Saling menasihati itu sudah menjadi kuwajiaban kita sebagai seorang Islam. Ingat! Surat Al "Asyr. Namun, kita juga perlu bagaimana cara menasihati yang efektif dan beradab. Aku sebagi guru SMA, terkadang sebel juga, karena nasihatku tidak digubris. Setelah merenung, ternyata aku perlu refleksi diri. Bagaimana cara mejadi penasihat yang efektif dan beradab.
Aku pun yakin bahwa hampir setiap
orang mampu menasihati. Cuma masalahnya tidak semua orang mampu dan paham bagaiman menasihati
dengan bijak dan tepat.
Aku sering memperhatikan bahwa sering juga seseorang
menasihati justru mudah diterima dengan memakai joke/ humor. Alasannya humor
adalah bentuk nasihat tanpa menggurui dan membawa hikmah santai.
Maka perlu bagi
kita sebagai penasihat belajar bagaimana cara menasihati. Jelas penting
seseorang dalam memberikan nasehat berharap bahwa nasihatnya diterima. Makanya adabnya perlu diperhatikan :
1. Mengharapkan ridha Allah Ta’ala
Seorang yang
ingin menasehati hendaklah meniatkan nasehatnya semata-semata untuk mendapatkan
ridha Allah Ta’ala. Karena hanya dengan maksud inilah dia berhak atas pahala
dan ganjaran dari Allah Ta’ala di samping berhak untuk diterima nasehatnya.
Rasulullaah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,
Artinya, “Sesungguhnya
setiap amal itu bergantung kepada niatnya dan sesungguhnya setiap orang itu
hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa yang
hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya (dinilai) kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya
atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka (hakikat) hijrahnya itu
hanyalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya.”(HR. Bukhari dan
Muslim)
2. Tidak dalam rangka mempermalukan orang yang dinasehati
Seseorang yang hendak
memberikan nasihat harus berusaha untuk tidak mempermalukan orang yang hendak
dinasehati. Ini adalah musibah yang sering terjadi pada kebanyakan orang, saat
dia memberikan nasihat dengan nada yang kasar. Cara seperti ini bisa berbuah
buruk atau memperparah keadaan. Dan nasehatpun tak berbuah sebagaimana yang
diharapkan.
3. Menasehati secara rahasia
Nasihat
disampaikan dengan terang-terangan ketika hendak menasehati orang banyak
seperti ketika menyampaikan ceramah. Namun kadangkala nasehat harus disampaikan
secara rahasia kepada seseorang yang membutuhkan penyempurnaan atas
kesalahannya. Dan umumnya seseorang hanya bisa menerimanya saat dia sendirian
dan suasana hatinya baik. Itulah saat yang tepat untuk menasehati secara
rahasia, tidak di depan publik. Sebagus apapun nasehat seseorang namun jika
disampaikan di tempat yang tidak tepat dan dalam suasana hati yang sedang marah
maka nasehat tersebut hanya bagaikan asap yang mengepul dan seketika menghilang
tanpa bekas.
Al Hafizh Ibnu
Rajab berkata: “Apabila para salaf hendak memberikan nasehat kepada seseorang,
maka mereka menasehatinya secara rahasia… Barangsiapa yang menasehati
saudaranya berduaan saja maka itulah nasehat. Dan barangsiapa yang
menasehatinya di depan orang banyak maka sebenarnya dia mempermalukannya.” (Jami’
Al ‘Ulum wa Al Hikam, halaman 77)
Abu Muhammad
Ibnu Hazm Azh Zhahiri menuturkan, “Jika kamu hendak memberi nasehat
sampaikanlah secara rahasia bukan terang-terangan dan dengan sindiran bukan
terang-terangan. Terkecuali jika bahasa sindiran tidak dipahami oleh orang yang
kamu nasehati, maka berterus teranglah!” (Al Akhlaq wa As Siyar, halaman
44)
4. Menasehati dengan lembut, sopan, dan penuh kasih
Seseorang yang
hendak memberikan nasehat haruslah bersikap lembut, sensitif, dan beradab di dalam
menyampaikan nasehat. Sesungguhnya menerima nasehat itu diperumpamakan seperti
membuka pintu. Pintu tak akan terbuka kecuali dibuka dengan kunci yang tepat.
Seseorang yang hendak dinasehati adalah seorang pemilik hati yang sedang
terkunci dari suatu perkara, jika perkara itu yang diperintahkan Allah maka dia
tidak melaksanakannya atau jika perkara itu termasuk larangan Allah maka ia
melanggarnya.
