1. Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum
Ash-Shaum merupakan salah satu ibadah dalam Islam yang memiliki
keutamaan yang sangat tinggi, serta memiliki berbagai faidah dan hikmah
sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di dalam
tafsirnya tatkala menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
)يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ(
البقرة: ١٨٣
”Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian
ash-shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar
kalian bertaqwa.” [Al-Baqarah : 183]
Diantaranya :
1. Ash-shaum adalah salah satu sebab terbesar yang mengantarkan seseorang menuju taqwa.
[1]) Sedangkan taqwa itu akan mendorong orang yang menjalankan ibadah
shaum untuk meninggalkan berbagai larangan Allah Ta’ala, baik berupa
minuman, makanan, dan jima’ (hubungan suami-istri) dan beberapa larangan
sejenisnya yang disukai oleh hawa nafsu, dan shaum dilakukan dalam
rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Ta’ala dengan
mengharapkan balasan di sisi-Nya.
2. Orang yang menjalankan ibadah shaum melatih jiwanya agar senantiasa merasa diawasi oleh Allah (muroqobatullah) sehingga
dia meninggalkan kemauan hawa nafsunya meskipun mampu menurutinya,
sebab dia mengetahui adanya pengawasan Allah Ta’ala terhadap dirinya.
3. Ash-shaum dapat mempersempit ruang gerak syaithan karena ia masuk ke dalam tubuh anak Adam melalui aliran darah. ([2])
4. Ash-shaum akan melemahkan kekuatan syaithan, sehingga orang tersebut semakin terjauhkan dari kemaksiatan.
5. Orang yang menunaikan
ash-shaum, mayoritasnya akan melakukan banyak ketaatan dan itu merupakan
bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala
6. Terkhusus bagi orang kaya
bila merasakan pedihnya lapar karena ash-shaum maka akan muncul dalam
dirinya kepedulian kepada fuqara`, dan hal ini juga merupakan bagian dari ketaqwaan kepada Allah Ta’ala. ([3])
Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ketika ditanya tentang hikmah ash-shaum,
beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab antara lain : bahwa
ash-shaum mememiliki beberapa hikmah dalam hal sosial kemasyarakatan,
antara lain munculnya perasaan di tengah-tengah kaum muslimin bahwa
mereka adalah umat yang satu, makan dan bershaum di waktu yang sama.
[4])
Asy-Syaikh Alu Bassam dalam Taudhihul Ahkam ([5]) menyebutkan hikmah lain dari ibadah ash-shaum, di antaranya :
1. Mendorong seseorang untuk bersyukur kepada Allah dan mengingat berbagai nikmat-Nya.
2. Memiliki manfaat kesehatan, yaitu memberikan kesempatan pada alat pencernaan untuk istirahat.
———————————–
[1] Oleh karena itu, kalau kita perhatikan dengan seksama ayat
pertama yang padanya Allah memerintahkan kaum mu`minin untuk bershaum
diakhiri dengan penyebutan tujuan tersebut, yaitu ayat ke-183 surat
Al-Baqarah, Allah berfirman :
)لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “
Agar kalian bertaqwa”
Begitu pula Allah mengakhiri ayat terakhir tentang perintah ash-shaum
ini dengan penyebutan tujuan tersebut pula, yaitu ayat ke-187 surat
Al-Baqarah, Allah berfirman :
لَعَلَّهُمْ تَتَّقُونَ “
Agar mereka bertaqwa”
[2] Dari Shafiyyah radiyallahu ‘anha bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wassallam bersabda :
إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الإِنْسَانِ مَجْرى الدَّم
“
Sesungguhnya Syaithan berjalan dalam tubuh manusia sesuai dengan aliran darahnya.” [HR. Al-Bukhari 2035, 2038, 2039, 3101, 3281, 6219, 7171; Muslim 2175]
[3] Tafsir As-Sa’di tafsir Al-Baqarah ayat 183..
[4] Lihat Fatawa Ash-Shiyam karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin hal. 24. lihat pula Fatawal-’Ulama`il-BaladilHaram hal. 277.
[5] Taudhihul Ahkam (3/123)
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=235, judul asli Hikmah dan Fadhilah (Keutamaan) Ash-Shaum)
2. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
Sementara Fadhilah (keutamaan) Ash-Shaum telah banyak disebutkan
dalam berbagai hadits, baik fadhilah ash-shaum secara umum, maupun
fadhilah shaum Ramadhan secara khusus. Dalam kesempatan ini kami akan
menyebutkan beberapa di antaranya :
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
اَلصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ وَإِنِ
امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ – مَرَّتَيْنِ
– وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ
اللهِ تَعَالىَ مِنْ رِيْحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّيَامُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ،
وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا [متفق عليه]
“
Ash-Shiyam adalah perisai. Maka hendaklah seseorang tidak
berkata (berbuat) keji dan tidak berbuat jahil. ([1]) Dan bila ada yang
mengajak bertengkar atau mencelanya maka katakan : “Sesungguhnya saya
sedang shaum” – dua kali – Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya,
Sungguh bau mulut orang yang shaum lebih harum daripada bau misk di sisi
Allah, ‘ Dia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena Aku.
Dan Aku sendiri yang akan membalas amalan baiknya (ash-shaum) dan
ketahuilah bahwa satu kebaikan dilipat gandakan balasannya sampai
sepuluh kali lipat. ” [Muttafaq ‘alaih].([2])
Dalam hadits di atas, ada beberapa fadhilah yang dapat kita petik :
a. Bahwa Ash-Shaum berfungsi sebagai perisai.
Dijelaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam
An-Nasa`i dari shahabat ‘Aisyah dan ‘Utsman bin Abil ‘Ash, bahwa
Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka). Lafazh hadits
tersebut adalah :
عَنْ مُطَرِّفٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ أَبِي
الْعَاصِ، فَدَعَا بِلَبَنٍ، فَقُلْتُ : إِنِّي صَائِمٌ؛ فَقَالَ :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ r يَقُولُ : (( الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ
كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنْ الْقِتَالِ ))
Dari Mutharrif berkata : Aku datang menemui ‘Utsman bin Abil ‘Ash,
kemudian beliau hendak menghidangkan susu untukku. Maka aku berkata : “
Sesungguhnya
aku sedang bershaum. Maka beliau (’Utsman bin Abil ‘Ash) berkata :
Sungguh aku telah mendengar Rasulullah [D] bersabda :
“Ash-Shaum adalah perisai dari An-Nar (api neraka), seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan.” [3])
Dalam hadits lain, dari shahabat Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَّمَا الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنْ النَّارِ [رواه أحمد]
“
Sesungguhnya shaum itu adalah perisai yang dengannya seorang hamba melindungi diri dari (adzab) An-Nar.” [Ahmad] [4])
b. Aroma mulut seseorang yang sedang bershaum lebih baik di sisi Allah dibandingkan aroma wangi misk. [5])
c. Ibadah shaum yang dilakukan karena Allah, maka pahalanya akan dibalas secara langsung oleh Allah sendiri.
[lihat ulang Fathul Bari syarh hadits no. 1894]
2. Pintu khusus bagi orang-orang yang bershaum, yaitu pintu Ar-Rayyan.
Hadits dari shahabat Sahl bin Sa’d radhiallahu ‘anhu, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ
مِنْهِ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، لاَ يَدْخُلُ مِنْهُ أَحَدٌ
غَيْرُهُمْ، يُقَالُ : أَيْنَ الصَّائِمُونَ ؟ فَيَقُوْمُونَ لاَ يَدْخُلُ
مِنْهُ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ فَإِذَا دَخَلَوا أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ
مِنْهُ أَحَدٌ. [متفق عليه]
“
Sesungguhnya di Jannah ada sebuah pintu yang dinamakan Ar-Rayyan
yang masuk melaluinya pada Hari Kiamat hanyalah orang-orang yang
bershaum (berpuasa). Tidak akan masuk seorang pun melaluinya selain
mereka, kemudian diserukan, “Manakah orang-orang yang bershaum
(berpuasa)?” maka merekapun berdiri. Tidak ada seorang pun yang akan
masuk melalui pintu Ar-Rayyan kecuali mereka. Setelah mereka masuk
semua, maka pintu itupun ditutup, sehingga tidak ada lagi yang bisa
masuk melaluinya.” [Muttafaqun ‘Alaih]. ([6])
Dalam riwayat riwayat lain dengan tambahan :
(( مَنْ دَخَلَ فِيهِ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا )) [رواه النسائي و أحمد]
“
Barangsiapa yang masuk melaluinya, pasti dia akan minum, dan
barangsiapa yang minum maka pasti dia tidak akan pernah haus selamanya.” [An-Nasa`i dan Ahmad] ([7])
3. Dijauhkan wajahnya dari An-Nar sejauh tujuh puluh (70) tahun.
Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُوْمُ يَوْمًا فِي سَبِيْلِ اللهِ إِلاَّ
بَاعَدَ اللهُ بِذلِكَ وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ سَبْعِيْنَ خَرِيْفًا [متفق
عليه]
“
Tidaklah seseorang bershaum sehari di jalan Allah melainkan
Allah akan menjauhkan wajahnya dengan shaumnya tersebut dari an-nar di
hari kiamat, sejauh 70 tahun.” [Muttafaq ‘alaih] ([8])
Sebagian ‘ulama mengkhususkan makna Fi sabilillah dengan jihad,
antara lain Al-Imam Ibnul Jauzi. Al-Imam Al-Bukhari pun menyebutkan
hadits ini dalam Kitabul Jihad was Sair dengan judul bab
: فَضْلِ الصَّوْمِ فِي سَبِيْلِ اللهِ (Keutamaan
Ash-Shaum di jalan Allah). Begitu pula Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh
Muslim meletakkan bab pada hadits ini dengan judul :
فَضْلِ الصِّيَامِ فِي سَبِيلِ اللهِ لِمَنْ يُطِيقُهُ بِلا ضَرَرٍ وَلا تَفْوِيتِ حَقٍّ(Keutamaan Ash-Shiyam Fi Sabilillah bagi yang mampu tanpa adanya kemudharatan dan pengabaian tugas).
Sehingga atas dasar itu keutamaan yang terkandung dalam hadits di
atas hanya khusus bagi yang bershaum ketika berjihad fi sabilillah.
Namun Al-Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa makna Fi Sabilillah di
sini adalah : ketaatan kepada Allah secara umum. Sehingga makna hadits
adalah : “Barangsiapa yang bershaum dengan mengharapkan wajah Allah”.
Atas dasar itu keutamaan tersebut tidak hanya terbatas pada shaum ketika
berjihad fi sabilillah.
Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar menegaskan bahwa dua kemungkinan makna
di atas memungkinkan sebagaimana makna hadits di atas, sekaligus sebagai
makna hadits berikut ini. [9])
4. Parit penghalang dari adzab An-Nar.
Hadits dari shahabat Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللهِ جَعَلَ اللهُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ النَّارِ خَنْدَقًا كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ )) [رواه
الترمذي]
“
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jadikan antara dia dengan An-Nar sebuah parit penghalang
(yang lebarnya) sejauh langit dan bumi.” [At-Tirmidzi] ([10])
5. Allah jauhkan darinya api Jahannam sejauh perjalanan seratus tahun
Hadits dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَومًا فِي سَبِيلِ اللهِ بَاعَدَ اللهُ مِنْهُ
جَهَنَّمَ مَسِيْرَةَ مِائَةِ عَامٍ )) [رواه النسائي و ابن أبي عاصم و
الطبراني]
“
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus
tahun.” [An-Nasa`i, Ibnu Abi ‘Ashim, Ath-Thabarani] [11])
Masalah : Dalam hadits shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ini disebutkan “
sejauh
perjalanan seratus tahun”. Sementara dalam hadits shahabat Abu Sa’id
Al-Khudri radhiallahu ‘anhu disebutkan “sejauh 70 tahun”. Secara zhahir perbedaan ini memunculkan suatu pertanyaan.
Untuk menjawabnya, ada dua jawaban :
a. Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) bukan sebagai batasan mutlak,
tetapi dalam rangka menggambar betapa sangat jauhnya jarak tersebut.
Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi dan dipertegas
oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
- Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata :
ورد ذكر السبعين لإرادة التكثيركثيرا
“
Penyebutan bilangan tujuh puluh (70) pada hadits di atas dalam rangka menggambarkan betapa sangat jauhnya.”
Kemudian Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menegaskan :
ويؤيده أن النسائي أخرج الحديث المذكور عن عقبة بن عامر
والطبراني عن عمرو بن عبسة وأبو يعلى عن معاذ بن أنس فقالوا جميعا في
رواياتهم ( مائة عام ).
“
Memperkuat pernyataan Al-Qurthubi di atas, An-Nasa`i
meriwayatkan hadits tersebut dari shahabat ‘Uqbah bin ‘Amir, demikian
juga Ath-Thabarani meriwayatkannya dari shahabat ‘Amr bin ‘Abasah, dan
Abu Ya’la meriwayatkan dari shahabat Mu’adz bin Anas, semuanya
menyebutkan dalam periwayatan mereka : (bilangan) “Seratus tahun”“. [12])
Jawaban senada juga diucapkan oleh Al-Imam As-Sindi dalam Syarh Sunan
An-Nasa`i, bahwa penyebutan bilangan tujuh puluh atau seratus tahun
bukan sebagai batasan mutlak, tetapi dalam rangka menggambar betapa
sangat jauhnya jarak tersebut. [13])
b. Ada kemungkinan, Allah subhanahu wata’ala hendak menambah fadhilah
dan pahala bagi orang yang bershaum sehingga menyempurnakan jauhnya
jarak tersebut menjadi seratus tahun perjalanan setelah sebelumnya
sejauh tujuh puluh tahun. Jawaban kedua ini disampaikan oleh Al-Imam
As-Sindi rahimahullah dalam Syarh Sunan An-Nasa`i. [14])
Terkait dengan fadhilah di atas, ada beberapa hadits yang sering
diriwayatkan namun secara sanad lemah. Di antara hadits-hadits tersebut :
- Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ صَامَ يَوْمًا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى،
بَعَّدَهُ اللهُ U مِنْ جَهَنَّمَ كَبُعْدِ غُرَابٍ طَارَ وَهُوَ فَرْخٌ
حَتَّى مَاتَ هَرِمًا )) [رواه أحمد، أبو يعلى، و البيهقي، و الطبراني]
“
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) dalam rangka mengharap
wajah Allah, niscaya Allah jauhkan dia dari neraka jahannam sejauh
perjalanan terbang burung Gagak, semenjak burung Gagak tersebut baru
menetas hingga mati di usia yang tua. ” [Ahmad, Abu Ya’la, Al-Baihaqi, dan Ath-Thabarani] [15])
- Hadits dari shahabat Abu Umamah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( مَنْ صَامَ يَوْماً فِي سَبِيلِ اللهِ؛ بَعَّدَ اللهُ
وَجْهَهُ عَنِ النَّارِ مِائَةَ عَامٍ، رَكْضَ الفَرَسِ الجَوَّادِ
المُضَمَّرِ )) [رواه عبد الرزاق و الطبراني]
“
Barangsiapa yang bershaum (berpuasa) sehari di jalan Allah,
niscaya Allah jauhkan api Jahannam darinya sejauh perjalanan seratus
tahun, dengan kecepatan kuda tunggangan gesit dan kuat. [16]“ [’Abdurrazzaq dan Ath-Thabarani] [17])
—————————
[1] Perbuatan jahil maksudnya adalah perbuatan yang biasa dilakukan
oleh orang jahil seperti berteriak-teriak atau berbuat kedunguan
( اَلسَّفَه ), dan lain-lain (lihat Fathul Bari Kitabush Shaum hadits no. 1894).
[2] Al-Bukhari 1894, Muslim 1151.
[3] An-Nasa`i no. 2231. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2231.
[4] HR. Ahmad, dari shahabat Jabir, dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 981. Lihat pula Shahihul
Jami’ish Shaghir no. 4308.
[5] Hal ini tidak berarti bahwa orang yang bershaum disyari’atkan
untuk membiarkan bau mulutnya. Bahkan tetap disunnahkan bagi orang yang
bershaum untuk bersiwak, sebagaimana pernah dijawab oleh shahabat Mu’adz
bin Jabal dalam sebuah atsar yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani
dalam kita beliau Irwa`ul Ghalil I/106 . Lihat pembahasan lengkap pada
bab halaman ………………..
[6] Al-Bukhari 1896, Muslim 1152.
[7] An-Nasa`i no. 2236, Ahmad V/336. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2236.
[8] Al-Bukhari 2840, Muslim 1153.
[9] Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[10] At-Tirmidzi 1624. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 563.
