DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Senin, 01 September 2014

Belajar Dari Kebodohan Diri Sendiri

Teringat masa lalu,  Maskatno Giri sebagai  murid.

"Kalau  tidak cocok, "minggat"  sana! Ada yang mau menggantikan posisi saya? Jadi orang itu tidak usah sombong, dan tidak suka menghargai orang lain!" Itulah kurang lebih kalimat yang terucap agak keras yang tak pernah kulupa dari salah satu guruku saat pembelajaran berlangsung, dan pada saat yang sama memang ada  beberapa siswa yang membuat  kegaduhan.

Setelah aku merenung, aku berpendapat bahwa kalimat tersebut di atas adalah  kalimat yang kasar,  terlalu serius, tendensius dan terlalu berlebihan. Namun, aku tahu  si guru tersebut bertujuan baik.

Teringat  cita-citaku dulu, tidak  menjadi seorang guru. Aku  sendiri yang lebih tahu kelemahanku:  tipe pembicaraanku sangat cepat, kayaknya orang yang berpikirnya lambat sulit menangkap, pikiranku sering lompat-lompat. Tapi aku juga sadar aku memiliki kelebihan  walau sedikit: terbiasa hidup kreatif, aku suka humor, dan aku bisa main musik. Singkat cerita aku kuliah di fakultas keguruan melalui jalur UMPTN, setelah tidak diterima di non FKIP. Eeeh ternyata sebelum lulus aku  sudah mendapat pekerjaan sebagai guru.

Waktu berjalan. Eeeeh ternyata menjadi guru ada sisi yang menyenangkan, walau ada hal yang mbuat susah.  Saat itu,  aku menjadi guru yunior alias guru yang masih bodoh dan miskin pengalaman. Mungkin karena masih kuper,  sikapku akhirnya terlalu responsif, terlalu berpikir sangat jauh  bercuriga kepada komentar siswa. Aku juga bingung sih! Kenapa aku tahu itu salah, tapi aku  berucap hampir mirip  dengan kalimat yang terucap oleh guruku dulu.

Dalam proses waktu berjalan dan  perenungan lebih jauh, aku sedikit menyimpulkan, dan aku bisa menasihati diriku sendiri, " Menjadi guru itu gampang, tapi menjadi guru yang baik itu perlu proses panjang. Kunci utama: banyak  belajar dari  manapun sumbernya biar  terhindar dari kebodohan.  Bahkan  kamu bisa belajar dari anak dan siswamu sendiri. Jangan terlalu  egois, responsif, sensitif,  serius, dan jangan mudah bersangka buruk. Berpikir saja yang  santai dan "positif thingking!"

Itulah hikmah kupetik dari kelemahan, kebodohan atas kelakuanku sendiri.


Teringat Nasihat Dari Ortu dan Guruku "Ora Usah Dipikir Rekoso"

Tak akan pernah kulupa, kata-kata bijak dan memotivasi dari ortu dan guruku:

"Ora ono manungso sing sampurno, pikiranmu ora usah digawe terlalu rekoso, mundak cepet tuwo, sing penting tindakno kuwajiban iro. Sabanjure pasrahno sing Moho Kuoso".

Setelah kurenungkan secara mendalam betapa nasihat itu sungguh luar biasa. Memang kita terkadang bermasalah tentang  berbagai urusan yang sangat komplek. Urusan rumah tangga, tetangga, dan juga urusan  dunia kerja. Kita sering menuntut kesempurnaan. Juga, kita sering  menuntut orang lain juga supaya sempurna. Padahal tak ada yang sempurna di dunia ini. Diperparah  lagi kita sering berhias diri dengan iri dan dengkim kepada sahabat dan tetangga sendiri.

Jika dipikir lebih mendalam  lagi, betapa kita sering menyakiti hati dan fisik kita sendiri karena terlalu sering berpikir, berpasangka, menilai, menghakimi, menuntut diri sendiri  dan orang lain lebih jauh (baca: menurut ukuran kita). Sedangkan kita semua tidak sekuat yang kita idealkan. Kita manusia  adalah makhluk yang sangat lemah bahkan kita bisa kalah dengan seekor nyamuk.

Jika  kita terlalu sering "anggawe rekoso dewe" akan merugikan kita sendiri, seperti nasihat  ortuku di atas:  biar hidup ini bahagia, awet sehat dan awet muda memang tidak usah "TERLALU" seperti kata   Bang Rhoma Irama.

Selanjutnya kita harus pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Nasihat terkahir ortuku ini kunci penting tentang arti kehidupan manusia pada tingkat tertinggi: pasrah seperti di atas bisa dimaknai IKHLAS. Ikhlas kunci bahagia. Selanjutnya terserah Anda.

Salam Sukses sejati!