DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Rabu, 17 September 2014

Belajar dari Jebakan Kebahagiaan/"Istidraj"

Baru saja mengikuti pengajian on line, kuperoleh  hikmah pencerahan yang luar biasa.

Sang ustadz mengawali  kisah: ada seorang ibu sering berkomentar: “Saya sudah bahagia sekarang, anak-anak saya semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak pertama wakil direktur di bank, anak kedua saya jadi perwira polisi, anak ketiga saya menjadi anggota DPR pusat dan pengurus parpol”.

Tentu dong, kita tidak boleh iri. Setiap orang memiliki jatah rezeki masing-masing. Namun, Islam membolehkan iri dalam  hal amal kebaikan dan ilmu yang bermanfaat.

Singkat cerita, menurut  pemberitaan media,  salah satu dari putera ibu tertangkap  oleh KPK karena kasus berat: suap, penipuan data,  penggelapan dan pencucian uang.

Beberapa bulan kemudian ada berita lagi, ada kasus kredit fiktif  milyaran rupiah di salah satu bank suasta, kini dalam proses penyelidikan. Eeeeh ternyata anak dari ibu yang di sebut di atas terlibat kasus pemalsuan tanda tangan .

Itulah sedikit cerita yang disampaikan oleh kajian : muslim.com.  yang  aku ikuti. Ya dalam kesempatan ini sang ustadz bicara tentang “KEBAHAGIAAN SEMU” dalam kajian Islam disebut  Jebakan kebahagiaan/ Istidraj.

Sang ustadz mengingatkan kepada kita bahwa kebahagiaan semu itu menipu dan sering kali melalaikan dari akhirat. Yang tertipu oleh godaan syetan tersebut  jelas tak peduli lagi apa itu haram atau halal pokoknya yang penting enak dan banyak duit.
Sang ustadz mengingatkan kita lewat  firman Allah Ta’ala,
 Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia melalikan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.”  (QS. Luqmaan: 33)

Allah Ta’ala juga berfirman,
 Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (QS. Al Hadid: 20)

Kita kembali pada  komentar seorang ibu,
Saya sudah bahagia sekarang, anak-anak saya semuanya sudah jadi, sudah berhasil semua, saya bangga, anak pertama wakil direktur di bank, anak kedua saya jadi perwira polisi, anak ketiga saya menjadi anggota DPR pusat dan ketua parpol”.

Sebetulnya, di tengah lantangnya suara ibu bercerita, ada bisik-bisik di antara ibu-ibu, " Ora usah nggumunan lho bu!. Anaknya sudah jadi orang semua. Biar anak kita miskin, tapi juga orang  lho bu, ! dudu "jaran"!.  Aku juga pernah dengar-dengar untuk meraih jabatan dari anak-anaknya "tidak fair ". Pokoknya didengarkan saja.

Kalau benar adanya bahwa, pihak berwajib menemukan bukti  bahwa putra dari ibu di atas memang pelaku kemaksiatan, maka baik anak dan ibunya memang sudah tertipu atau terjebak pada definisi bahagia sejati.
Kebahagian semu adalah kebahagiaan tipu-tipu karena polah tingkah syetan. Dan menurut al Qur ‘an  kebanyakan manusia,  bisa juga aku sendiri mudah terkena godaan hawa nafsu syetan. Allah berfirman:
 Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’am: 116).

Apakah standar  kebahagiaan kita?
Jika ada komentar, “saya hidup bahagia sekarang, punya istri yang cantik, anak dan pintar, punya rumah yang cukup besar karir saya di kantor terus naik dan bisnis lancar terus”. Maka, orang yang tidak memiliki iman/ ingkar  juga bahagianya seperti komentar di atas, oleh karena itu tidak sepantasnya seorang muslim bahagia  hanya  dengan patokan kebahagiaan seperti komentar di atas. Mengenai ayat,
 “Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” QS. Ali Imran: 196-197)
Apa itu kebahagiaan Sejati menurut Islam?
Kebahagiaan adalah bahagia jika melaksanakan perintah Allah dan merasa sedih jika melakukan kemaksiatan. Allah Ta’ala berfirman,
 Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97)
Jadi jika kita berat melaksanakan shalat, puasa, atau bahkan berat melaksanakan amalan-amalan sunnah, maka itu adalah tanda tidak bahagia. Kemudian jika kita melakukan maksiat tetapi kita tenang-tenang saja, atau yang lebih parah tidak tahu bahwa hal yang kita lakukakan adalah maksiat dan dilarang oleh agama. 

