DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Rabu, 12 Februari 2014

Pendekatan Scientific dan Kriterianya pada Kurikulum 2013

Jujur saja, kalau aku belum pernah mendapatkan pelatihan tentang Kurikulum 2013. Namun, sekolahku  sudah mendapat instruksi menerapkan kurikulum yang masih "asing"ini.

Beberapa bulan yang lalu memang sudah ada keputusan bahwa sekolahku belum diinstruksikan untuk menerapkan kurikulum 2013. Katanya hanya sekolah  tertentu yang harus menerapkannya. Namun, walau aku belum mendapatkan pelatihan sudah banyak info tentang kurikulum yang terkesan dipaksakan ini. Ya tentu melalui  browsing  di dunia maya kita bisa dengan mudah mendapatkan  ilmu.

Yang jelas Kurikulum 2013 sudah disahkan dan penerapan untuk beberapa jenjang pun sudah dimulai di Tahun Pembelajaran 2013/2014. Penerapan kurikulum 2013 ini didasari dengan disadarinya bahwa guru-guru perlu memperkuat kemampuannya dalam memfasilitasi siswa agar terlatih berpikir logis, sistematis, dan ilmiah. Tantangan ini memerlukan peningkatan keterampilan guru melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Skenario untuk memacu keterampilan guru menerapkan strategi ini di Indonesia telah melalui sejarah yang panjang, namun hingga saat ini harapan baik ini belum terwujudkan juga. Karenanya, dalam perancangan kurikulum baru ini, pemerintah menggunakan pendekatan ilmiah atau scientific, karena pendekatan ini dianggap lebih efektif hasilnya dibandingkan pendekatan tradisional.

Pendekatan Scientific Sebagai Cara Efektif  
Pendekatan scientific adalah konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi perumusan metode mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah. Proses pembelajaran yanag mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh tiga ranah, yaitu:
1.      sikap (afektif),
2.      pengetahuan (kognitif), dan
3.      keterampilan (psikomotor).
Dengan proses pembelajaran yang demikian maka diharapkan hasil belajar melahirkan peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Terdapat tiga model pembelajaran yang digunakan dalam metode pendekatan scientific, yaitu:
a.      Discovery Learning (penemuan)
b.      Project Based Learning (Pembelajaran berbasis proyek)
c.      Problem Based Learning (Pembelajaran berbasis masalah).
Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam kelas yang  melandasi penerapan metode ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud  meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran (Menyajikan).
1.       Mengamati

            Mengamati ialah Kegiatan mengidentifikasi ciri-ciri objek tertentu dengan alat inderanya secara teliti, menggunakan fakta yang relevan dan memadai dari hasil pengamatan, menggunakan alat atau bahan sebagai alat untuk mengamati objek dalam rangka pengumpulan data atau informasi dan dilakukan dengan cara menggunakan lima indera . Dalam hal ini guru menyajikan perangkat pembelajaran berupa media pembelajaran. dalam kegitan mengamati, guru menyajikan video, gambar, miniature, tayangan, atau obyek asli. Siswa bisa diajak untuk bereksplorasi mengenai obyek yang akan dipelajari. Terapat dua jenis Pengamatan, yaitu:
                                                              i.      pengamatan kualitatif
                                                            ii.      pengamatan kuantitatif
  2.       Menanya
            Kegiatan belajarnya adalah mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik). Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan belajar sepanjang hayat. Pada langkah ini suasana pembelajaran yang berhasil adalah terjadinya komunikasi aktif diskusi materi pelajaran.
3.       Menalar
            Kegiatan belajarnya adalah pertama, mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen mau pun hasil dari kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi; kedua, pengolahan informasi yang dikumpulkan dari yang bersifat menambah keluasan dan kedalaman sampai kepada pengolahan informasi yang bersifat mencari solusi dari berbagai sumber yang memiliki pendapat yang berbeda sampai kepada yang bertentangan. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta deduktif dalam menyimpulkan. Pada kegiatan ini siswa akan menalar yaitu menghubungkan apa yang sedang dipelajari dengan apa yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
4.       Mencoba
            Kegiatan yang dilakukan adalah mengumpulkan informasi/eksperimen. Kegiatan belajarnya adalah melakukan eksperimen,  membaca sumber lain selain buku teks, mengamati objek/kejadian/ aktivitas, wawancara dengan nara sumber. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap teliti, jujur,sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan belajar dan belajar sepanjang hayat. Pada langkah pembelajaran ini, setiap siswa dituntut untuk mencoba mempraktekkan apa yang dipelajari
5.       Membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran (Menyajikan)
            Setelah melalui empat proses di atas, pada proses menyajikan inilah, siswa kembali memainkan perannya. Kegiatan belajarnya adalah menyampaikan hasil pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan, tertulis, atau media lainnya. Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan sikap jujur, teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan kemampuan berbahasa yang baik dan benar. Pada tahapan ini siswa mempresentasikan kemampuan mereka mengenai apa yang telah dipelajari sementara siswa lain menanggapi. Tanggapan siswa lain bisa berupa pertanyaan, sanggahan atau dukungan tentang materi presentasi. Guru berfungsi sebgai fasilitator tentang kegiatan ini. Dalam kegiatan ini semua siswa secara proporsional akan mendapatkan kewajiban dan hak yang sama. Siswa akan terlatih untuk menjadi narasumber, menjadi orang yang akan mempertahankan gagasannya secara ilmiah dan orang yang bisa mandiri serta menjadi orang yang bisa dipercaya. Semua kegiatan pembelajan akan kembali kepada pencapaian ranah pembelajaran yaitu ranah sikap, ranah kognitif dan ranah ketrampilan.

