Kenyataan saat ini, mencari sekolah sangat sulit. Masuk universitas
pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari
lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang “salah kamar”. Sudah
sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan
yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah.
Demikianlah, diterima di PTN masalah,
tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana
saja. Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi
sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun,
sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya
hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih
menjadi masalah hari ini. Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama
sulitnya.
Mengapa hanya soal memindahkan anak
karena pindah rumah ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar?
Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah,
pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari
kerja susahnya minta ampun. Lengkap sudah masalah kita.
Kalau kita sepakat sekolah adalah
jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa
dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah
untuk apa di negeri yang serba sulit ini?
Kesadaran Membangun SDM
Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat
berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad sadar betul pentingnya
pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2
dan S3 ke berbagai negara maju. hal serupa juga dilakukan China. Tidak
sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu sudah siap mengisi
perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara
itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan
birokrasinya.
Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan
dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar
kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak
mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai
berubah.
Di negeri Belanda saya sempat
terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus
begitu mudah menerima mahasiswa. ”Semua warga negara punya hak untuk
mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami
terima,” ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas
negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat.
Lantas bagaimana membangun bangsa dari
lulusan yang asal masuk ini? ”Mudah saja,” ujar dekan itu. ”Kita
potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi
sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua
orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan
berbeda,”ujarnya.
Hal senada juga saya saksikan hari-hari
ini di New Zealand. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan
sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup
tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah.
Yang lebih mengejutkan saya adalah saat
memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di New Zealand. Sekolah
yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam sepuluh
besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan
waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu masing-masing,
ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana
pelajaran diajarkan. Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun
ternyata begitu mudah.
Sudah lama saya gelisah dengan metode
pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan
guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata
diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah
terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek. Potensi anak
hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengkopi
isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu muncul kalau sekolah tak
mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.
.
Kalau lulusannya mudah diterima di
sekolah yang baik di luar negri, mungkin guru-guru kita akan menganggap
sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak
demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka
jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan
mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa
tes. Apa yang membuat demikian? “undang-undang menjamin semua orang
punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di New Zealand.
Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya? ”itu
ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putera sulung saya yang
kuliah di Auckland University tahun ketiga. Maksudnya, test masuk tetap
ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.
Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory)
yaitu matematika dan bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun
mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh
bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik
tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak,
khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka
hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum
tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan
secara kognitif semata.
Selebihnya, hanya ada empat mata
pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan
masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi
dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib
menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom
wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin
menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan
anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di
sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM).
Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat
kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super. Seorang
lulusan SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi,
ilmu kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia,
Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi,
ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali
bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan,stressful,
banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus
diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program
S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang
digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita
bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu
program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada
yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.
Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga
demikian tapi tak ada masalah kok! Di mana masalahnya? Masalahnya,
saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah merubah banyak hal,
anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan
banyak pilihan, namun datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan
hanya dari guru, tapi dari segala resources. Ilmu belajar
menjari lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu
diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa
lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut
memberikan bagaimana hidup tanpa guru, Lifelong learning.
Saya saksikan metode belajar telah jauh
berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan,
“Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak sepuluh tahun
yang lalu. Makanya sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak
pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak
bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode diperbaharui, fasilitas baru
dibangun,” ujar seorang guru.
Masih banyak yang ingin saya diskusikan,
namun sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita
menciptakan sekolah, dan untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita
bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita
mendapatkan masa depannya yang lebih baik.
Rhenald Kasali
Ketua Program MMU