[11] An-Nasa`i no. 2254, Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitabul Jihad I/88/2,
Ath-Thabarani dalam Al-Kabir no. 927. Dihasankan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani v dalam Ash-Shahihah no. 2565.
[12] Fathul Bari syarh hadits no. 2840.
[13] Lihat Syarh Sunan An-Nasa`i oleh Al-Imam As-Sindi, syarh hadits no. 2565.
[14] Ibid.
[15] Ahmad II/526 Karena pada sanadnya ada ‘Abdullah bin Lahi‘ah
seorang perawi yang lemah, sekaligus ayahnya yaitu Lahi‘ah, dia seorang
perawi yang majhulul hal sebagaimana dinyatakan oleh Ibnul Qaththan;
Al-Hafizh juga berkata tentangnya : mastur. Dalam sanadnya juga ada rawi
yang mubham, yaitu gurunya Lahi‘ah. Hadits ini didha’ifkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani v dalam Adh-Dha’ifah no. 1330.
[16] Tentang makna (Al-Jawad) dan (Al-Mudhammar) lihat Fathul Bari
syarh hadits no. 2870, 6553; dan Syarh Shahih Muslim oleh An-Nawawi,
syarh hadits no. 2828.
[17] ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (V/301/9683), Ath-Thabarani
dalam Al-Mu’jamul Kabir (VIII/233/7806). Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Adh-Dha’ifah no. 6910 berkata tentang hadits ini : “Munkar dengan
konteks secara lengkap seperti di atas. Karena pada sanadnya terdapat
kelemahan yang berentet, ada tiga perawi yang semuanya dha’if (lemah),
yaitu : ‘Ali bin Yazid, ‘Ubaidullah bin Zahr, dan Al-Mutharrih.”
Dalam kitabnya Taqribut Tahdzib, Al-Hafizh berkata tentang ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilal : dha’if (lemah).
Kemudian tentang ‘Ubaidullah bin Zahr, beliau berkata : Saduqun
Yukhthi’ (jujur namun berbuat kesalahan dalam periwayatan hadits).
Adapun tentang Mutharrih bin Yazid, beliau berkata : dha’if (lemah).
Oleh karena itu Al-Imam Al-Haitsami v dalam kitabnya Majma’uz Zawa`id
melemahkan hadits di atas dengan sebab keberadaan Mutharrih bin Yazid
ini. beliau berkata : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam
Al-Kabir, namun dalam sanadnya terdapat Mutharrih, dia adalah seorang
perawi yang dha’if.” (lihat Adh-Dha’ifah no. 6910).
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=236, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 1)
3. Fadhilah Ash-Shaum secara umum
6. Hadits Hudzaifah radhiallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Al-Imam
Al-Bukhari dalam Shahihnya, Bab : Ash-Shaum Kaffarah, bahwasannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
فِتْنَةُ الرَّجُلِ فِي أَهْلِهِ وَ مَالِهِ وَ جَارِهِ تُكَفِّرُهَا الصَّلاَةُ وَ الصِّيامُ وَ الصَّدَقَةُ (متفق عليه)
“
Dosa yang dilakukan seseorang karena terfitnah oleh keluarga,
harta, atau tetangganya dihapuskan oleh shalat, shaum, dan shadaqahnya.” [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
7. Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ يَفْرَحُهُمَا إِذَا أَفْطَرَ
فَرِحَ بِفِطْرِهِ وَإِذَا لَقِيَ رَبَّهُ فَرِحَ بِصَوْمِهِ )) [متفق
عليه]
“
Bagi orang yang bershaum (berpuasa) dua kegembiraan : Jika
berbuka dia bergembira dengan berbukanya tersebut, jika bertemu Rabbnya
(Allah) dia bergembira dengan (pahala) shaumnya.” [Muttafaqun ‘alaihi, dengan lafazh Muslim] ([2])
8. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ
أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ )) [متفق عليه]
“
Barangsiapa yang telah mampu menikah hendaknya segera menikah,
karena sesungguhnya pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih
menjaga kemaluan. Namun barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia
berpuasa, karena sesungguhnya shaum tersebut berfungsi sebagai perisai
baginya. [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Dari hadits di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa di antara hikma
ash-shaum berfungsi sebagai perisai seorang hamba dari kejahatan
syahwatnya. Sekaligus sebagai salah satu jalan keluar bagi para pemuda
yang belum mampu melakukan pernikahan.
9. Hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( الصِّيَامُ و القُرآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ
القِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَي رَبِّ إِنِّي مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ
وَ الشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفَّعْنِي فِيهِ؛ يَقُولُ القُرْآنُ:
رَبِّ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ فَيُشَفَّعَانِ
))
“
Ash-Shiyam dan Al-Qur`an keduanya memberikan syafa’at untuk
hamba tersebut pada Hari Kiamat. Berkata Ash-Shiyam : “Wahai Rabb,
sesungguhnya aku telah menghalanginya dari makanan dan syahwat pada
siang hari, maka terimalah syafa’atku untuknya.” Al-Qur`an berkata :
Wahai Rabbku, aku telah menghalanginya dari tidur pada malam hari, maka
terimalah syafa’atku untuknya. Maka keduanya memberikan syafa’at [Ahmad dan Ath-Thabarani] ([4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :
أي : يشفعهما الله فيه و يدخله الجنة، قال المناوي : (( و هذا
القول يحتمل أنه حقيقة بأن يجسد ثوابهما و يخلق الله فيه النطق )وَاللَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(، و يحتمل أن على ضرب من المجاز و التمثيل )).