Bandingkan dengan perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu,
 “Seorang mukmin memandang dosa-dosanya seakan-akan ia duduk di bawah sebuah gunung yang ditakutkan akan jatuh menimpanya. Sementara seorang fajir/pendosa memandang dosa-dosanya seperti seekor lalat yang lewat di atas hidungnya, ia cukup mengibaskan tangan untuk mengusir lalat tersebut.”

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menjelaskan mengenai ciri kebahagiaan: “jika diberi [kenikmatan] maka ia bersyukur, jika diuji [dengan ditimpa musibah] ia bersabar dan jika melakukan dosa ia beristigfar [bertaubat]. Tiga hal ini adalah tanda kebahagiaan.”

 Dan mengenai bahagia yang sesungguhnya jelas letaknya adalah di hati. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.

Oleh karena itu mari kita mencari kebahagiaan sejati. SALAM SUKSES SEJATI

Memiliki Keluarga Harmonis, Kenapa Tidak?

      Tulisanku ini tidak hanya untuk mereka yang sudah berkeluarga. Namun, ini bisa untuk pembelajaran hidup bagi yang masih remaja atau yang sudah siap-siap berkeluarga.  Yang jelas, tak ada seorang pun yang ingin hidup menderita, kacau, berantakan dalam rumah tangga. Kehidupan  yang harmonis, tenteram dan damai dalam keluarga dapat diibaratkan "kehidupan laksana di rumah syurga" atau istilah kerenya itu "home sweet home" atau juga "baitii jannatii". Sebaliknya rumah tangga yang jauh dari keharmonisan, ketentraman, keberkahan laksanan hidup dalam neraka.
          Apakah tulisanku ini hanya teori atau dengan kata lain hanya dalam awang-awang alias cuma dalam impian?
      Tentu tidak, sobat!. Aku telah menikah  sejak Desember 1998, bukan bermaksud menyombongkan diri. Dan aku  bukan  merasa sudah  berpengalaman sekitar 15 tahun. Kami dan istri sudah berdoa dan berusaha sekuat tenaga supaya hidup ini memang bermakna dan bahgia.

