DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Selasa, 08 Januari 2013

SELAMAT BERBAHAGIA! ANDA ADALAH JUARA SEJATI


Juara sejati adalah juara sepanajng masa itu tidak harus mendapat tropi. Menurutku kamu semua bisa menjadi juara sejati, karena definisi juara sejati adalah seseorang yang memiliki kelebihan/ potensi kebaikan khas yang bisa menyelamatkan, membahagiakan dirinya sendiri dan orang lain dari kehidupan saat ini dan kehidupan sesudah mati. So, bila ingin lebih berbahagia dalam hidup jadilah juara sejati.

Namun, untuk menjadi juara sejati membutuhkan kebiasaan unik. Tahukah anda apakah kebiasaan para juara sejati:1. Gila belajar setiap saat, 2. Waktunya efektif 3. Biasa beda yg positif dgn orang biasanya 4. Tidak mudah kena bujuk rayu negatif. 5. Tangguh, sabar dan tekun 6. Setiap tindakan dalam rangka menjaga nama baik pribadi, keluarga, dan masyarakat.

Semoga, kita semua menjadi juara sejati , motivasi ini untuk kalangan sendiri (terutama untuk anak-anakku n remajaku tercinta ) yen ora bolo ora tak kandani.

Metode Mendidik Akhlak Anak Januari 25, 2008 oleh riwayat

  1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan manusia, kebutuhan pribadi seseorang. Kebutuhan yang tidak dapat diganti dengan yang lain. Karena pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu untuk mengembangkan kualitas, pontensi dan bakat diri. Pendidikan membentuk manusia dari tidak mengetahui menjadi mengetahui, dari kebodohan menjadi kepintaran dari kurang paham menjadi paham, intinya adalah pendidikan membentuk jasmani dan rohani menjadi paripurna. Sebagaimana tujuan pendidikan, menurut Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) UU RI NO. 20 TH. 2003 BAB II Pasal 3 dinyatakan
” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”[1]
Tujuan pendidikan setidaknya terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan bertujuan mengembangkan aspek batin/rohani dan pendidikan bersifat jasmani/ lahiriyah. Pendidikan bersifat rohani merujuk kepada kualitas kepribadian, karakter, akhlak dan watak, kesemua itu menjadi bagian penting dalam pendidikan, kedua pengembangan terfokus kepada aspek jasmani, seperti ketengkasan, kesehatan, cakap, kreatif. Pengembangan tersebut dilakukan di institusi sekolah dan di luar sekolah seperti di dalam keluarga, dan masyarakat.
Tujuan pendidikan berusaha membentuk pribadi berkualitas baik jasmani dan rohani. Dengan demikian secara konseptual pendidikan mempunyai peran strategis dalam membentuk anak didik menjadi manusia berkualitas, tidak saja berkualitas dalam segi skill, kognitif, afektif, tetapi juga aspek spiritual. Hal ini membuktikan pendidikan mempunyai andil besar dalam mengarahkan anak didik mengembangkan diri berdasarkan potensi dan bakatnya. Melalui pendidikan anak memungkinkan menjadi pribadi soleh, pribadi, berkualitas secara skill, kognitif dan spiritual.
Tetapi realitas di masyarakat membuktikan pendidikan belum mampu menghasilkan anak didik berkualitas secara keseluruhan. Kenyataan ini dapat dicermati dengan banyaknya perilaku tidak terpuji terjadi di masyarakat, sebagai contoh merebaknya pengguna narkoba, penyalahgunaan wewenang, korupsi, manipulasi, perampokan, pembunuhan, pelecehan seksual, pelanggaran Hak Azasi Manusia, penganiayaan terjadi setiap hari. Realitas ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan belum mampu membentuk anak didik berkepribadian paripurna.
Pendidikan diposisikan sebagai institusi yang dianggap gagal membentuk anak didik berakhlak mulia. Padahal tujuan pendidikan di antaranya adalah membentuk pribadi berwatak, bermartabat beriman dan bertakwa serta berakhlak. Dalam tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari dan meneliti penyebab gagalnya pendidikan secara keseluruhan, tidak juga ditujukan untuk meneliti aspek penyebab kegagalan, atau latar belakang kebijakan pendidikan sehingga pendidikan menjadi carut marut.