قلت : و الأول هو الصواب الذي ينبغي الجزم به هنا وفي أمثاله من
الأحاديث التي فيها تجسيد الأعمال و نحوها، كمثل تجسيد الكنـز شجاعا أقرع،
و نحوه كثير. و تأويل مثل هذه النصوص ليس من طريقة السلف y، بل هو طريقة
المعتزلة و من سلك سبيلهم من الخلف، و ذلك مما ينافي أول شروط الإيمان
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣، فحذار أن تحذو حذوهم، فتضل
و تشقي، و العياذ بالله. اهـ
Maksudnya adalah : Al-Qur`an dan Ash-Shiyam keduanya diizinkan oleh
Allah untuk memberi syafa’at kepada orang tersebut sekaligus
memasukkannya ke dalam Al-Jannah. Al-Munawi berkata : “Ada kemungkinan
bahwa maksud perkataan di atas adalah secara hakekat sebenarnya, yaitu
dengan Allah rupakan dalam bentuk fisik ganjaran kedua amalan tersebut,
kemudian Allah ciptakan untuk keduanya kemampuan untuk berbicara.
)وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(
“
dan Allah Maha mampu atas segala sesuatu.”
Ada juga kemungkinan bahwa hal itu hanya sebatas permisalan dan majaz.”
Menanggapi pernyataan Al-Munawi di atas, Asy-Syaikh Al-Albani berkata
: “Kemungkinan pertama itulah yang benar dan harus dipastikan dalam
permasalahan dan yang semisalnya dari berbagai bentuk hadits yang di
dalamnya disebutkan tentang dirupakannya amalan dalam bentuk jasad
(fisik) dan yang semisalnya. …. sementara penta’wilan (pemalingan maksud
hadits dari makna sebenarnya kepada makna majaz) terhadap nash-nash
seperti ini bukanlah metode generasi salaf radhiallahu ‘anhum, bahkan
itu adalah metode kelompok Al-Mu’tazilah dan pihak-pihak yang mengikuti
jejak mereka dari kalangan kaum khalaf. Cara penakwilan seperti itu
sangat bertentangan dengan syarat pertama keimanan, yaitu :
)الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ( البقرة: ٣،
“
orang-orang yang berimana kepada hal-hal ghaib” [Al-Baqarah : 3]
Maka waspadalah engkau dari sikap mengikuti jejak mereka (kaum
mu’tazilah) yang menyebabkan engkau menjadi sesat dan celaka.
Wal’iyyadzubillah. –selesai–
10. Hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ : الإِمَامُ الْعَادِلُ، وَالصَّائِمُ حَتَّى يُفْطِرَ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ … ))
“
Tiga pihak tidak akan ditolak do’a mereka : Seorang pemimpin
yang adil, seorang yang bershaum hingga dia berbuka, dan do`a seorang
yang terzhalimi, …” [At-Tirmidzi dan Ibnu Majah] [5])
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa do’a
seorang yang bershaum ketika dia sedang menunaikan shaumnya hingga
datangnya waktu ifthar adalah do`a yang mustajab. Sementara hadits dari
shahabat Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
(( لِكُلِّ صَائِمٍ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ))
“
Setiap orang yang bershaum memiliki do`a yang mustajab ketika dia berifthar (berbuka).” [Ibnu ‘Adi] [6])
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari shahabat ‘Abdillah bin ‘Amr bin Al-’Ash dengan lafazh :
(( إِنَّ لِلصَّائِمِ عِنْدَ فِطْرِهِ دَعْوَةٌ لاَ تُرَدُّ ))
“
Sesungguh orang yang bershaum memiliki do`a yang tidak ditolak ketika dia berifthar”
Al-Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Zadul Ma’ad mengisyarahkan
tentang lemahnya hadits ini. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa
hadits ini lemah. [7])
——————————
[1] Al-Bukhari 1895 , Muslim 144.
[2] Al-Bukhari 1904, Muslim 1151.
[3] Al-Bukhari 1905, Muslim 1400.
[4] Ahmad dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani Shahihul Jami’ish Shaghir no. 3882. Adapun dalam
Shahihut Targhib no. 984 beliau menyatakan : Hasan Shahih. Lihat pula
Tamamul Minnah hal. 394-395.
[5] At-Tirmidzi 3598, Ibnu Majah 1752.
[6] Ibnu ‘Adi. Pada sanad ada seorang perawi yang bernama Muhammad
bin Ishaq Al-Balkhi. Ibnu ‘Adi berkata tentangnya : “Al-Balkhi ini
adalah seorang perawi yang haditsnya tidak menyerupai hadits para perawi
yang jujur.” Asy-Syaikh Al-Albani berkata bahwa Al-Imam Shalih Jazarah
dan selainnya menyatakan bahwa orang ini pendusta. Lihat penjelasan
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 4325.
[7] Lihat Al-Irwa` no. 921.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=237, judul asli Fadhilah Ash-Shaum secara umum 2)
4. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمُعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ،
وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتُ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا
اجْـتَـنَبَ الْكَبَائِرَ )) [رواه مسلم]
“
Shalat lima waktu, Jum’at ke Jum’at berikutnya, Ramadhan ke
Ramadhan berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa selama masih
meninggalkan dosa-dosa besar.” [HR. Muslim] ([1])
Namun keutamaan dan fungsi Ramadhan sebagai penghapus dosa sangat
bergantung kepada sikap dan kemauan hamba untuk menjauhi Al-Kaba`ir ,
yaitu dosa-dosa besar. Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh Allah
subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
“
Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kalian mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahan
kalian (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kalian ke tempat yang
mulia (Al-Jannah).” [An-Nisa` : 31]
Berkata Asy-Syaikh As-Sa’di radhiallahu ‘anhu tentang ayat di atas :
“
Tentu ini merupakan bentuk keutamaan dan kebaikan Allah terhadap
hamba-hamba-Nya yang mu`min. Allah menjanjikan kepada mereka bahwa jika
mereka menjauhi dosa-dosa besar yang terlarang, maka pasti Dia akan
mengampuni seluruh dosa dan kesalahannya, serta akan memasukkan mereka
ke tempat yang mulia dan penuh kebaikan, yaitu Al-Jannah yang meliputi
segala keindahan yang belum pernah dilihat oleh mata, dan belum pernah
di dengar oleh telinga, bahkan belum pernah terbetik dalam sanubari
manusia.