 Kriteria-Kriteria Pendekatan Ilmiah dan Nonilmiah dalam Pembelajaran

Berdasarkan hasil penelitian, pembelajaran  berbasis  pendekatan  ilmiah mempunyai hasil yang lebih efektif bila  dibandingkan  dengan penggunaan pembelajaran dengan pendekatan  tradidional.  Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pada  pembelajaran  tradisional, retensi  informasi  dari  guru  sebesar  10  persen setelah 15 menit  dan  perolehan  pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran berbasis pendekatan ilmiah, retensi informasi dari  guru  sebesar  lebih  dari  90  persen  setelah  dua  hari  dan  perolehan  pemahaman  kontekstual sebesar 50-70 persen.

Proses  pembelajaran dengan  berbasis  pendekatan  ilmiah harus  dipandu  dengan  kaidah-kaidah pendekatan  ilmiah. Pendekatan  ini  bercirikan penonjolan  dimensi  pengamatan, penalaran, penemuan,  pengabsahan,  dan  penjelasan  tentang  suatu  kebenaran.  Dengan  demikian,  proses pembelajaran  harus  dilaksanakan  dengan  dipandu  nilai-nilai,  prinsip-prinsip,  atau  kriteria  ilmiah.


Sebuah proses pembelajaran yang digenjot oleh seorang guru di kelasnya akan dapat disebut ilmiah bila proses pembelajaran tersebut memenuhi kriteria-kriteria berikut ini.


  1. Substansi atau materi pembelajaran benar-benar berdasarkan fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan  logika  atau  penalaran  tertentu;  bukan  sebatas  kira-kira,  khayalan,  legenda,  atau dongeng semata.
  2. Penjelasan  guru,  respon  peserta  didik,  dan  interaksi  edukatif  guru-peserta  didik harus terbebas dari  prasangka  yang  serta-merta,  pemikiran  subjektif,  atau  penalaran  yang  menyimpang  dari alur berpikir logis.
  3. Mendorong  dan  menginspirasi  peserta  didik  berpikir  secara  kritis,  analitis,  dan  tepat  dalam mengidentifikasi,  memahami,  memecahkan  masalah,  dan  mengaplikasikan  substansi  atau materi pembelajaran.
  4. Mendorong  dan  menginspirasi  peserta  didik  mampu  berpikir  hipotetik  (membuat dugaan) dalam  melihat perbedaan,  kesamaan,  dan  tautan  satu dengan  yang lain  dari  substansi  atau  materi pembelajaran.
  5. Mendorong  dan  menginspirasi  peserta  didik  mampu  memahami,  menerapkan,  dan mengembangkan  pola  berpikir  yang  rasional  dan  objektif  dalam  merespon  substansi  atau materi pembelajaran.
  6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggung-jawabkan.
  7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas, dan menarik sistem penyajiannya.
Kemudian, sebuah proses pembelajaran harus terhindar dari sifat-sifat atau nilai-nilai nonilmiah yang meliputi intuisi, penggunaan akal sehat yang keliru, prasangka, penemuan melalui coba-coba, dan asal berpikir kritis.