Tetapi pembahasan ini akan difokuskan kepada metode membentuk pribadi berakhlak mulia. Berakhlak mulia merupakan bagian dari tujuan pendidikan di Indonesia, tujuan tersebut membutuhkan perhatian besar berbagai pihak dalam rangka mewujudkan manusia berskill, kreatif, sehat jasmani dan rohani sekaligus berakhlak mulia. Penulis beranggapan bahwa inti dari pendidikan adalah pendidikan akhlak, sebab tidak ada artinya skill hebat jika tidak berakhlak mulia. Tidak ada artinya mempunyai generasi hebat, jenius, kreatif tetapi tidak berakhlak mulia.
Berdasarkan alasan tersebut penulis menganggap bahwa akhlak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan ini. Kenapa penulis berasumsi demikian? Karena tanpa akhlak dunia akan hancur, dunia akan menjadi seperti neraka, dunia akan menjadi ladang pemuasan keinginan tak terkendali, baik kendali keagamaan, adat maupun moral. Kalau disuruh memilih dua pilihan, pilihan pertama pemimpin berakhlak mulia, tetapi berpendidikan diploma, pilihan kedua pemimpin bergelar strata tiga/Doktor tetapi berakhlak buruk, suka berzina, korupsi dan perilaku jelek lainnya, pasti orang sehat akalnya akan memilih pemimpin berpendidikan diploma, daripada pemimpin bergelar Doktor/S.3 tetapi berakhlak buruk.
Dari perumpamaan tersebut memperjelas dan menguatkan asumsi bahwa akhlak mulia menempati urutan teratas jika dibandingkan dengan skill. Di mana pun tempatnya akhlak mulia mendapatkan tempat dihati masyarakat. Untuk itu perlu kiranya langkah dan terobosan lebih maju untuk mendidik anak didik mempunyai akhlak mulia. Perlu adanya metode yang tepat untuk mendidik anak agar berakhlak mulia. Metode yang dapat diandalkan dan mudah di lakukan. Di samping itu perlu adanya kesamaan antara pendidikan di rumah, sekolah dan lingkungan masyarakat, sehingga dimungkinkan pendidikan jalan searah dalam mencapai tujuan.
Ada kecenderungan dalam masyarakat bahwa pendidikan adalah di sekolah, di sekolah anak sudah cukup mendapatkan pendidikan, mulai dari pendidikan skill sampai pendidikan akhlak. Padahal pendidikan disekolah hanya satu bagian dari bentuk pendidikan, adanya ketergantungan orang tua dalam mendidik anak kepada sekolah berakibat pengabaian pendidikan di rumah dan masyarakat, padahal pendidikan di sekolah hendaknya bersesuaian dengan pendidikan di sekolah, paling tidak ada semacam kesamaan. Adalah mustahil pendidikan di sekolah dapat berhasil maksimal sedangkan pendidikan di rumah dan sekolah tidak mendukung.
Sebagai contoh anak di sekolah mendapat pelajaran salat dari guru agamanya, mulai dari persiapan hingga bacaan salat dan gerakan salat. Anak yang telah mendapatkan ilmu tentang salat diharuskan untuk mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ketika anak pulang dari sekolah, kemudian datang waktu salat, anak melihat ayah, ibu dan saudaranya tidak salat, bagaimana perasaan, pikiran anak tadi? Tentu akan timbul banyak anggapan dan praduga dan analisa, banyak jawaban dan komentar terhadap peristiwa tersebut. Mungkin anak akan enggan melaksanakan salat dengan alasan ayah, ibu dan saudaranya juga tidak salat jadi untuk salat. Atau ketika seorang guru menasehati anak didiknya untuk tidak merokok, kemudian pada waktu lain, anak didik melihat guru tersebut merokok. Bagaimana sikap siswa pada waktu itu? Bagaimana kesimpulan siswa ketika itu?