Termasuk pula dalam upaya menjauhkan diri dari Al-Kaba`ir adalah
menunaikan berbagai kewajiban, yang apabila ditinggalkan maka pelakunya
tergolong telah melakukan dosa besar, seperti shalat lima waktu, dan
shalat Jum’at, serta shaum Ramadhan, sebagaimana sabda Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Antara shalat lima waktu, dan shalat Jum’at ke Jum’at
berikutnya, serta antara Ramadhan ke Ramadhan berikutnya berfungsi
sebagai penghapus dosa-dosa yang terjadi di antara keduanya selama masih
dijauhi dosa-dosa besar”
Definisi Al-Kaba`ir yang terbaik adalah sebuah dosa yang diancam
dengan hukuman pidana di dunia, atau ancaman adzab di akhirat, atau
penafian iman (dari pelakunya), terkenainya laknat dan marah Allah
atasnya.” [2])
Dari keterangan di atas, setidaknya ada dua kesimpulan yang bisa kita ambil :
1. Bahwa shaum Ramadhan tidak akan berfungsi sebagai penebus dosa
atau penghapus kesalahan kecuali apabila pelakunya berupaya meninggalkan
Al-Kaba`ir (dosa-dosa besar).
2. bahwa kita harus mengetahui definisi dan batasan Al-Kaba`ir,
sehingga dengan itu kita dapat menghindarkan diri kita darinya, dan
tentunya hal itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan thalabul ‘ilmi
(menuntut ilmu syar’i).
2. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ))
“
Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu . [Muttafaqun ‘alaihi] ([3])
Hadits ini memiliki kemiripan dengan hadits yang sebelumnya, yaitu
dari sisi bahwa barangsiapa yang bershaum pada bulan Ramadhan akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Namun keutamaan tersebut memang
hanya bisa diraih dengan dua syarat :
a. Shaum yang dia lakukan berdasarkan kepada keimanan, yaitu keimanan
bahwa shaum Ramadhan merupakan syari’at yang haq yang datangnya dari
Allah dan telah diwajibkan kepada kaum mu`minin.
b. Shaum yang dia lakukan berdasarkan sikap ihtisab (mengharapkan)
pahala dan ridha Allah subhanahu wata’ala. Sehingga mendorong dia untuk
melakukannya dengan penuh keikhlasan, tanpa ada unsur kepentingan
duniawi.
Sehingga barangsiapa yang melakukan shaum Ramadhan tanpa dilandasi
dua sikap di atas, dia tidak akan mendapatkan keutamaan yang dijanjikan.
Terkait dengan permasalahan di atas, ada beberapa hadits dha’if yang perlu diketahui, antara lain :
a. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu secara marfu’ dengan lafadz :
(( وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا؛
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ )). رواه النسائي
في الكبرى
“
Barangsiapa yang beribadah pada malam lailatul qadr karena
dorongan iman dan mengharap (pahala) maka pasti Allah ampuni
dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang. [An-Nasa`i] [4])
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : Hadits ini dengan
tambahan lafazh (( وَ مَا تَأَخَّرَ )) adalah hadits yang Syadz
(ganjil).
b. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( من صام رمضان وعرف حدوده، وتحفظ مما كان ينبغي أن يتحفظ منه، كفر ما قبله )) . رواه أحمد والبيهقي
“
Barangsiapa yang bershaum di bulan Ramadhan dan mengetahui
batas-batas (syar’i) nya, serta dia berupaya menjaga diri dari segala
sesuatu yang semestinya ia menjaga dirinya dari hal itu, maka pasti akan
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Ahmad dan Al-Baihaqi]
Hadits ini adalah hadits yang lemah, sebagaimana ditegaskan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah. [5]) Karena pada sanadnya ada
seorang perawi yang majhul, yaitu ‘Abdullah bin Quraith. Al-Imam
Al-Haitsami berkata, bahwa perawi ini telah disebutkan oleh Ibnu Abi
Hatim namun beliau tidak menyebutkan tentangnya, baik jarh (cercaan)
atau pun ta’dil (rekomendasi). Disebutkan dalam kitab Ta’jilul Manfa’ah
bahwa Al-Husaini berkata tentang perawi ini dalam kitab Rijalul Musnad :
bahwa dia adalah seorang perawi yang majhul.
3. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ ))
“
Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu Al-Jannah [Muttafaqun ‘alaihi] ([6])
————————————
[1] Muslim 233
[2] Tafsir As-Sa’di surat An-Nisa` : 31.
[3] Al-Bukhari 1901, Muslim 760.
[4] An-Nasa`i dalam As-Sunanul Kubra. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5083.
[5] Lihat Tamamul Minnah hal. 395.
[6] Al-Bukhari 1898, Muslim 1079.
(Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=239, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 1 ))
5. Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 )
1. Hadits dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
(( إِذَا دَخَلَ شَهْرُ رَمَضَانَ فُتِّحَتْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ جَهَنَّمَ، وَسُلْسِلَتْ الشَّيَاطِينُ ))
“
Jika telah datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu
langit dan ditutuplah pintu-pintu Jahannam, serta dibelenggulah para
syaithan. [Muttafaqun ‘alaihi] ([1])
Dalam riwayat Muslim disebutkan pula dengan lafazh :
(( … فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ … ))
“…
maka dibukalah pintu-pintu rahmat … “
Dari tiga riwayat hadits di atas, kita mengetahui adanya tiga lafazh yang berbeda, yaitu :
- dibukakannya pintu Al-Jannah
- dibukakannya pintu rahmat
- dibukakannya pintu langit
sepintas nampak kontradiktif, namun pada hakekatnya tidak demikian.
