DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Kamis, 09 Mei 2013

Tidak Punya Malu Berarti Calon Sengsara Oleh Maskatno Giri

Memiliki rasa malu ibaratnya berkendaraan yang dilengkapi dengan REM, maksudnya bila kendaraan  kita mau masuk jurang, kita bisa selamat karena ada remnya. Kurang lebih seperti itu  menurutku.

Setiap manusia termasuk aku sendiri punya kesempatan yang sama untuk menjadi sengsara  atau menjadi manusia selamat. Hidup di dunia memang banyak jebakan-jebakan atau jurang-jurang yang menganga. Apapun bisa dilakukan oleh setiap orang baik pergaulan bebas alias perzinaan, korupsi, penipuan dll , bisa terjadi lantaran para pelaku kemaksiatan  tersebut tanpa kendali RASA MALU. Orang yang memiliki rasa malu yang positif, maksudnya malu dalam menjaga diri dari kemaksiatan justru akan menyelamatkan.

Di dunia ini saja, orang yang masih memilki rasa malu berbuat maksiat lebih selamat. Contohnya pejabat yang memilki rasa malu untuk mencuri akhirnya selamat tak melakukan korupsi.  Pemuda  atau orang tua sebenarnya ada kesempatan bergaul bebas, tapi masih memilki  rasa malu untuk tidak dekat-dekat dengan perzinaan, akhirnya juga bisa menjaga  kehormatan diri.


Malu dalm berbuat maksiat adalah suatu akhlak terpuji yang mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu amalan yang mencoreng jiwanya, karena akhlak ini bisa mendorong  seseorang  untuk berbuat kebaikan dan menjauhi kemungkaran.

Rasa malu merupakan bagian dari keimanan bahkan dia merupakan salah satu indikator tinggi rendahnya keimanan seorang muslim. Karenanya, manusia yang paling beriman -yaitu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam- adalah manusia yang paling pemalu, bahkan melebihi malunya para wanita yang dalam pingitan.

Intinya, malu dalam penjagaan diri dari kemaksiatan  tidaklah menghasilkan kecuali kebaikan dan dia tidaklah datang kecuali dengan membawa kebaikan pula. Karenanya wasiat malu ini merupakan wasiat dari para anbiya` sejak dari zaman ke zaman kepada umatnya, agar mereka bisa menjaga sifat malu mereka, karena hal itu akan menjaga kehormatan mereka di dunia dan jasad mereka di akhirat dari api neraka.

Di antara bentuk malu yang paling utama adalah malu kepada Allah, seperti malu jika Allah Ta’ala melihatnya ketika dia sedang berbuat maksiat atau malu kepada-Nya untuk menampakkan auratnya walaupun dia sedang sendirian. Termasuk malu ibadah adalah malunya seorang wanita dari menampakkan perhiasannya kepada siapa yang dia dilarang untuk menampakkannya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 50)
Imran bin Hushain radhiallahu anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 6117 dan Muslim no. 37)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang sangat pemalu, lebih pemalu dari gadis pingitan. Apabila beliau tidak menyenangi sesuatu, maka kami dapat mengetahuinya di wajah beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 6119 dan Muslim no. 2320)
Abu Mas’ud radhiallahu anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya di antara ucapan yang diperoleh manusia dari kenabian yang pertama adalah: Jika kamu tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Al-Bukhari no. 6120)

Mahalnya Keluarga Yang Baik oleh Maskatno Giri

Ada kisah nyata, suatu keluarga yang tidak peduli apa arti agama dan keimanan, ini dibuktikan dengan mereka  tidak  melaksanakan tunutunan Islam baik puasa maupun sholat. Padahal mereka  mengaku orang Islam.  Mereka tidak peduli apa arti haram dan halal,  aku  pernah mengetahui mereka memakan bangkai luwak atau musang dari berburu. 

Kebetulan, keluarga tersebut memiliki anak empat perempuan semua. Anak pertama sudah menikah, mungkin sudah jodoh anak pertamanya menikah dengan lelaki  suka mabuk, suka curang  dan menipu. Satu korban penipuannya adalah kakakku. Pkoknya lengkap sudah  kemaksiatannya. Beberapa tahun  lalu anak menantu tersebut sudah masuk penjara karena sudah main-main dengan  dnarkoba. 

Anak perempun kedua menikah dengan laki-laki yang agak mirip dengan anak pertama. Tubuhnya penuh tato, tidak sholat dan  puasa.  Bedanya menantu  yang kedua ini  dia  suka bekerja walau sebagai tukang  batu. 

Anak perempuan yang ketiga sudah menikah  juga dengan pemuda tetangga menantu yang pertama. Ternyata, bentuk tubuh, perilaku hampir mirip  dengan menantu yang pertama. Tubuhnya juga penuh tato, mau mabuk, mencuri dan kemaksiatan yang lain. 