Kejadian tersebut mungkin saja ada, dan merealitas dalam kehidupan masyarakat, terlepas apakah metode yang digunakan di sekolah telah sesuai atau tidak, apakah penyelenggaraan pendidikan di sekolah memungkinkan anak didik merasa aman, terlindungi, gembira dalam mengembangkan bakat dan potensinya, apakah guru sudah mengoptimalkan pembelejaran dengan memperhatikan aspek psikomotor, afektif dan kognitif atau tidak, yang pasti keadaan keadaan di masyarakat masih sering terjadi perbuatan asusila, anarkis, amoral dan berbagai maksiat dan kejahatan. Kejadian tersebut memberi sinyal dan gambaran bahwa pendidikan akhlak belum menjadi prioritas dalam dunia pendidikan. Pendidikan hanya mengembangkan aspek kognitif dibanding aspek psikomotor, afektif, emosi dan religi.
Pendidikan dianggap tidak berkualitas, pendidikan telah diangggap gagal? Kegagalan tersebut tercermin dari banyaknya perbuatan mungkar, asusila dalam kehidupan masyarakat. Keadaan ini memunculkan anggapan bahwa pendidikan tidak berkualitas dan gagal. Apakah angapan tersebut berdasarkan? Karena kegagalan pendidikan tidak hanya diukur dari sikap moral di masyarakat saja.
Apakah pendidikan tidak bermutu sehingga menghasilkan anak didik bermoral rendah, berakhlak rendah? Apakah pendidikan tidak mampu menampung dan mengakomodasi keinginan dan potensi, bakat dan kemampuan siswa? Apakah proses pembelajaran sudah memberi ruang dan waktu bagi berkembangannya bermacam potensi dan bakat siswa? Kalau siswa telah mendapatkan haknya untuk mengembangkan diri dan potensinya maka pendidikan telah memberi makna kepada siswa.
Jamaluddin Idris mengatakan agar pembelajaran bermakna dan berpotensi mengembangkan bakat siswa paling tidak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut; Perkembangan anak didik, kemandirian anak., vitalisasi model hubungan demokratis, vitalisasi jiwa aksploratif, kebebasan, menghidupkan pengalaman anak, keseimbangan pengembangan aspek personal dan social, Kecerdasan emosional dan spiritual.[2]
Pendidikan hendaknya memperhatikan perkembangan anak didik, baik dari segi kurikulumnya, metode dan materi ajarnya, perhatian terhadap aspek perkembangan anak didik perlu diperhatikan agar terjadi umpan balik yang seimbang, umpan balik yang dimaksud adalah adanya respon yang positif dari anak didik terhadap pendidikan yang sedang diukutinya, di sisi lain, anak didik akan terhindar dari pengabaian pendidikan. Bakat, potensi dan minatnya akan tersalurkan jika pendidikan memperhatikan aspek perkembangan anak didik. Guru akan mudah mengajar dan memberikan materi dengan metode tepat.
Pendidikan hendaknya mengembangkan aspek pribadi dengan tidak mengabaikan aspek sosial, lebih dari itu pendidikan hendaknya mengembangkan aspek emosi dan religi anak. Agama adalah sumber ajaran akhlak mulia, dengan pemahaman agama kuat diharapkan anak mempunyai referensi cukup untuk mengembangkan kepribadiannya.
Mengembangkan kepribadian mengacu kepada mendidik akhlak. Dalam mendidik akhlak perlu sebuah sistem ataupun metode tepat agar proses internalisasi dapat berjalan dengan baik, lebih penting adalah anak mampu menerima konsep akhlak dengan baik serta mampu mewujudkan dalam kehidupan keseharian.
Tulisan ini berusaha menitikfokuskan kepada metode-metode yang mungkin dapat digunakan dalam mendidik akhlak anak. Ada titik fokus terhadap metode pendidikan tertentu dan tepat sesuai dengan materi dan anak didik amak tingkat keberhasilannya lebih besar. Meskipun selama ini anak telah mendapatkan materi tentang akhlak di sekolah, di rumah dan tempat pengajian, tetapi kenapa anak masih berperilaku melanggar norma adat dan agama? Bukankah mereka sudah mendapatkan pendidikan akhlak di sekolah?