Maksud “dibukakannya pintu langit” adalah dalam rangka naiknya
berbagai perkataan baik kepada Allah, baik dalam bentuk dzikir maupun
kalimat tauhid Lailaha Illallah, serta diangkatnya berbagai amalan
shalih menuju kepada Allah. Sebagaimana firman Allah :
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ فاطر: ١٠
“
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Fathir : 10]
Sehingga dengan itu langit lebih banyak dibuka pada bulan Ramadhan, karena banyaknya perkataan baik dan amalan shalih padanya.
Sementara “dibukanya pintu rahmah” ada dua kemungkinan makna :
1. Dalam rangka rahmat Allah turun kepada hamba-hamba-Nya yang
mu`min, yang rahmat itu sendiri merupakan sebab masuk Al-Jannah,
sehingga hamba-hamba Allah tidaklah masuk Al-Jannah kecuali dengan sebab
rahmat Allah, bukan karena amalan mereka.
2. Makna rahmat dalam hadits ini adalah Al-Jannah. Karena dalam
beberapa keterangan Al-Jannah terkadang diistilahkan dengan “rahmat”,
sebagaimana dalam hadits :
قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لِلْجَنَّةِ : (( أَنْتِ رَحْمَتِي أَرْحَمُ بِكِ مَنْ أَشَاءُ مِنْ عِبَادِي ))
“
Allah Tabaraka wa Ta’ala berkata kepada Al-Jannah : ‘Engkau
adalah rahmat-Ku yang denganmu Aku merahmati siapa yang Aku kehendaki
dari kalangan hamba-hamba-Ku’.” [Muttafaqun ‘alaih] [2])
Penjelasan tentang maksud :
« وصفدت الشياطين »
Di antara yang sering ditanyakan adalah maksud kalimat
« وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan).
Ketahuilah bahwa maksud kalimat di atas bukanlah seluruh jenis
syaithan. Namun hanya terbatas pada jenis syaithan yang diistilahkan
dengan Al-Maradah (
المَرَدَةُ ), yaitu para syaithan
yang tingkat kejahatan dan kedurhakaanny paling besar. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh para ‘ulama, antara lain :
1. Ibnu Khuzaimah rahimahullah. dalam kitab Shahihnya, beliau menyebutkan :
باب ذكر البيان أن النبي r إنما أراد بقوله : « وصفدت الشياطين » مردة الجن منهم، لا جميع الشياطين
Bab : Penjelasan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam hanyalah memaksudkan dengan perkataannya :
« وصفدت الشياطين » (dan dibelenggulah para syaithan) adalah jenis jin yang maradah (paling durhaka), bukan seluruh jenis syaithan.
Kemudian beliau menyebutkan hadits dari shahabat Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
1776 –
« إِذَا كَان أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ مَرَدَةُ الجِنِّ، … »
“
Jika pada malam hari pertama bulan Ramadhan dibelenggulah para syaithan dari jenis maradatul jin (jin yang paling durhaka), … ” –selesai dari Ibnu Khuzaimah–
Disebutkan pula dalam Sunan An-Nasa`i, juga dari hadits Abu Hurairah, dengan lafazh :
(( … وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ، … ))
“…
dan padanya dibelenggu para syaithan yang paling durhaka. … ” [An-Nasa`i] [3])
2. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadhish Shalihin berkata :
“
Maksud (dibelenggulah para syaithan) adalah jenis maradah (yang
paling durhaka) di antara mereka. sebagaimana telah disebutkan dalam
riwayat lain. Sementara yang dimaksud dengan Al-Maradah adalah : yaitu
para syaithan yang paling besar permusuhan dan kebencianya terhadap anak
Adam.” ([4])
Namun ada sebagian ‘ulama yang memberikan lain dari yang kami sebutkan di atas, antara lain Al-Imam Al-Hulaimi, beliau berkata :
“
yang dimaksud adalah para syaithan pencuri berita (dari langit).
Tidakkah engkau perhatikan Rasulullah menyebut (( مردة الشياطين ))،
(para syaithan yang sangat durhaka) karena bulan Ramadhan adalah waktu
turunnya Al-Qur`an ke langit bumi, yang upaya penjagaan (terhadap)
Al-Qur’an dilakukan dengan cara bintang-bintang (yang dilemparkan),
sebagaimana firman Allah Ta’ala :
(وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ ) الصافات: ٧
“
dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya) dari setiap syaithan yang sangat durhaka.” [Ash-Shaffat : 7] [5])
Sehingga dengan itu pembelengguan semakin diperketat pada bulan
Ramadhan, dalam rangka penjagaan yang lebih serius (terhadap
Kalamullah). [6])
2. Hadits dari shahabat ’Amr bin Murrah Al-Juhani radhiallahu ‘anhu , beliau berkata :
جاء رجل إلى النبي r فقال : يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا
إله إلا الله وأنك رسول الله، وصليت الصلوات الخمس، وأديت الزكاة، وصمت
رمضان وقمته، فممن أنا؟ قال : (( من الصديقين والشهداء )) [رواه البزار
وابن خزيمة وابن]
Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata :
Wahai
Rasulullah, bagaimana pendapat engkau jika saya bersaksi La ilaha
Illallah dan bahwa engkau adalah Rasulullah, saya melaksanakan shalat
lima waktu, saya menunaikan zakat, dan saya bershaum di bulan Ramadhan
dan saya laksanakan shalat (pada malam harinya), maka dari golongan
manakah aku?
