Mas Guru berbagi motivasi terutama untuk siswanya di SMAN 1 Girimarto
Senin, 29 April 2013
Kilas Balik Tentang Bukuku "10 KUNCI SUKSES SEJATI" Oleh Maskatno Giri
Impianku bertahaun-tahun, akhirnya menjadi kenyataan. Salah satu impian lamaku adalah menghasilkan karya tulisan yang bermanfaat, syukur-syukur menghasilkan uang dan mencerahkan. Di akhir April 2013, proses pencetaan buku perdanaku dengan judul 10 KUNCI SUKSES SEJATI sudah selesai. Buku ini tinggal proses penjilidan.
Saya masih ingat beberapa bulan lalu, salah satu bos percetakan di Solo, beliau juga seorang ustadz menawarkan kepadaku untuk mencetak kumpulan tulisanku dari blog. juga dari buku harianku untuk diterbitkan. Alhamdulillah, aku bahagia sekali. Beliau percaya kepadaku bahwa tulisanku layak untuk diterbitkan. Setelah melalui proses kontemplasi, akhirnya kutemukan ide membuat judul buku "10 KUNCI SUKSES SEJATI". Ide judul ini muncul setelah aku sering ke toko buku Gramedia dan menemukan buku 8 TO BE GREAT. Buku karangan Richard St. John ini sangat bagus, beliau menawarkan 8 sifat atau kunci sukses Menurutku buku ini sangat bagus karena memang International Best seller, tapi buku ini terlalu tebal, mahal dan kurang lengkap.
Buku 8 To Be Great sangat membantuku untuk memotivasi diriku sendiri dan mau menulis buku dengan sudut pandang yang berbeda. Ada perbedaan 8 To be Great dibanding bukuku "10 Kunci Sukses Sejati" , bukuku jelas lebih murah , lebih sedrhana, dan lebih berdasar pada Al Qur'an dan As Sunnah Insya Allah.
Sangat ribet, memakan waktu , memakan biaya dan tenaga, itulah proses pembuatan buku. Dari proses penulisan, pengeditan, revisi, revisi lagi, wah pokoknya ribet, ternyata masih saja ditemukan salah ketik, salah nulis ayat dll.
Bagi para pembaca baik di blog maupun pembaca bukuku, mungkin tidak membayangkan bahwa membuat buku itu sangat sulit. Kalau cuma membaca mudah saja, mengkritisi juga sangat mudah. Namun, bagi penulis bila sudah selesai berkarya, lalu karyannya bermanfaat, syukur-syukur menghasilkan uang tentu kebahagiaan luar biasa didapat. Demikian juga si pemilik percetakan, dia mendapat bagian yang lebih banyak. Aplagi kalau bukunya laris, dia akan tersenyum manis.
Semoga buku 10 KUNCI SUKSES SEJATI menjadi buku laris, karena buku ini diniatkan positif. Pendapatan dari buku ini lebih dari jatah kewajiban zakat, masih ditambah untuk kepentingn fakir miskin, Sekali lagi niat positif Insya Allah memberkahi, demikian juga untuk pemilik percetakan BAROKAH MANDIRI , beliau Ustadz luar biasa Khoirul Anam asli dari Kediri makin kaya dan berkah. Rezekinya tidak untuk dirinya sendiri tapi untuk para puteranya yang berjumlah 5 anak.
Minggu, 28 April 2013
Mendambakan “Home Sweet Home” Oleh: Maskatno Giri
Home sweet home merupakan ungkapan yang memiliki kedekatan arti dengan baitii jannatii atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan “rumahku surgaku”. Kita sering mendengar ungkapan “rumahku surgaku” yang artinya tidak ada tempat yang paling nyaman selain rumahku. Dalam ungkapan tersebut bisa difahami bahwa bentuk fisik rumah tidaklah begitu penting. Rumah besar–kecil, mewah–sederhana, berdinding kayu atau tembok, berpekarangan atau saling berhimpitan dengan dinding tetangga, semuanya tidak mengurangi makna surga atau istana yang identik dengan kesan indah nyaman, dan penuh kebahagiaan.