  1. Sekilas Tentang Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu alkhulqu, al-khuluq yang mempunyai arti watak, tabiat, keberanian, atau agama.[3] Secara Istilah akhlak menurut Ibnu Maskawaih (421 H) adalah
“suatau keadaan bagi jiwa yang mendorong ia melakukan tindakan-tindakan dari keadaan itu tanpa melalui pikiran dan pertimbangan. Keadaan ini terbagi dua, ada yang berasal dari tabiat aslinya, ada pula yang diperoleh dari kebiasaan yang berulang-ulang. Boleh jadi, pada mulanya tindakan itu melalui pikiran dan pertimbangan, kemudian dilakukan terus menerus, maka jadilah suatu bakat dan akhlak.”[4]
Indikasi bahwa akhlak dapat dipelajari dengan metode pembiasaan, meskipun pada awalnya anak didik menolak atau terpaksa melakukan suatu perbuatan/ akhlak yang baik, tetapi setelah lama dipraktekkan, secara terus-menerus dibiasakan akhirnya anak mendapatkan akhlak mulia.
Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sebagaimana dikutip Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari memberikan definisi akhlak sebagai”suatu ungkapan tentang keadaan pada jiwa bagian dalam yang melahirkan macam-macam tindakan dengan mudah, tanpa memerlukan pikiran dan pertimbangan terlebih dahulu”[5]
Dari dua defenisi di atas dapat dipahami bahwa akhlak bersumber dari dalam diri anak dan dapat juga berasal dari lingkungannya. Secara umum akhlak bersumber dari dua hal tersebut dapat berbentuk akhlak baik dan akhlak buruk, tergantung pembiasaannya, kalau anak membiasakan perilaku buruk, maka akan menjadi akhlak buruk bagi dirinya, sebaliknya anak membiasakan perbuatan baik, maka akan menjadi akhlak baik bagi dirinya.
Penjelasan tersebut mengindikasikan bahwa akhlak dapat dipelajari dan diinternalisasikan dalam diri seseorang melalui pendidikan, di antaranya dengan metode pembiasaan. Dengan adanya kemungkinan diinternalisasikan nilai-nilai akhlak ke diri anak, memungkinkan pendidik melakukan pembinaan akhlak.
  1. Jenis Metode Mendidik Akhlak
Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan metode pendidikan Islam sangat efektif dalam membina akhlak anak didik, bahkan tidak sekedar itu metode pendidikan Islam memberikan motivasi sehingga memungkinkan umat Islam mampu menerima petunjuk Allah. Menurut Abdurrahman an-Nahlawi metode pendidikan Islam adalah metode dialog, metode kisah Qurani dan Nabawi, metode perumpaan Qurani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan, metode ibrah dan nasihat serta metode targhib dan tarhib.[6] Dari kutipan tersebut tergambar bahwa Islam mempunyai metode tepat untuk membentuk anak didik berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Islam. dengan metode tersebut memungkinkan umat Islam/masyarakat Islam mengaplikasikannya dalam dunia pendidikan. Dengan demikian diharapkan akan mampu memberi kontribusi besar terhadap perbaikan akhlak anak didik, untuk memperjelas metode-metode tersebut akan di bahas sebagai berikut:
    1. Metode Dialog Qurani dan Nabawi
Metode dialog adalah metode menggunakan tanya jawab, apakah pembiacaaan antara dua orang atau lebih, dalam pembicaraan tersebut mempunyai tujuan dan topik pembicaraan tertentu. Metode dialog berusaha menghubungakn pemikiran seseorang dengan orang lain, serta mempunyai manfaat bagi pelaku dan pendengarnya.[7] Uraian tersebut memberi makna bahwa dialog dilakukan oleh seseorang dengan orang lain, baik mendengar langsung atau melalui bacaan.
Abdurrrahman an-Nahlawi mengatakan pembaca dialog akan mendapat keuntungan berdasarkan karakteristik dialog, yaitu topic dialog disajikan dengan pola dinamis sehingga materi tidak membosankan, pembaca tertuntun untuk mengikuti dialog hingga selesai, melalui dialog perasaan dan emosi pembaca akan terbangkitkan, topic pembicaraan disajikan bersifat realistik dan manusiawi.[8] Dalam al-Quran banyak memberi informasi tentang dialog, di antara bentuk-bentuk dialog tersebut adalah dialog khitabi, taabbudi, deskritif, naratif, argumentative serta dialog Nabawiyah.[9] Metode dialog sering dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dalam mendidik akhlak para sahabat. Dialog akan memberi kesempatan kepada anak didik untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak mereka pahami.
