyadari bahwa mereka memiliki modal menulis. Maka guru perlu dimotivasi bahwa modal menulis
termyata terlalu sederhana yakni: Kreatif, Aktif, Motivasi, Peduli, Refleksi
dan Tekun dengan akronim KAMPRET.
Terlalu sederhana untuk dibahas,
yang terpenting guru seharusnya mampu menjadi teladan dalam hal kepenulisan.
Mereka mestinya memaksimalkan modal yang
telah mereka miliki yakni mereka harus
berlatih kreatif, aktif berkarya, memiliki motivasi belajar dan berbagi.
Demikian juga mereka harus peduli terhadap kemajuan diri maupun kemajuan untuk
peserta didik. Kemudian para guru harus
memiliki jiwa refleksi atau dikenal dengan jiwa mulat sariro hangroso wani dan
yang terakhir memiliki jiwa tekun. Modal atau sifat mulia tersebut idealnya
dimuliki oleh setiap guru dan ditularkan kepada perserta didik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berlatih kreatif melaui pembuatan komentar