        Kehidupan rumah tangga  kami   Insya Allah sangat tenteram, bahagia dan dalam keharmonisan. Sebagai bentuk kemarahan, belum pernah  ada piring melayang, kata-kata tidak sopan/ kasar dan bentak-bentakan di antara suami-istri.  Mungkin pembaca bertanya-tanya, lha Maskatno Giri hidupnya kaya-raya!. Tidak sobat! hidupku sederhana saja. Aku adalah  seorang guru bukan pejabat, aku satu-satunya pencari  nafkah dalam keluarga. Istriku  satu sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan anakku empat dan ditambah lagi ada  seorang ibu kandungku yang tinggal bersamaku. Jadi  penghasilanku untuk  tujuh  manusia. Jadi untuk hidup laksana di syurga tidak perlu kaya raya.
        Tahukah sobat !. Seseorang yang telah menikah  tentunya menginginkan  kehidupan  rumah tangga yang harmonis, tentram, damai, rukun dll. Maka yang harus dipikirkan pertama kali adalah bagaimana melakukan harmonisasi hubungan  rumah tangga (baca:suami-istri). Kalau hanya berteori, setiap orang bisa dan gampang. Perlu diingat bahwa  anak-anak akan memperhatikan dan meniru  keharmonisan dan kebaikan ortunya.  Kenyataanya menjaga keharmonisan pasangan suami-istri (pasutri) tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, dibutuhkan ilmu,  usaha dan pengorbanan.
         Sebelum membicarakan  tip-tip untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis. Kita perlu memastikan bahwa kita memiliki niat yang benar bahwa hidup di dunia hanya sekali, kita  (suami dan istri) harus berniat memiliki keluarga  yang baik, harmonis, tenteram, berkah dll. Jadi NIAT yang baik itu 'Harus".
      Berikut ini adalah sepuluh tip  mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga yang telah aku praktikan dan tip-tip berikut ini pun sering dibahas dalam berbagi versi buku tentang rumah tangga,  salah satunya  telah  ditulis Wafaa‘ Muhammad, dalam kitabnya versi terjemahan on line Kaifa Tushbihina Zaujah Rumansiyyah. Tip-tip menuju keluarga harmonis, tenteram dan bahagia:
1. Berupaya saling mengenal dan memahami
      Perbedaan lingkungan dan kondisi tempat suami atau istri tumbuh sangat berpengaruh dalam pembentukan ragam selera, perilaku, dan sikap yang berlainan pada setiap pihak dari yang lain. Hal itu merupakan kewajiban setiap pasutri untuk memahami keadaan ini dan berusaha mengetahui serta mengenal pihak lain yang menjadi pasangan hidupnya. Mereka juga harus mengetahui semua hal yang berkaitan dengan situasi kehidupan yang mempengaruhi, sehingga dapat maju ke depan dan mewujudkan keharmonisan.
2. Perasaan timbal-balik
       Suami dan istri adalah partner dalam satu kehidupan yang direkatkan dalam tali pernikahan; satu ikatan suci yang mempertemukan keduanya. Tak pelak lagi, keduanya harus berbagi suka-duka; membagi kesedihan dan kegembiraan bersama. Keduanya saling berkelindan untuk menyongsong satu cita-cita luhur yaitu mewujudkan tatanan kehidupan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya. Untuk memupuk kasih sayang di masing-masing pihak, suami membutuhkan cinta istri, dan istri pun membutuhkan cinta suami.
…Suami dan istri harus berbagi suka-duka, membagi kesedihan dan kegembiraan bersama…
3. Setiap pihak harus hormat
       Ketika suami atau istri memasuki rumahnya, maka dia layak mendapatkan penghormatan dan apresiasi dari pasangannya. Hal itu bertujuan untuk menjaga harkat dan mengangkat prestise pasutri, sehingga masing-masing merasa nyaman untuk membangun rumah tangga harmonis. Dalam hal ini, sudah menjadi kewajiban pasutri untuk mencari poin-poin positif yang dimiliki masing-masing untuk digunakan sebagai penopang sikap saling menghormati.
4. Berusaha membahagiakan  pasangannya
     Dalam kehidupan keluarga, bahkan dalam kehidupan sosial secara general, jika seseorang berusaha mengedepankan dan mengutamakan orang lain dari dirinya sendiri, maka berarti dia telah menanam benih-benih cinta dan kedekatan kepada semua orang di sekelilingnya.
    Dengan demikian, setiap pasutri disarankan untuk senantiasa menyenangkan pasangannya, dan mendahulukan serta mengutamakannya dari dirinya sendiri, demi memperkukuh ikatan cinta kasih di antara keduanya. Pasalnya, ketika suami melihat istri membaktikan diri untuk menyenangkan dirinya, tentunya dia akan melakukan sesuatu yang bisa membuat senang dan gembira hati istri. Hal itu dilakukannya untuk membalas kebaikan istrinya, atau setidaknya sebagai pengakuan atas kebaikan tersebut.
5. Mengatasi persoalan bersama
       Pernikahan merupakan bentuk relasi partnership dan partisipasi. Partnership yang berdiri di atas landasan kesamaan tujuan, cita-cita, sikap, intuisi dan perasaan, serta kolaborasi dan solidaritas dalam memecahkan setiap persoalan. Setiap masalah yang timbul dalam kehidupan suami-istri, maka masalah itu dilihat sebagai suatu kecemasan kolektif.