    1. Metode kisah Qurani dan Nabawi
Dalam al-Quran banyak ditemui kisah menceritakan kejadian masa lalu, kisah mempunyai daya tarik tersendiri yang tujuannnya mendidik akhlak, kisah-kisah para Nabi dan Rasul sebagai pelajaran berharga. Termasuk kisah umat yang inkar kepada Allah beserta akibatnya, kisah tentang orang taat dan balasan yang diterimanya. Seperti cerita Habil dan Qobil,
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa. Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya Aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam. Sesungguhnya Aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim. Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang di antara orang-orang yang merugi.”[10]
Ayat di atas merupakan contoh dalam ayat Al-Quran yang berhubungan dengan kisah. Kisah dalam al-Quran mengandung banyak pelajaran. Kisah dalam al-Quran dapat menjadi pelajaran bagi manusia. Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan kisah mengandung aspek pendidikan yaitu dapat mengaktifkan dan membangkitkan kesadaran pembacanya, membina perasaan ketuhanan dengan cara mempengaruhi emosi, mengarahkan emosi, mengikutsertakan psikis yang membawa pembaca larut dalam setting emosional cerita, topic cerita memuaskan pikiran. Selain itu kisah dalam al-Quran bertujuan mengkokohkan wahyu dan risalah para Nabi, kisah dalam al-Quran memberi informasi terhadap agama yang dibawa para Nabi berasal dari Allah, kisah dalam al-Quran mampu menghibur umat Islam yang sedang sedih atau tertimpa musibah.[11]
Metode mendidik akhlak melalui kisah akan memberi kesempatan bagi anak untuk berfikir, merasakan, merenungi kisah tersebut, sehingga seolah ia ikut berperan dalam kisah tersebut. Adanya keterkaitan emosi anak terhadap kisah akan memberi peluang bagi anak untuk meniru tokoh-tokoh berakhlak baik, dan berusaha meninggalkan perilaku tokoh-tokoh berakhlak buruk.
Cerita mengusung dua unsur negatif dan unsur positif, adanya dua unsure tersebut akan memberi warna dalam diri anak jika tidak ada filter dari para orang tua dan pendidik. Metode mendidik akhlak melalui cerita/ kisah berperan dalam pembentukan akhlak, moral dan akal anak.[12] Dari kutipan tersebut dapat diambil pemahaman bahwa cerita/kisah dapat menjadi metode yang baik dalam rangka membentuk akhlak dan kepribadian anak.
Cerita mempunyai kekuatan dan daya tarik tersendiri dalam menarik simpati anak, perasaannya aktif, hal ini memberi gambaran bahwa cerita disenangi orang, cerita dalam al-Quran bukan hanya sekedar memberi hiburan, tetapi untuk direnungi, karena cerita dalam al-Quran memberi pengajaran kepada manusia. Dapat dipahami bahwa cerita dapat melunakkan hati dan jiwa anak didik, cerita tidak hanya sekedar menghibur tetapi dapat juga menjadi nasehat, memberi pengaruh terhadap akhlak dan perilaku anak, dan terakhir kisah/ cerita merupakan sarana ampuh dalam pendidikan, terutama dalam pembentukan akhlak anak.
3. Metode Mauizah
Dalam tafsir al-Manar sebagai dikutip oleh Abdurrahman An-Nahlawi dinyatakan bahwa nasihat mempunyai beberapa bentuk dan konsep penting yaitu, pemberian nasehat berupa penjelasan mengenai kebenaran dan kepentingan sesuatu dengan tujuan orang diberi nasehat akan menjauhi maksiat, pemberi nasehat hendaknya menguraikan nasehat yang dapat menggugah perasaan afeksi dan emosi, seperti peringatan melalui kematian peringatan melalui sakit peringatan melalui hari perhitungan amal. Kemudian dampak yang diharapkan dari metode mauizah adalah untuk membangkitkan perasaan ketuhanan dalam jiwa anak didik, membangkitkan keteguhan untuk senantiasa berpegang kepada pemikiran ketuhanan, perpegang kepada jamaah beriman, terpenting adalah terciptanya pribadi bersih dan suci.[13]
Dalam al-Quran menganjurkan kepada manusia untuk mendidik dengan hikmah dan pelajaran yang baik.“ Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”[14]
Dari ayat tersebut dapat diambil pokok pemikiran bahwa dalam memberi nasehat hendaknya dengan baik, kalau pun mereka membantahya maka bantahlah dengan baik. Sehingga nasehat akan diterima dengan rela tanpa ada unsur terpaksa. Metode mendidik akhlak anak melalui nasehat sangat membantu terutama dalam penyampaian materi akhlak mulia kepada anak, sebab tidak semua anak mengetahui dan mendapatkan konsep akhlak yang benar.