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “
Dari kalangan Ash-Shiddiqin dan Asy-Syuhada’ ” [Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban] [7])
Dari keterangan di atas, kita tahu bahwa seorang hamba yang
menunaikan shaum Ramadhan dan rajin melakukan Qiyamullail (shalat malam)
padanya, maka dia akan digolongkan dalam golongan para syuhada` dan
shiddiqin.
3. Hadits dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri :
(( إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة – يعني في رمضان – وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة )) رواه البزار
“
Sesungguhnya Allah memiliki orang-orang yang dibebaskan (dari
adzab An-Nar) pada setiap siang dan malam –yakni di bulan Ramadhan– dan
sesungguhnya setiap muslim memiliki do’a yang mustajab pada setiap siang
dan malam” [Al-Bazzar] [8])
4. Hadits dari shahabat Ka’b bin ‘Ujrah radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
(( احضروا المنبر )) فحضرنا فلما ارتقى درجة قال : (( آمين ))؛
فلما ارتقى الدرجة الثانية قال : (( آمين ))؛ فلما ارتقى الدرجة الثالثة
قال : (( آمين ))؛ فلما نزل قلنا : يا رسول الله لقد سمعنا منك اليوم شيئا
ما كنا نسمعه؟ قال : (( إن جبريل عليه السلام عرض لي، فقال : بعد من أدرك
رمضان فلم يغفر له، قلت آمين، فلما رقيت الثانية قال : بعد من ذكرت عنده
فلم يصل عليك، فقلت آمين، فلما رقيت الثالثة قال بعد : من أدرك أبويه الكبر
عنده أو أحدهما فلم يدخلاه الجنة، قلت آمين )) رواه الحاكم وقال صحيح
الإسناد
“
Hadirlah kalian di sekitar mimbar” maka kami pun segera hadir.
Ketika menaiki tangga pertama beliau mengucapkan “Amin” ; dan ketika
menaiki tangga kedua beliau mengucapkan “Amin”; begitu pula ketika
menaiki tangga ketiga, beliau mengucapkan “Amin”. Ketika beliau telah
turun dari mimbar, kami bertanya : “Wahai Rasulullah sungguh kami telah
mendengar darimu sesuatu pada hari ini yang belum pernah kami mendengar
sebelumnya?” maka beliau menjawab : “Sungguh telah datang kepadaku
Jibril, kemudian dia berkata : ‘Celakalah seorang yang memasuki bulan
Ramadhan namun dia tidak diampuni.’ Maka aku berkata : Amin. Kemudian
ketika aku menaiki tangga kedua, Jibril berkata : ‘Celakalah seseorang
yang disebutkan namamu di hadapannya namun dia tidak bershalawat
untukmu.’ Maka aku pun mengucapkan Amin. Dan ketika aku menaiki tangga
ketiga, Jibril berkata : ‘Celakalah seorang yang menemui kedua orang
tuanya pada masa tua, atau salah satu di antara keduanya, namun
(keberadaan) keduanya tidak mampu memasukkan dia ke dalam Al-Jannah.’
Maka aku pun mengucapkan Amin.” [HR. Al-Hakim] [9]
Dalam hadits di atas, ada sebuah penekanan dari Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh ampunan.
Sehingga hendaknya setiap mu`min berupaya dengan sungguh-sungguh untuk
mendapatkannya. Karena apabila dia gagal mendapatkan ampunan di bulan
Ramadhan maka dia akan mendapatkan do`a celaka dari malaikat Jibril
‘alaihis salam dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah
melindungi kita semua.
————————–
[1] Al-Bukhari 1899, Muslim 1079.
[2] Al-Bukhari 4850, Muslim 2846 dari shahabat Abu Hurairah.
[3] HR. An-Nasa`i 2106. dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa`i no. 2106.
[4] Syarh Riyadhish Shalihin karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, hadits no. 1220.
[5] Konteks ayat tersebut adalah sebagai berikut :
إِنَّا زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِزِينَةٍ الْكَوَاكِبِ
(6) وَحِفْظًا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ مَارِدٍ (7) لَا يَسَّمَّعُونَ إِلَى
الْمَلَإِ الْأَعْلَى وَيُقْذَفُونَ مِنْ كُلِّ جَانِبٍ الصافات: ٦ – ٨
“
Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia dengan hiasan
bintang-bintang, dan juga sebagai penjagaan (dengan sebenar-benarnya)
dari setiap syaithan yang sangat durhaka. Agar syaithan-syaithan itu
tidak dapat mencuri-curi dengar (pembicaraan) para malaikat dan mereka
dilempari (dengan bintang-bintang tersebut) dari segala penjuru.” [Ash-Shaffat : 6-8]
[6] Lihat Shahihut Targhib wat Tarhib di bawah hadits no. 999.
[7] Al-Bazzar, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. Dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib no. 361, 749, 1003, 2515,
[8] HR. Al-Bazzar. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib no. 1002
[9] HR. Al-Hakim. Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahihut Targhib
wat Tarhib hadits no. 995 : Shahih li gharihi. Hadits tersebut
diriwayatkan pula dari shahabat Abu Hurairah, sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Imam At-Tirmidzi. Riwayat kedua ini dishahihkan oleh Asy-Syaikh
Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih bab : At-Tarhib min Ifthar Ramadhan
(II/378)
Dikutip dari http://www.assalafy.org/mahad/?p=240, judul asli Fadhilah Shaum Ramadhan ( 2 ))
Sumber:
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=1354. Penulis:
Redaksi Ma’had As Salafy, Hikmah & Fadhilah (Keutamaan) Shaum