Ini bukan omong kosong. Berkali-kali dan beberapa orang dari temanku curhat bahwa kehidupan rumah tangganya tidak bahagia. Ternyata, salah satu penyebabnya adalah istri  temanku adalah bukan istri yang shalihah. Padahal dia sewaktu muda merindukaan istri yang shalihah.
Dia memancingku bercerita tetang kehidupan  rumah tanggaku. Aku katakan bahwa  kehidupan rumah tanggaku sangat membahagiakan. Puji syukur aku panjatkan kehadirat Allah swt, bahwa aku dikarunia istri shalihah. Barangkali ini hadiah untukku karena sewaktu muda aku belum pernah  punya pacar  apalagi berpacaran. Ditambah lagi, rumah tanggaku dikaruniai  anak-anak yang  selama ini sudah menunjukkan indikasi keshalihan. Lengkap sudah kebahagianku. Di tengah-tengah aku menulis saat ini, aku teringat salah satu putriku yang shalihah dan juara kelas (10 th) telah meninggal beberapa minggu lalu. Aku harus tetap sabar. Ini ujian, sebab puluhan tahun rumah tanggaku oke-oke saja, kami menikah lebih dari 10 tahun dalam kebahagiaan.  Aku dan istriku dimotivasi oleh para sahabatku, anakku merupakan tabungan di akherat.
Kembali kepada  kebahagiaan rumah tangga, kesimpulanku dan juga kesimpulan sahabatku bahwa sangat sulit rasanya kebahagian rumah tangga didapat tanpa hadirnya istri dan anak shalih dan shalihah.  Mari kita merenung untuk apa  harta melimpah,  kalau istri dan anak perilakunya seperti syetan, tentu akan  tercipta rumah tangga syetan dan anak-anak perilakunya seperti syetan  yang jauh dari barokah. Bagi para pembaca boleh percaya-boleh tidak tentang  pengalaman kehidupan rumah tanggaku dan pemikiranku bahwa "SANGAT BERAT BAGI PARA SUAMI ATAU ISTRI MENDAPATKAN KEBAHAGIAAN KALAU SUAMI DAN ISTRI JAUH DARI NILAI-NILAI KESHALIHAN. Barangkali pembaca  manganggap pikiranku dan kehidupan rumah tanggaku berdasar pemikiran subjektif, tapi akulah pelakunya,  bahwa  kami memang hidup dalam rumah tangga yang bahagia.  Lalu, kawanku yang  tidak memiliki istri  dan anak shalih merasa bagai hidupnya sengsara.
Aku berusaha jujur, baik hati dan tidak sombong, berikut ini kutulis  beberapa ciri istri shalihah:
 1. Penuh kasih sayang penuh cinta, baik hati, mudah minta maaf dan pemaaf , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ  أُخْبِرُكُمْ بِنِسَائِكُمْ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ اَلْوَدُوْدُ  
الْوَلُوْدُ الْعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا، الَّتِى إِذَا غَضِبَ جَاءَتْ  
حَتَّى تَضَعَ يَدَهَا فِي يَدِ زَوْجِهَا، وَتَقُوْلُ: لاَ أَذُوقُ  
غَضْمًا حَتَّى تَرْضَى
“Maukah aku beritahukan kepada  kalian, istri-istri kalian yang menjadi 
penghuni surga yaitu istri yang  penuh kasih sayang, banyak anak, selalu
 kembali kepada suaminya. Di mana  jika suaminya marah, dia mendatangi 
suaminya dan meletakkan tangannya  pada tangan suaminya seraya berkata: 
“Aku tak dapat tidur sebelum engkau  ridha.” (HR. An-Nasai )
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suaminya), taat kepada suami selama suami dalm koridor kebaikan. 
3.  Menjaga rahasia-rahasia dan aib  suami dan dirinya sendiri, lebih-lebih yang berkenaan dengan  
hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu  
‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu  
‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk.  
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang  
suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat  
berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan  
apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak  
ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai  
Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya,  
demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
  bersabda:
فَلاَ تَفْعَلُوا، فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِثْلُ الشَّيْطَانِ لَقِيَ شَيْطَانَةً فِي طَرِيْقٍ فَغَشِيَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُوْنَ
“Jangan  lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan 
jantan  yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya
  sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani
  rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid  
(pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
4.  Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya  
sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah  
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرَكَ  بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ 
الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ  إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا 
أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا  حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang  sebaik-baik perbendaharaan 
seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang  bila dipandang akan 
menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya  dan bila ia pergi si 
istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud )
5. Ketika  suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/safar), ia 
tidak  menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat  
menghalangi suaminya untuk istimta‘ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti
  puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan. Rasulullah Shallallahu  
‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak  halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya 
ada  (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya.” (HR. Al-Bukhari 
no.  5195 dan Muslim no. 1026)
6. Selalu memperbaiki diri melalui belajar tiada henti sebagai refleksi bersyukur  atas pemberian  dan kebaikan suami, tidak melupakan 
kebaikannya, karena Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah 
bersabda: “Diperlihatkan neraka  kepadaku, ternyata aku dapati 
kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita  yang kufur.” Ada yang 
bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur  kepada Allah?” Beliau 
menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri  (tidak mensyukuri) 
kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian  berbuat baik kepada 
seorang di antara mereka (istri) setahun penuh,  kemudian dia melihat 
darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya)  niscaya dia berkata: “Aku 
tidak pernah melihat darimu kebaikan sama  sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 
29 dan Muslim no. 907)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِي عَنْهُ
“Allah  tidak akan melihat kepada seorang istri yang tidak bersyukur 
kepada  suaminya padahal dia membutuhkannya.” (HR. An-Nasai dalam 
Isyratun Nisa.  Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 289)
7. Bersegera  memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak 
menolaknya tanpa  alasan yang syar‘i atau kesehatan, dan tidak menjauhi tempat tidur 
suaminya, karena ia  tahu dan takut terhadap berita Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَالَّذِي  نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْ رَجُلٍ يَدْعُو امْرَأَتَهُ إِلَى 
فِرَاشِهِ  فَتَأْبَى عَلَيْهِ إِلاَّ كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ 
سَاخِطًا  عَلَيْهَا حَتَّى يَرْضَى عَنْهَا
“Demi Dzat yang jiwaku  berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami 
memanggil istrinya ke  tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) 
melainkan yang di langit  murka terhadapnya hingga sang suami ridha 
padanya.” (HR. Muslim no.1436)
إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
“Apabila seorang istri bermalam dalam keadaan meninggalkan tempat tidur suaminya, niscaya para malaikat melaknatnya sampai ia kembali (ke suaminya).” (HR. Al-Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
Qurthubi rahimahullah berkata: “Permasalahan ini dibawa kepada pendapat yang mengatakan bahwa penggantian istri dalam ayat ini merupakan janji dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, seandainya beliau menceraikan mereka di dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menikahkan beliau di akhirat dengan wanita-wanita yang lebih baik daripada mereka.” (Al-Jami‘ li Ahkamil Qur’an, 18/127)
Bukan bermaksud menggurui, mari kita berintropeksi dan berbagi untuk meraih kesuksesan sejati.
 