Nasehat menempati kedudukan tinggi dalam agama karena agama adalah nasehat, hal ini diungkapkan oleh Nabi Muhammad sampai tiga kali ketika memberi pelajaran kepada para sahabatnya. Di samping itu pendidik hendaknya memperhatikan cara-cara menyampaikan dan memberikan nasehat, memberikan nasehat hendaknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, pendidikan hendaknya selalu sabar dalam menyampaikan nasehat dan tidak merasa bosan/ putus asa.[15] Dengan memperhatikan waktu dan tempat tepat akan memberi peluang bagi anak untuk rela menerima nasehat dari pendidik.
Muhammad bin Ibrahim al-Hamd mengatakan cara mempergunakan rayuan/ sindiran dalam nasehat, yaitu:
  1. Rayuan dalam nasehat, seprti memuji kebaikan murid, dengan tujuan agar siswa lebih meningkatkan kualitas akhlaknya, dengan mengabaikan membicarakan keburukannya.
  2. Menyebutkan tokoh-tokoh agung umat Islam masa lalu, sehingga membangkitkan semangat mereka untuk mengikuti jejak mereka.
  3. Membangkitkansemangat dan kehormatan anak didik.
  4. Sengaja menyampaikan nasehat di tengah anak didik.
  5. Menyampaikan nasehat secara tidak langsung/ melalui sindiran
  6. Memuji di hadapan orang yang berbuat kesalahan, orang yang melakukan sesuatu berbeda dengan perbuatannya. Kalau hal ini dilakukan akan akan mendorongnya untuk berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.[16]
Dengan cara tersebut akan memaksimalkan dampak nasehat terhadap perubahan tingkah laku dan akhlak anak, perubahan dimaksud adalah perubahan yang tulus ikhlas tanpa ada kepura-puraan, kepura-puraan akan muncul ketika nasehat tidak tepat waktu dan tempatnya, anak akan merasa tersinggung dan sakit hati kalau hal ini sampai terjadi maka nasehat tidak akan membawa dampak apapun, yang terjadi adalah perlawanan terhadap nasehat yang diberikan.
    1. Metode Pembiasaan dengan Akhlak Terpuji
Manusia dilahirkan dalam keadaan suci dan bersih, dalam keadaan seperti ini manusia akan mudah menerima kebaikan atau keburukan. Karena pada dasarnya manusia mempunyai potensi untuk menerima kebaikan atau keburukan hal ini dijelaskan Allah, sebagai berikut:” Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”[17]
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusia mempunyai kesempatan sama untuk membentuk akhlaknya, apakah dengan pembiasaan yang baik atau dengan pembiasaan yang buruk. Hal ini menunjukkan bahwa metode pembiasaan dalam membentuk akhlak mujlai sangat terbuka luas, dan merupakan metode yang tepat. Pembiasaan yang dilakukan sejak dini /sejak kecil akan memebawa kegemaran dan kebiasaan tersebut menjadisemacam adapt kebiasaan sehingga menjadi bagian tidak terpisahkan dari kepribadiannya. Al-Ghazali mengatakan:
” Anak adalah amanah orang tuanya . hatinya yang bersih adalah permata berharga nan murni, yang kosong dari setiap tulisan dan gambar. Hati itu siap menerima setiap tulisan dan cenderung pada setiap yang ia inginkan. Oleh karena itu, jika dibiasakan mengerjakan yang baik, lalu tumbuh di atas kebaikan itu maka bahagialah ia didunia dan akhirat, orang tuanya pun mendapat pahala bersama.”[18]
Kutipan di atas makin memperjelas kedudukan metode pembiasaan bagi perbaiakn dan pembentuakan akhlak melalui pembiasaan, dengan demikian pembiasaan yang dilakukan sejak diniakan berdampak besar terhadap kepribadian /akhlak anak ketiak mereka telah dewasa. Sebab pembiasan yang telah dilakukan sejak kecil akan melekat kuat di ingatan dan menjadi kebiasaan yang tidak dapat dirubah dengan mudah. Dengan demikian metode pembiasaan sangat baik dalam rangka mendidik akhlak anak.
