DAFTAR LABELKU (klik saja jangan ragu-ragu)

Minggu, 04 November 2012

USED TO DAN BE USED TO


USED TO atau BE USED TO sama maknanya dengan BE ACCUSTOMED TO, yaitu: “terbiasa/biasa“, sedangkan GET USED TO = BECOME ACCUSTOMED TO, yaitu: “menjadi terbiasa“. Perbedaannya terletak pada pola penggunaannya (grammar).
S + USED TO + VERB1…
S + BE USED TO + GERUND/NOUN…
S + BE ACCUSTOMED TO + GERUND/NOUN …
S + GET USED TO + GERUND/NOUN…
S + BECOME ACCUSTOMED TO + GERUND/NOUN…
Contoh:
1. We are used to living in poverty.
2. We are accustomed to living in poverty.
Kalimat 1&2 ini bermakna sama, yaitu: “Kami (sekarang ini) terbiasa hidup dalam kemiskinan”.
3. I used to swim on the river when I was young.
4. I was used to swimming on the river when I was young.
5. I was accustomed to swimming on the river when I was young.
Kalimat 3,4, dan 5 bermakna sama, yaitu : Aku terbiasa/biasa berenang di sungai ketika aku kecil.
6. He has to get used to living in poverty.
7. He has to become accustomed to living in poverty.
Kalimat 6&7 ini bermakna sama, yaitu: Misalnya, dia dulu kaya dan selalu hidup dalam kemewahan, tapi karena jatuh miskin, “dia harus menjadi terbiasa (membiasakan diri) hidup dalam kemiskinan“.
8. I didn’t like the winter at first, but later on I got used to it.
9. I didn’t like the winter at first, but later on I became accustomed to it.
Kalimat 8&9 bermakna sama, yaitu: “Pada awalnya aku tidak suka musim dingin, tapi kemudian aku menjadi terbiasa dengan musim dingin itu”

KEJUJURAN JALAN KESEJAHTERAN oleh MaSukatno Giri

Walau berat, walau belum sempurna. Kita seharusnya  berusaha  jujur. Para ortu berpesan “JUJUR pasti  MUJUR”. Sebetulnya kata-kata  itu sering kita dengar. Namun, bagi kita  yang ragu  atas kebenaran Allah s.w.t mengatakan “JUJUR  berarti HANCUR”. Kejujuran  adalah bahasa sederhana. Kejujuran adalah jalan terpendek menuju kesejahteraan, itulah  pembelajaran yang kuperoleh di keluarga , di masyarakat, dan dari berbagai buku rujukan.

“Mumpung masih muda mari berpegang kejujuran,  jangan membuat masalah untuk  masa depan dengan kebohongan. Jangan menukarkan kejujuran dengan kesenangan sementara” Itulah kata-kata bijak dari MarioTeguh.

Entah berapa persen, mungkin di antara kita pernah bohong. Namun, bagi kita yang sudah sadar arti masa depan,  memang sudah waktunya untuk berhenti berbohong. Mario Teguh menambahkan bahwa jangan tukar Tuhan dengan harga murah melalui ketidakjujuran.

Merasa bersalah  pernah bohong walau hanyasekali menunjukkan bahwa  akal kita   termasuk  yang sensitif  terhadap kebenaran. Kita dinasihatkan oleh para rasul supaya iringi perbuatan burukmu dengan kebaikan dan kejujuran niscaya  keburukan akan terhapus.

Bila ketidakjujuraan  berkali-kali dipelihara, berarti kita menggadaikan masa depan kita di dunia dan di akherat. Terlebih lagi bagi kita yang memperoleh rezeki buah dari bohong lalu hasilnya untuk makan anak-bini , wah berarti kita memberi makan api untuk masa depan mereka. Semoga kita mau merenung untuk intropeksi khususnya bagi penulis sendiri.


Sabtu, 03 November 2012

MENJADI “GURU KISINAN” Oleh MasSukatno Giri


 Aku merasa kesulitan mencari padanan kata “kisinan” dalam Bahasa Indonesia. Namun, aku mau bercerita bahwa aku pernah dibuat isin atau malu oleh seorang guru. Inti kisahnya aku dipermalukan di depan orang banyak dengan perkataan yang tidak enak di dengar.  Kisahku  itu ternyata sulit terlupakan.