1. Intuisi.

Intuisi sering dimaknai sebagai kecakapan praktis yang kemunculannya bersifat irasional dan individual. Intuisi juga bermakna kemampuan tingkat tinggi yang dimiliki oleh seseorang atas dasar  pengalaman  dan  kecakapannya.  Istilah  ini  sering  juga  dipahami  sebagai  penilaian terhadap sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara cepat dan berjalan dengan sendirinya. Kemampuan intuitif itu biasanya didapat secara cepat tanpa melalui proses panjang dan tanpa disadari. Namun demikian, intuisi sama sekali menafikan dimensi alur pikir yang sistemik.
2. Akal sehat.
Guru dan peserta didik harus menggunakan akal sehat selama proses pembelajaran, karena memang hal itu dapat menunjukan ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang benar. Namun  demikian,  jika  guru  dan  peserta  didik  hanya  semata-mata  menggunakan  akal  sehat dapat pula menyesatkanmereka dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran.
3. Prasangka.
Sikap,  keterampilan,  dan  pengetahuan  yang  diperoleh  semata-mata  atas  dasar  akal  sehat (comon sense) umumnya sangat kuat dipandu kepentingan seseorang (guru, peserta didik, dan sejenisnya) yang menjadi pelakunya. Ketika akal sehat terlalu kuat didomplengi kepentingan pelakunya, seringkali mereka menjeneralisasi hal-hal khusus menjadi terlalu luas. Hal  inilah  yang  menyebabkan  penggunaan  akal  sehat  berubah  menjadi  prasangka  atau pemikiran skeptis. Berpikir skeptis atau prasangka itu memang penting, jika diolah secara baik. Sebaliknya akan berubah menjadi prasangka buruk atau sikap tidak percaya, jika diwarnai oleh kepentingan subjektif guru dan peserta didik.
4. Penemuan coba-coba. 

Tindakan  atau  aksi  coba-coba  seringkali  melahirkan  wujud  atau  temuan  yang  bermakna. Namun  demikian,  keterampilan  dan  pengetahuan  yang  ditemukan  dengan  caracoba-coba selalu bersifat tidak terkontrol, tidak memiliki kepastian, dan tidak bersistematika baku. Tentu saja,  tindakan  coba-coba  itu  ada  manfaatnya bahkan  mampu  mendorong kreatifitas.Karena itu,  kalau  memang  tindakan  coba-coba  ini  akan  dilakukan,  harus  diserta  dengan  pencatatan atas setiap tindakan, sampai dengan menemukan kepastian jawaban. Misalnya, seorang peserta didik mencoba meraba-raba tombol-tombol sebuah komputer laptop, tiba-tiba dia kaget komputer laptop itu menyala. Peserta didik pun melihat lambang tombol  yang  menyebabkan  komputer  laptop  itu  menyala  dan  mengulangi  lagi  tindakannya, hingga dia sampai pada kepastian jawaban atas tombol dengan lambang seperti apa yang bisa memastikan bahwa komputer laptop itu bisa menyala. Baca juga tentang trial and error (penemuan coba-coba) di artikel ini.

5. Berpikir kritis.

Kamampuan  berpikir  kritis  itu  ada  pada semua  orang,  khususnya  mereka  yang normal  hingga  jenius.  Secara  akademik diyakini  bahwa  pemikiran  kritis  itu umumnya  dimiliki  oleh  orang  yang bependidikan  tinggi.  Orang  seperti  ini biasanya  pemikirannya  dipercaya  benar oleh  banyak  orang.  Tentu  saja  hasil pemikirannya  itu  tidak  semuanya  benar, karena  bukan  berdasarkan  hasil esperimen  yang  valid  dan  reliabel  karena pendapatnya  itu  hanya  didasari  atas pikiran yang logis semata