    1. Metode Keteladanan
Muhammad bin Muhammad al-Hamd mengatakan pendidik itu besr dimata anak didiknya, apa yang dilihat dari gurunya akan ditirunya, karena murid akan meniru dan meneladani apa yang dilihat dari gurunya.[19] Dengan memperhatikan kutipan di atas dapat dipahami bahwa keteladanan mempunyai arti pentng dalam mendidik akhlak anak, keteladanan menjad titik sentral dalam mendidik dan membina akhlak anak didik, kalau pendidik berakhlak baik ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak baik, karena murid meniru gurunya, senbaliknya kalauguru berakhlak buruk ada kemungkinan anak didiknya juga berakhlak buruk.
Dengan demikian keteladanan menjadi penting dalam pendidikan akhlak, keteladanan akan menjadi metode ampuh dalam membina akhlak anak. Mengenai hebatnya keteladanan Allah mengutus Rasul untuk menjadi teladan yang paling baik, Muhammad adalah teladan tertinggi sebagai panutan dalam rangka pembinaan akhlak mulai,” Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”[20]
Keteladanan sempurna, adalah keteladanan Muhammad Saw menjadi acuan bagi pendidik sebagai teladan utama, dilain pihak pendidik hendaknya berusaha meneladani Muhammad Saw sebagai teladannya, sehingga diharapkan anak didik mempunyai figure yang dapat dijadikan panutan.
    1. Metode Targhib dan Tarhib
Targhib adalah janji yang disertai bujukan dan rayuan untuk menunda kemaslahatan, kelezatan, dan kenikmatan. Sedangkan tarhib adalah ancaman, intimidasi melalui hukuman.[21] Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa metode pendidikan akhlak dapat berupa janji/pahala/hadiah dan dapat juga berupa hukuman. Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari menyatakan metode pemberian hadiah dan hukuman sangat efektif dalam mendidik akhlak terpuji.[22]
Anak berakhlak baik, atau melakukan kesalehan akan mendapatkan pahala/ganjaran atau semacam hadian dari gurunya, sedangkan siswa melanggar peraturan berakhlak jelek akan mendapatkan hukuman setimpal dengan pelanggaran yang dilakukannya. Dalam al-Quran dinyatakan orang berbuat baik akan mendapatkan pahala, mendapatkan kehidupan yang baik.” Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan.”[23]
Berdasarkan ayat di atas dapat diambil konsep metode pendidikan yaitu metode pemberian hadiah bagi siswa berprestasi atau berakhlak mulai, dengan adanya hadian akan memberi motivasi siswa untuk terus meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kebaikan akhlak yang telah dimiliki. Di lain pihak, temannya yang melihat pemberian hadiah akan termotivasi untuk memperbaiki akhlaknya dengan harapan suatu saat akan mendapatkan kesempatan memperoleh hadiah. Hadiah diberikan berupa materi, doa, pujian atau yang lainnya.
Muhammad Jamil Zainu mengatakan,”Seorang guru yang baik, harus memuji muridnya. Jika ia melihat ada kebaikan dari metode yang ditempuhnya itu,dengan mengatakan kepadanya kata-kata “bagus”, “semoga Allah memberkatimu”, atau dengan ungkapan “engkau murid yang baik’.[24]
Sanksi dalam pendidikan mempunyai arti penting, pendidikan terlalu lunak akan membentuk anak kurang disiplin dan tidak mempunyai keteguhan hati. Sanksi tersebut dapat dilakukan dengan tahapan sebagai berikut, dengan teguran, kemudian diasingkan, dan terakhir dipukul dalam arti tidak untuk menyakiti tetapi untuk mendidik. Kemudian dalam menerapkan sanksi fisik hendaknya dihindari kalau tidak memungkinkan, hindari memukul wajah, memukul sekedarnya saja dengan tujuan mendidik, bukan balas dendam. Alternatif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah;
  1. memberi nasehat dan petunjuk.