Memang. waktu aku remaja aku termasuk siswa yang biasa saja. Menurut ukuran umum, aku termasuk siswa yang agak terlihat kumuh, kurang menarik, dan sangat kurus. Maklum aku kurang gizi. Kayaknya tidak ada garis-garis di wajahku bahwa aku layak menjadi guru suatu saat  nanti.
15 tahun kemudian. Aku menjadi guru, suatu pekerjaan  yang dulu  bukan merupakan obsesiku.  Jujur saja, karena  keminderan  aku tidak berani  memiliki obsesi.   Sejak dulu, aku  sudah menyimpulkan  bahwa hidup itu dijalani saja dengan doa, usaha positif dan pantang menyerah.  Pokoknya, aku yang penting  tidak bermalas-malasan ,  aku menanti dan menanti  masa depan entah  aku mau jadi apa.
Di suatu kesempatan, aku bertemu dengan guruku yang membuat aku sempat kisinan waktu remaja itu. Barangkali dia sudah lupa atau mungkin tidak sadar bahwa dia kurang bijak. "Mas piye kabare, saiki wis dadi guru b. inggris yo? tulung anakku diajari   yo!, satu jame brp aku manut" Itulah  kalimat p guruku yang sudah terlihat tua.  Aku menyanggupi untuk membantu mengajari anaknya .Kita memang sudah  lama tidak ketemu bahkan lebih dari 10 tahun.

Aku sekarang telah  menjadi guru, namun aku telah  mendapat pembelajaran luar biasa dari guruku. Aku akan berusaha  membuat para siswa  bahagia, lebih PD, tidak merasa direndahkan , dan aku berusaha menganggap mereka saudara.  Menjadi guru yang kisinan dan membuat  siswa isin atau malu, menurutku  tidak tepat. Mungkin suatu saat  nanti aku mungkin juga  membutuhkan mereka.

Kamis, 01 November 2012

KODE ETIK GURU INDONESIA (KEGI)


Kode etik guru yang mulai ditegakkan pada 2013, berisi 70 panduan etika dan norma bagi guru dalam menjalankan profesinya sebagai pendidik. Nah, untuk Anda para guru yang ingin mengetahui Kode Etik Guru Indonesia selengkapnya, bisa membaca selengkapnya di sini.

Semua guru dapat menerapkan KEGI ini, meskipun KEGI lahir dari organisasi profesi guru PGRI. Sebab, kode etik profesi memang harus dilahirkan dari organisasi profesi. Selain itu, guru yang prefosional juga harus mengikuti ujian kompetensi guru secara online.

Panduan Kode Etik Guru Indonesia diatas mengatur tujuh hubungan guru dengan peserta didik, orang tua/wali murid, masyarakat, sekolah dan rekan sejawat, profesinya, organisasi profesi gurunya, dan pemerintah.

Sebagai konsekuensi logis dari tugas yang diembannya, guru senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswanya. Dalam konteks tugas, hubungan diantara keduanya adalah hubungan profesional, yang diikat  oleh kode etik.  Berikut ini disajikan nilai-nilai dasar dan operasional yang membingkai sikap dan perilaku etik  guru dalam berhubungan dengan siswa, sebagaimana tertuang dalam rumusan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI):
  1. Guru berperilaku secara profesional dalam melaksanakan tugas mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran.
  2. Guru membimbing peserta didik untuk memahami, menghayati dan mengamalkan hak-hak dan kewajiban sebagai individu, warga sekolah, dan anggota masyarakat.
  3. Guru mengetahui bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik secara individual dan masing-masingnya berhak atas layanan pembelajaran.
  4. Guru menghimpun informasi tentang peserta didik dan menggunakannya untuk kepentingan proses kependidikan.
  5. Guru secara perseorangan atau bersama-sama secara terus-menerus berusaha menciptakan, memelihara, dan mengembangkan suasana sekolah yang menyenangkan sebagai lingkungan belajar yang efektif dan efisien bagi peserta didik.
  6. Guru menjalin hubungan dengan peserta didik yang dilandasi rasa kasih sayang dan menghindarkan diri dari tindak kekerasan fisik yang di luar batas kaidah pendidikan.
  7. Guru berusaha secara manusiawi untuk mencegah setiap gangguan yang dapat mempengaruhi perkembangan negatif bagi peserta didik.
  8. Guru secara langsung mencurahkan usaha-usaha profesionalnya untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan keseluruhan kepribadiannya, termasuk kemampuannya untuk berkarya.
  9. Guru menjunjung tinggi harga diri, integritas, dan tidak sekali-kali merendahkan martabat peserta didiknya.
  10. Guru bertindak dan memandang semua tindakan peserta didiknya secara adil.
  11. Guru berperilaku taat asas kepada hukum dan menjunjung tinggi kebutuhan dan hak-hak peserta didiknya.
  12. Guru terpanggil hati nurani dan moralnya untuk secara tekun dan penuh perhatian bagi pertumbuhan dan perkembangan peserta didiknya.
  13. Guru membuat usaha-usaha yang rasional untuk melindungi peserta didiknya dari kondisi-kondisi yang menghambat proses belajar,  menimbulkan gangguan kesehatan, dan keamanan.
  14. Guru tidak boleh membuka rahasia pribadi peserta didiknya untuk alasan-alasan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pendidikan, hukum, kesehatan, dan kemanusiaan.
  15. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesionalnya kepada peserta didik dengan cara-cara yang melanggar norma sosial, kebudayaan, moral, dan agama.
  16. Guru tidak boleh menggunakan hubungan dan tindakan profesional dengan peserta didiknya untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.