Oleh karena itu,
harus ditemukan kunci untuk membuka hati yang tertutup. Tidak ada kunci yang
lebih baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah
lembut, diutarakan dengan beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih
sayang. Bagaimana tidak, sedangkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Artinya, “Setiap
sikap kelembutan yang ada pada sesuatu, pasti akan menghiasinya. Dan tidaklah
ia dicabut dari sesuatu, kecuali akan memperburuknya. (HR. Muslim)
Fir’aun adalah
sosok yang paling kejam dan keras di masa Nabi Musa namun Allah tetap
memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun agar menasehatinya dengan lemah lembut.
Allah Ta’ala berfirman,
Artinya, “Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah
lembut.” (QS. Ath Thaha: 44)
Saudariku… dan
lihatlah tatkala nasehat dilontarkan dengan keras dan kasar maka akan banyak
pintu yang tertutup karenanya. Banyak orang yang diberi nasehat justru tertutup
dari pintu hidayah. Banyak kerabat dan karib yang hatinya menjauh. Banyak
pahala yang terbuang begitu saja. Dan tentu banyak bantuan yang diberikan
kepada setan untuk merusak persaudaraan.
5. Tidak memaksakan kehendak
Salah satu
kewajiban seorang mukmin adalah menasehati saudaranya tatkala melakukan
keburukan. Namun dia tidak berkewajiban untuk memaksanya mengikuti nasehatnya.
Sebab, itu bukanlah bagiannya. Seorang pemberi nasehat hanyalah seseorang yang
menunjukkan jalan, bukan seseorang yang memerintahkan orang lain untuk
mengerjakannya. Ibnu Hazm Azh Zhahiri mengatakan: “Janganlah kamu memberi
nasehat dengan mensyaratkan nasehatmu harus diterima. Jika kamu melanggar batas
ini, maka kamu adalah seorang yang zhalim…” (Al Akhlaq wa As Siyar,
halaman 44)
6. Mencari waktu yang tepat
Tidak setiap
saat orang yang hendak dinasehati itu siap untuk menerima petuah. Adakalanya
jiwanya sedang gundah, marah, sedih, atau hal lain yang membuatnya menolak
nasehat tersebut. Ibnu Mas’ud pernah bertutur: “Sesungguhnya adakalanya hati
bersemangat dan mudah menerima, dan adakalanya hati lesu dan mudah menolak.
Maka ajaklah hati saat dia bersemangat dan mudah menerima dan tinggalkanlah
saat dia malas dan mudah menolak.” (Al Adab Asy Syar’iyyah, Ibnu Muflih)
Jika seseorang
ternyata tak bisa menasehati dengan baik maka dianjurkan untuk diam dan hal itu
lebih baik karena akan lebih menjaga dari perkataan-perkataan yang akan
memperburuk keadaan dan dia bisa meminta tolong temannya agar menasehati orang
yang dimaksudkan. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
Artinya, “Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaklah berkata yang baik atau diam…”(HR.
Bukhari dan Muslim)
Syaikh Muhammad
bin Shalih Al Utsaimin dalam Syarhu Al Arba’in An Nawawi memberikan
beberapa faedah dari cuplikan hadits di atas yaitu wajibnya diam kecuali dalam
kebaikan dan anjuran untuk menjaga lisan.
Jangan pernah
putus asa untuk memohon pertolongan Allah karena pada hakekatnya Allah-lah Yang
Maha Membolak-balikkan hati seseorang. Meski sekeras apapun hati seseorang
namun tidak ada yang mustahil jika Allah berkehendak untuk melembutkan hatinya
dan menunjukkan kepada jalan-Nya. Wallaahu Musta’an.
“Jika engkau
inginkan kebaikan pada saudaramu
Maka ajaklah
ia tuk bergandengan
Dan
beriringan menuju jalan-Nya
Bertuturlah
dengan baik
Berilah
senyuman tatkala ia tak peduli
Tunggulah…
Bersabarlah… hingga pintu itu terbuka
Jangan kau
paksa.. dan jangan pula kau marahi
Sebab nasehat
itu akan berubah menjadi pisau yang tajam
Yang hanya
membuat goresan di hati
Dan akan
membuat lari
Jangan kau
paksa.. dan jangan pula kau marahi
Sesungguhnya
hidayah itu ada di tangan Sang Rabb
Yang Maha
Membolak-balikkan hati”
Referensi:
1.
“Menasehati Tanpa Menyakiti“.
Abu Muhammad Shu’ailik. Pustaka Arafah
2.
“Syarhu Al Arba’in An Nawawi“.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin. Daarul Ittiba’ dan Ad Daaru Al
‘Aalamiyyah Lin Nasyr wat Tauzii’
3.
“99 Kisah Orang Shalih“.
Muhammad bin Hamid Abdul Wahab. Darul Haq
4.
Artikel www.muslimah.or.id
oleh Lilis Mustikaningrum, Murojaah: Ustadz Ammi Nur Baits
5.