  2. Ekspresi cemberut.
  3. Pembentakan.
  4. Tidak menghiraukan murid.
  5. Pencelaan disesuaikan dengan tempat dan waktu yang sesuai.
  6. Jongkok.
  7. Memberi pekerjaan rumah/ tugas.
  8. Menggantungkan cambuk sebagai simbol pertakut.
  9. Dan alternatif terakhir adalah pukulan ringan.[25]
Dalam memberi sanksi hendaknya dengan cara bertahap, dalam arti diusahakan, dengan tahapan paling ringan, diantara tahapan ancaman dalam al-Quran adalah diancam dengan tidak diridhoi oleh Allah, diancam dengan murka Allah secara nyata, diancam dengan diperangi oleh Allah dan Rasul-Nya, diancam dengan sanksi akhirat, diancam dengan sanksi dunia.[26] Kutipan tersebut menunjukkan bahwa dalam melaksanakan hukuman dituntut berdasarkan tahapan-tahapan, sehingga ada rasa keadilan dan proses sesuai prosedur hukuman.
  1. Penutup
Menurut Abdurrahman an-Nahlawi metode pendidikan Islam adalah metode dialog, metode kisah Qurani dan Nabawi, metode perumpaan Qurani dan Nabawi, metode keteladanan, metode aplikasi dan pengamalan, metode ibrah dan nasihat serta metode targhib dan tarhib. Dalam pemberian sanksi diusahakan tidak mendahulukan sanksi bersifat fisik, kalau pun terpaksa hendaknya menghindari bagian muka dan bagian lain yang membahayakan anak didik, kemudian pukulan dilaksanakan hanya sekedarnya saja, tidak bermaksud balas dendam atau motif lain.

[1] Redaksi Sinar Grafika,Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UU RI NO.20 TH.2003, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 5-6
[2] Jamaluddin Idris, Kompilasi Pemikiran Pendidikan, (Yogyakarta, Banda Aceh: Suluh Press dan Taufiqiyah Sa’adah:2005)., h. 11-15
[3] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari,Akhaquna,terjemahan. Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia,2006)., h. 88
[4] Ibid.,
[5] Ibid.
[6] Abdurrahman An-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah Wa Asalibiha fii Baiti wal Madrasati wal Mujtama’ Penerjemah. Shihabuddin, (Jakart: Gema Insani Press:1996)., h.204,
[7] Ibid., h.205
[8] Ibid.
[9] Ibid.,lebih lanjut baca Abdurrahman An-Nadawi hal 206-238
[10]Departemen Agama RI, Al-Quran dan terjemah dan Penjelasan Ayat Ahkam,(Jakarta: Pena Pundi Aksara,2006., h. 272
[11] Abdurrahman San-Nahlawi, Op.Cit., h. 239-250
[12] Abdul Aziz Abdul Majid,AlQissah fi al-tarbiyah, penerjemah. Neneng Yanti Kh. Dan Iip Dzulkifli Yahya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2001), h.4. bandingkan dengan Jaudah Muhammad Awwad,Mnhajul Islam Tarbiyatil Athfal, penerjemah Shihabbuddin, (Jakarta: Gema Insani Press,2001)., h.46-47
[13] Abdurrahman an-Nahlawi, Op.Cit., h.289-296
[14] Departemen Agama RI, Op.Cit., h. 282
[15] Muhammad bin Ibrahim al- Hamd, Maal Muallimin, Penerjemah, Ahmad Syaikhu, ( Jakarta: Darul Haq,2002)., h.140, bandingkan dengan Fuad bin Abdul Azizi al-Syalhub,Al-Muallim alAwwal shalallaahu alaihi Wa Sallam Qudwah Likulli Muallim wa Muallimah, ,penerjemah. Abu Haekal,(Jakarta: Zikrul Hakim,2005), h.43-45
[16] Ibid., h.142
[17] Departemen Agama RI, Op. Cit. h. 596
[18] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Op.Cit., h.109
[19] Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, Op.Cit., h.27
[20] Departemen Agama RI, Op.Cit, h.421
[21] Abdurrahman an-Nahlawi, Op.Cit., h. 296
[22] Muhammad Rabbi Jauhari, Op.Cit., h.115
[23] Departemen Agama RI, Op.Cit., h.279
[24] Fuad bin Abdul Aziz al-Syalhub, Op.Cit., h. 63
[25] Ibid., h59-60
[26] Muhammad Rabbi Muhammad Jauhar, Op. Cit., h.122-124