Rumah yang bernuansa surga adalah harapan bagi setiap manusia yang berusaha memilki jiwa-jiwa mulia laksana malaikat bukan setan yang terlaknat. Dari kumpulan jiwa-jiwa mulia yang selalu dekat dengan Tuhannya akhirnya terbentuklah rumah tangga yang penuh berkah. Namun, sebaliknya rumah tangga yang jauh dari keberkahan-Nya laksana neraka yang dikenal dengan “broken home”.
Peran Rumah
Rumah bukan saja sekedar bangunan untuk tempat berteduh, namun rumah sebagai tempat penghidupan keluarga untuk tumbuh dan berkembang dalam artian yang lebih luas. Kalau diibaratkan rumah itu sebagai makhluk, dia mampu untuk memberdayakan dan juga sebaliknya dia juga mampu menyengsarakan penghuninya. Peran rumah setidak-tidaknya ada lima yang disingkat dengan 5 M yaitu: mengukir sejarah hidup, melambangkan perjuangan hidup, membentuk budaya, membangun komunitas belajar, dan meningkatkan ibadah. Berikut ini penjabaran singkat mengenai peran rumah bagi penghuninya.
Mengukir sejarah hidup. Rumah adalah tempat kita berkumpul bersama keluarga, bersama orang-orang yang kita cintai dan yang mencintai kita. Rumah seringkali merupakan tempat kita atau anak-anak kita lahir, tumbuh besar dan dewasa. Rumah tak ubahnya album memori atau catatan harian yang menyimpan banyak kenangan atas berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya. Apalagi jika rumah tersebut adalah rumah yang diwarisi secara turun temurun. tentunya kesan mendalam lebih terasa. Mungkin tidak ada yang menduga sebelumnya bahwa salah satu penghuni rumah tersebut tumbuh menjadi orang besar dan berguna, atau lebih jauh lagi karena amal ibadah dari para penghuni menghantarkannya masuk surga.
Melambangkan perjuangan hidup. Rumah dengan segala bentuk dan isinya juga merupakan simbol perjuangan baik fisik maupun non fisik. Sebagai contoh perjuangan fisik, berkat kerja keras untuk menjemput rejeki dari Allah SWT, pemiliknya mampu membangun pondasi rumah, melengkapi bagian pagar, mengisinya dengan benda-benda pelengkap kebutuhan kita seperti lemari, kursi, dan lainnya. Sedangkan perjuangan non fisik mencakup pembentukan mental spiritual yang mencakup keimanan, sehingga kebaikan akhlak terhadap Tuhannya dan sesama manusia terbentuk. Dari perjuangan yang bersifat non fisik, akhirnya menjadikan penghuninya termasuk pribadi terpuji di mata Allah SWT.
Membentuk budaya. Rumah kita memiliki ukuran, bentuk, dan gaya tertentu. Rumah dan penataannya selain dipengaruhi oleh ekonomi dipengaruhi juga oleh budaya yang dikembangkan oleh penghuninya, misalnya apakah mereka terbiasa budaya Islami apa tidak, bersih dan teratur apa tidak, apakah penghuninya bersifat materialistis apa tidak, semuanya bisa terlihat. Budaya yang sudah terbentuk dalam rumah dipengaruhi oleh kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk dari hari ke hari. Kebiasaan-kebiasaan akan terbentuk selaras dari sisi ide, impian, dan cita-cita bersama dari para penghuninya terutama dari orangtuanya.