…Setiap masalah yang timbul dalam kehidupan suami-istri, harus dipandang sebagai suatu kecemasan kolektif…
       Paradigma demikian memicu suami agar berusaha bekerja keras dalam rangka memberikan kehidupan mulia bagi istri dan anak-anaknya. Pun demikian, istri akan berusaha menjalankan urusan rumah tangga sesuai prosedur yang disepakati bersama. Upaya yang dilakukan oleh suami dan istri tersebut merupakan solusi untuk memecahkan masalah bersama. Pun demikian, baik suami maupun istri tidak perlu menyembunyikan problemnya, bahkan diperlukan kejujuran dan transparansi demi menumbuhkan benih-benih kepercayaan dan saling pengertian, sehingga mudah menemukan solusi. Bisa  jadi, permasalahan memiliki dampak positif untuk meneguhkan ikatan suami-istri.
6. Sikap qana’ah (bersyukur dengan apa yang telah diterima)
      Di antara tanda keharmonisan cinta pasutri adalah sikap merasa puas dengan yang ada (qana’ah); merasa puas dengan prasarana hidup yang tersedia. Kelanjutan sikap manja, kebiasan hidup serba ada, boros dan berfoya-foya pada masa kecil atau remaja termasuk salah satu faktor yang memicu pertikaian  pasutri. Sikap demikian berlawanan dengan kedewasaan yang menuntut pandangan realistis tentang kehidupan. Hal-hal picisan dan glamor yang digembar-gemborkan media publikasi sejatinya tidak akan menciptakan kebahagiaan. Karena kebahagiaan sejati memancar dari hati dan jiwa terdalam, bukan bertolak dari aspek-aspek materi yang justru memicu kesenjangan dan konflik pasutri.
7. Sikap toleransi kedua belah pihak
       Sungguh  sangat tidak logis jika setiap pihak mengharapkan perilaku ideal permanen dari pasangannya dalam hubungan rumah tangga, karena menurut tabiatnya, manusia kadang salah dan benar. Suami atau istri kadang lupa dan khilaf sehingga kerap mengulangi kesalahan serta kekeliruannya. Dia mungkin melakukan kesalahan karena ketidaktahuan, dan mengulanginya tanpa disadarinya. Jika setiap pihak berkeinginan untuk menghukum, menghakimi, atau membalas dendam untuk setiap kesalahan yang dilakukan pasangannya, maka berarti dia merusak fondasi keharmonisan rumah tangga.
…Kesalahan tidak perlu diikuti dengan tekanan, cacian, dan intimidasi, terutama jika kesalahan itu tidak berkaitan dengan norma-norma keislaman…
       Jika kita mencela segala hal, maka kita tidak akan menemukan sesuatu yang tidak kita cela. Melakukan kesalahan adalah hal lumrah yang hanya membutuhkan pelurusan, pengarah, dan petunjuk, yang dibarengi dengan sikap penyesalan dan keinginan untuk berubah lebih baik. Kesalahan tidak perlu diikuti dengan tekanan, cacian, dan intimidasi, terutama jika kesalahan itu tidak berkaitan dengan norma-norma keislaman. Yakinlah bahwa seseorang tidak akan kehabisan cara yang sesuai untuk mengoreksi kesalahan dan penyimpangan pasangannya. Jalan terbaik dalam hal ini adalah nasihat yang tenang dan membuat pasangannya merasa bahwa hal itu adalah untuk kebaikan diri dan keluarganya.
8. Mengutamakan komunikasi secara terus-terang
     Sikap terus terang, kejujuran, dan keberanian adalah kunci kebahagiaan kehidupan rumah tangga yang tidak mungkin nihil dari kesalahan. Dalam artian, jika Anda melakukan kesalahan, maka yang harus   Anda lakukan adalah bergegas meminta maaf, berani mengakuinya, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi di kemudian hari. Sikap tersebut sama sekali tidak berarti menistakan status dan harga diri Anda. Hal itu justru mendorong pihak lain untuk menghormati, mempercayai, dan memaafkan  Anda.
9. Kepedulian dan solidaritas
        Bagian fragmen terindah kehidupan rumah tangga adalah kepedulian dan solidaritas yang dilakoni suami atau istri dalam menghadapi kesulitan dengan kesabaran dan perjuangan luar biasa. Tatkala istri berdiri di samping suaminya, maka suami akan merasa kuat dan penuh percaya diri, begitu juga sebaliknya. Ketika istri atau suami merasakan bahwa pasangannya merasa kuat dan percaya diri, maka dia akan merasa jiwanya diliputi kedamaian dan ketenteraman. Sisi ini pada kenyataannya merupakan esensi pernikahan dan integrasi batin di antara kedua belah pihak.
10. Kearifan
        Kearifan satu sama lain –hingga pada situasi yang paling suram— membantu meletakkan fondasi kukuh keharmonisan. Bisa jadi, dikarenakan sebuah kesalahan, suami atau istri memiliki kemampuan hebat untuk mencelakai pasangannya, hanya saja kearifan mencegahnya melakukan hal itu. Kearifan memperkokoh semangat kesepahaman di antara keduanya. Kearifan bisa terwujud bila ada motivasi saling belajar, bukan merasa saling benar.

Yang terakhir bahwa hidup adalah proses belajar.  Tak ada manusia sempurna, termasuk  Maskatno Giri. mari berlomba-lomba dalam kebaikan. SALAM SUKSES SEJATI.