Jujur saja, kalau aku belum pernah mendapatkan pelatihan tentang Kurikulum 2013. Namun, sekolahku sudah mendapat instruksi menerapkan kurikulum yang masih "asing"ini.
Beberapa bulan yang lalu memang sudah ada keputusan bahwa sekolahku belum diinstruksikan untuk menerapkan kurikulum 2013. Katanya hanya sekolah tertentu yang harus menerapkannya. Namun, walau aku belum mendapatkan pelatihan sudah banyak info tentang kurikulum yang terkesan dipaksakan ini. Ya tentu melalui browsing di dunia maya kita bisa dengan mudah mendapatkan ilmu.
Yang jelas Kurikulum 2013 sudah disahkan dan penerapan untuk beberapa jenjang pun sudah dimulai di Tahun Pembelajaran 2013/2014. Penerapan kurikulum 2013 ini didasari dengan disadarinya bahwa guru-guru perlu memperkuat kemampuannya dalam memfasilitasi siswa agar terlatih berpikir logis, sistematis, dan ilmiah. Tantangan ini memerlukan peningkatan keterampilan guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Skenario untuk memacu keterampilan guru menerapkan strategi ini di Indonesia telah melalui sejarah yang panjang, namun hingga saat ini harapan baik ini belum terwujudkan juga. Karenanya, dalam perancangan kurikulum baru ini, pemerintah menggunakan pendekatan ilmiah atau scientific, karena pendekatan ini dianggap lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan tradisional.
Pendekatan Scientific Sebagai Cara Efektif
Pendekatan
scientific adalah konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi
perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah. Proses pembelajaran yanag mengimplementasikan pendekatan scientific akan
menyentuh tiga ranah, yaitu:
1. sikap (afektif),
2. pengetahuan (kognitif), dan
3. keterampilan (psikomotor).
Dengan proses pembelajaran yang demikian maka
diharapkan hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif,
inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan
yang terintegrasi. Terdapat
tiga model pembelajaran yang digunakan dalam metode pendekatan scientific,
yaitu:
a.
Discovery Learning (penemuan)
b.
Project Based Learning (Pembelajaran berbasis proyek)
c.
Problem Based Learning (Pembelajaran berbasis masalah).
Pendekatan
pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan bagian dari pendekatan
pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang melandasi
penerapan metode ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam
pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, menalar,
mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran (Menyajikan).
1.
Mengamati
Mengamati
ialah Kegiatan mengidentifikasi ciri-ciri
objek tertentu dengan alat inderanya secara teliti, menggunakan fakta yang
relevan dan memadai dari hasil pengamatan, menggunakan alat atau bahan sebagai
alat untuk mengamati objek dalam rangka pengumpulan data atau informasi dan dilakukan dengan
cara menggunakan lima indera . Dalam
hal ini guru menyajikan perangkat pembelajaran berupa media pembelajaran. dalam
kegitan mengamati, guru menyajikan video, gambar, miniature, tayangan, atau
obyek asli. Siswa bisa diajak untuk bereksplorasi mengenai obyek yang akan
dipelajari. Terapat dua jenis Pengamatan, yaitu:
i.
pengamatan kualitatif
ii.
pengamatan kuantitatif
2.
Menanya
Kegiatan
belajarnya adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami
dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan
tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan
yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan
kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk
pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Pada
langkah ini suasana pembelajaran yang berhasil adalah terjadinya komunikasi
aktif diskusi materi pelajaran.
3.
Menalar
Kegiatan
belajarnya adalah pertama, mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik
terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari
kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi; kedua, pengolahan
informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman
sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai
sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan.
Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti,
disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan
berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan. Pada kegiatan ini siswa
akan menalar yaitu menghubungkan apa yang sedang dipelajari dengan apa yang ada
dalam kehidupan sehari-hari.
4.
Mencoba
Kegiatan
yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi/eksperimen. Kegiatan belajarnya
adalah melakukan eksperimen, membaca sumber lain selain buku teks,
mengamati objek/kejadian/ aktivitas, wawancara dengan nara sumber. Kompetensi
yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap teliti, jujur,sopan, menghargai
pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan
informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan
belajar dan belajar sepanjang hayat. Pada langkah pembelajaran ini, setiap
siswa dituntut untuk mencoba mempraktekkan apa yang dipelajari
5.
Membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran
(Menyajikan)
Setelah melalui
empat proses di atas, pada proses menyajikan inilah, siswa kembali memainkan
perannya. Kegiatan belajarnya adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan
berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya.
Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti,
toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat
dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Pada
tahapan ini siswa mempresentasikan kemampuan mereka mengenai apa yang telah
dipelajari sementara siswa lain menanggapi. Tanggapan siswa lain bisa berupa pertanyaan,
sanggahan atau dukungan tentang materi presentasi. Guru berfungsi sebgai
fasilitator tentang kegiatan ini. Dalam kegiatan ini semua siswa secara
proporsional akan mendapatkan kewajiban dan hak yang sama. Siswa akan terlatih
untuk menjadi narasumber, menjadi orang yang akan mempertahankan gagasannya
secara ilmiah dan orang yang bisa mandiri serta menjadi orang yang bisa
dipercaya. Semua kegiatan pembelajan akan kembali kepada pencapaian ranah
pembelajaran yaitu ranah sikap, ranah kognitif dan ranah ketrampilan.
Kriteria-Kriteria Pendekatan Ilmiah dan Nonilmiah dalam Pembelajaran
Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah
mempunyai hasil yang lebih efektif bila dibandingkan dengan
penggunaan pembelajaran dengan pendekatan tradidional. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa pada pembelajaran tradisional, retensi
informasi dari guru sebesar 10 persen setelah 15 menit dan
perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran
berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar
lebih dari 90 persen setelah dua hari dan perolehan pemahaman
kontekstual sebesar 50-70 persen.
Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.
Proses pembelajaran dengan berbasis pendekatan ilmiah harus dipandu dengan kaidah-kaidah pendekatan ilmiah. Pendekatan ini bercirikan penonjolan dimensi pengamatan, penalaran, penemuan, pengabsahan, dan penjelasan tentang suatu kebenaran. Dengan demikian, proses pembelajaran harus dilaksanakan dengan dipandu nilai-nilai, prinsip-prinsip, atau kriteria ilmiah.
Sebuah proses pembelajaran yang digenjot oleh seorang guru di kelasnya
akan dapat disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi
kriteria-kriteria berikut ini.
- Substansi atau materi pembelajaran benar-benar berdasarkan fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
- Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik harus terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
- Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan substansi atau materi pembelajaran.
- Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik (membuat dugaan) dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain dari substansi atau materi pembelajaran.
- Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau materi pembelajaran.
- Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan.
- Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
1. Intuisi.
Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya
bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan
tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar pengalaman dan
kecakapannya. Istilah ini sering juga dipahami sebagai penilaian
terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan
dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat
tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian,
intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.
2. Akal sehat.
Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses
pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun demikian, jika guru
dan peserta didik hanya semata-mata menggunakan akal sehat dapat
pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3. Prasangka.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang diperoleh semata-mata
atas dasar akal sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu
kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi
pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan
pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi
terlalu luas. Hal inilah yang menyebabkan penggunaan akal sehat
berubah menjadi prasangka atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis
atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya
akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika
diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4. Penemuan coba-coba. Tindakan atau aksi coba-coba seringkali melahirkan wujud atau temuan yang bermakna. Namun demikian, keterampilan dan pengetahuan yang ditemukan dengan caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja, tindakan coba-coba itu ada manfaatnya bahkan mampu mendorong kreatifitas.Karena itu, kalau memang tindakan coba-coba ini akan dilakukan, harus diserta dengan pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol yang menyebabkan komputer laptop itu menyala dan mengulangi lagi tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala. Baca juga tentang trial and error (penemuan coba-coba) di artikel ini.
5. Berpikir kritis.
Kamampuan berpikir kritis itu ada pada semua orang, khususnya
mereka yang normal hingga jenius. Secara akademik diyakini bahwa
pemikiran kritis itu umumnya dimiliki oleh orang yang
bependidikan tinggi. Orang seperti ini biasanya pemikirannya
dipercaya benar oleh banyak orang. Tentu saja hasil pemikirannya
itu tidak semuanya benar, karena bukan berdasarkan hasil
esperimen yang valid dan reliabel karena pendapatnya itu hanya
didasari atas pikiran yang logis semata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
berlatih kreatif melaui pembuatan komentar