Membangun komunitas belajar. Komunitas belajar yang efektif bisa berawal dari rumah, jika rumah dipimpin oleh kepala rumah tangga yang sadar pentingnya belajar. Rumah yang layak untuk belajar adalah rumah yang menyediakan berbagai sarana pembelajaran misalnya buku-buku yang bermanfaat dan ruangan yang memadai untuk sarana belajar. Keberhasilan pembelajaran di rumah banyak ditentukan oleh gurunya dalam hal ini kedua orangtuanya. Bimbingan secara intensif di dalam rumah menjadikan para putra benar-benar telah siap mendapat pembelajaran formal di sekolah.
Meningkatkan ibadah. Tidak diciptakan jin dan manusia selain untuk beribadah kepada Allah SWT, itulah salah satu misi diciptakan alam raya ini. Apapun profesi manusia baik penguasa maupun rakyat biasa, mereka berkewajiban beribadah kepada-Nya. Terwujudnya kesadaran untuk beribadah di rumah merupakan tanggung jawab awal dari kepala rumah tangga. Demikian juga bila para penghuni rumah jauh dari nilai-nilai ibadah, pertanggungjawaban ada pada orangtuanya. Mestinya sebagai orangtua memiliki misi untuk selalu berlomba meningkatkan kualitas ibadah kepada Allah SWT.
Modal Utama Orangtua
Terciptanya home sweet home sangat ditentukan oleh peran kepala rumah tangga. Suasana “surga” di dalam rumah dibutuhkan modal, sebagai kepala rumah tangga paling bertanggung jawab atas keberadaan modal tersebut. Lalu modal apa yang harus dimiliki untuk menciptakan “rumahku surgaku”?
Banyaknya harta benda bukan merupakan modal utama untuk meraih kebahagiaan rumah tangga, modal non materi lebih utama ketimbang materi. Modal utama yang harus dimiliki kepala rumah tangga antara lain adalah hope, organizing skill, learning willingness, inventing ability , spiritualistic quotien , training ability, and creativity yang disingkat dengan (HOLISTIC). Hope yang diartikan sebagai pengharapan yang disertai doa dan usaha. Dalam hal ini dianalogikan bahwa pengharapan apa yang kita tanam akan ada hasil yang akan kita petik, atau dalam falsafah Jawa sapa nandur bakale ngunduh.
Organizing skill yaitu keterampilan dalam mengatur dan mengendalikan seluruh penghuni rumah. Jadi seluruh penghuni rumah baik anak maupun istri tidak berjalan sendiri-sendiri tanpa kendali. Learning willingness yaitu kemauan mengajak, membelajarkan seluruh penghuni rumah untuk terus-menerus belajar, dalam hal ini belajar dalam artian yang lebih luas, belajar untuk saling memahami, belajar menjadi lebih baik, dan sebagainya.
Inventing and evaluating ability yaitu kemampuan untuk menemukan sesuatu yang baru dan intropeksi diri yang bermanfaat bagi bekal dalam menjalani hidup yang lebih baik. Spiritualistic quotient yaitu kecerdasan ruhani yang berhubungan dengan keimanan terhadap keberadaan Sang Pencipta, sehingga semua penghuni rumah baik anak maupun istri diajak senantiasa sadar untuk hidup bermakna melalui ibadah dan rasa syukur kepada Allah SWT. Training ability yaitu kemampuan untuk melatih diri sendiri dan orang lain mampu berubah ke arah yang lebih positif. Yang terakhir, creativity yaitu kemampuan berkreasi atau memiliki kaya daya cipta atau ide dalam menjalani kehidupan dan pemecahan masalah.
Perlu difahami bahwa kita semua mempunyai hak yang sama untuk hidup bahagia di dalam rumah tangga. Dengan memiliki sifat-sifat mulia, kebahagiaan akan bisa diraih. Kesadaran atas kewajiban terhadap orang lain maupun Tuhan yakni Allah SWT merupakan modal utama untuk menikmati “rumahku surgaku”.
*Telah dimuat di RESPON edisi 253 / XXV 20 Juni – 20 Juli 2011.