Anak yang keempat  masih SD dia terkadang masuk TPA. Aku tidak tahu bagaimana kedepannya. Yang jelas keluarga tersebut adalah salah satu tetanggaku yang sering ribut , bertengkar suami istri  dan  misuh-misuh. Itu semua hal yang biasa kudengar.

Aku heran, benar-benar heran kenapa keluarga  tersebut tidak mau belajar, contohnya memiliki menantu yang baik. Atau sudah rezsekinya bahwa mereka layak memiliki keluarga amburadul, dan tidak ada usaha  untuk memperbaiki.

Ada sisi positif dari keluarga ini yakni bila di hari raya kurban mereka suka membantu penyembelihan kurban ke masjid-masjid. Bahkan bagiannya sampai berkilo-kilo. Sudah merupakan tradisi setiap hari raya kurban mereka menjenguk menantunya di LP dengan makanan dan menu daging kambing. Tentu tidak hanya untuk menantnya saja tapi juga untuk teman satu sel penjara.

Bagi aku dan pembaca yang ingin  memiliki keluarga yang baik-baik, memiliki anak dan menantu yang baik dan shalih-shalihah,  sebagai ortu harus memperbaiki dulu kualitas diri untuk menjadi pribadi yang layak diteladani. Kalau yang kuceritakan di atas sejauh pengetahuanku tidak layak untuk diteladani



Mahalnya Kesehatan Oleh Maskatno Giri

Mahalnya kesehatan. Baru saja aku bersama istri menjenguk tetanggaku yang sakit. Tetangga dekatku tersebut, sudah lebih dari seminggu harus dirawat di rumah sakit karena penyakit komplikasi. Mengenaskan sebenarnya, sudah secara ekonomi pas-pasan, berumur lebih dari 60 tahun dan tidak memiliki penghasilan yang menetap. Kini, dia harus merasakan sakit bermacam-macam penyakit.

Lebih memprihatinkan lagi, anak laki-laki yang dibiayai dari kecil tidak mau menunggui. Alasanya sibuk kerja. Sedangkan anak yang satunya merantau di Bogor.

Beberapa tahun lalu, keluarga ini menjadi korban PHK,  ditambah lagi, setelah mendapat pesangon, dia tertipu dengan iming-imgin bedah rumah. Cukup sudah penderitaan kelaurga ini.

Tetanggaku ini  rumahnya berhadapan dengan rumahku. Kebetulan aku memiliki istri yang baik, tidak bosan-bosan istriku memberikan bantuan baik dana  ataupun berupa makanan, walau nilainhya tidak terlalu besar setidaknya bisa meringankan beban. Aku selalu memotivasi istriku untuk tetep istiqomah dalam berderma, dan supaya menjaga keikhlasan. Aku mengingatkan betapa mahal nilai kesehatan,betapa besar pula nilai atau harga anak shalih dan shalihah. 

Kebetulan anak  tetanggaku tadi termasuk belum kategori sahalih, karena waktu ortunya sehat mau sakit dia tidak peduli, dia alasan  terlalu sibuk. KAmi berdoa supaya  hidup kami diberkati dengan kesehata lahir dan bathin dan memiliki anak yang sahalih dan shalihah. Amien

Pembelajarn Hidup Setelah Silaturahmi oleh Maskatno Giri

Kemarin sore Rabu 8/5/2013, aku diajak sahabatku silaturahmi ke Pacitan. Sahabatku tersebut adalah  Ust Khoirul  Anam, ubelia tidak hanya silaturahmi, tapi beliau memotivasi bagaimana pentingnya belajar, terutama belajar Al Qur'an dan cara bacanya (tahsin).

Mata dan pikiranku dibuat terbelalak bahwa ternyata banyak saudara kita yang secara ekonomi pas-pasan, secara intelektual juga biasa namun masih ada di jiwa mereka semangat hidup dan belajar untuk menjadi lebih baik. Ini tamparan untukku bahwa aku  yang masih muda, masih banyak kesempatan  belajar, namun terkadang kemalasan dan kesia-siaan sering menghatui.

Berubah-berubah,  bangkit-bangkit dan bangkit. Untuk apa kita hidup, untuk apa usia kita sudah menjadi semakin tua tapi kualitas hidup belum terasa. Kita harus mengupdate ilmu kita  bersesuaian dengan bertambahnya usia kita.

Aku semakin sadar, seandainya  aku bisa mengatur waktu kita seefektif mungkin pasti hal luar biasa bisa ku raih. Kini aku tidak seharusnya hanya bisa memotivasi orang lain, namun  orang lain perlu teladan yang baik, kita sendiri harus menjadi pelopor kebaikan sebelum menuntut orang lain/