Jumat, 26 April 2013
Berbagi Untuk Meraih Bahagia sejati oleh Maskatno Giri
Kalau mau mendapat kebahagiaan sejati salah satunya rela berbagi, itulah nasihat yang kuperoleh dari guruku beberapa tahun yang lalu dan kuyakini kebenaranya sampai saat ini. Berbagi motivasi lewat blog adalh salah satu hobiku. Sebab, jika aku berbagi uang ternyata aku tidak lebih kaya yang dikira orang. Hanya sedekah tulisan motivasi yang bisa kupersembahkan.
Hampir setiap hari aku membuka blog pribadiku. Minimal aku bisa melihat adakah kunjungan ke blogku hari ini? Eh ternyata blog ini lumayan ramai pengunjung. Beberapa bulan lalu pengunjung blogku masih kurang dari 50 kunjungan setiap hari , tapi saat ini sudah seratusan lebih pengunjung yang melihat-lihat dan membaca tulisan di blogku. Data terakhirn blogku sudah dikunjungi sampai 30 ribu lebih. Setiap peningkatan jumlah pengunjung, tanpa sengaja aku semakin merasa bahagia. Mungkin ini perasaan positif rezeki dari Allah bahwa niat positif bisa mengundang rezedki positif pula. Rezeki positif itu adalh bahagia tiada tara, ooh ternyata aku dilahirkan di dunia ini tidak sia-sia.
Aku semakin mantap bahwa berbagi bisa dijadikan jalan untuk meraih bahagia sejati. Benar juga nasihat dari guruku tercinta. Ya Allah berilah kebahagian pula bagi para guru-sahabat yang telah menjadikan aku lebih semangat dan bahagia.
Hampir setiap hari aku membuka blog pribadiku. Minimal aku bisa melihat adakah kunjungan ke blogku hari ini? Eh ternyata blog ini lumayan ramai pengunjung. Beberapa bulan lalu pengunjung blogku masih kurang dari 50 kunjungan setiap hari , tapi saat ini sudah seratusan lebih pengunjung yang melihat-lihat dan membaca tulisan di blogku. Data terakhirn blogku sudah dikunjungi sampai 30 ribu lebih. Setiap peningkatan jumlah pengunjung, tanpa sengaja aku semakin merasa bahagia. Mungkin ini perasaan positif rezeki dari Allah bahwa niat positif bisa mengundang rezedki positif pula. Rezeki positif itu adalh bahagia tiada tara, ooh ternyata aku dilahirkan di dunia ini tidak sia-sia.
Aku semakin mantap bahwa berbagi bisa dijadikan jalan untuk meraih bahagia sejati. Benar juga nasihat dari guruku tercinta. Ya Allah berilah kebahagian pula bagi para guru-sahabat yang telah menjadikan aku lebih semangat dan bahagia.
Kamis, 25 April 2013
Belajar Menjadi Pribadi Layak Diteladani
Tak ada alasan untuk semakin lemah. Walau usia kita semakin tua, apakah perlu kita semakin lemah dalam karya, beramal dan tindakan positif lainnya?
Semakin tua berarti tanggung jawab kita juga semakin banyak, karena kita tidak hidup sebagai pribadi, tapi kita harus layak menjadi teladan untuk anak cucu.
Siapa lagi kalau bukan kita sendiri yang seharusnya bisa dijadikan teladan. generasi kita adalah tanggung jawab utama kita. Krisis keteladanan sebagai akibat dari para orang tua yang kurang layak dijadikan teladan. Kalaupun ada teladan, tapi jumlahnya sangat terbatas. Padahal kita tahu bahwa, jumlah generasi muda kita sangat banyak. Mau diarahkan kemana mereka? Tidakkah kita takut generasi negeri ini menjadi pribadi rusak?
Untuk kita yang sudah semakin tua, idelanya semakin sadar bahwa kita tidak mungkin hidup selamanya, dan kita tidak mungkin selamamya muda. Berupaya menyiakan diri menjadi pribadi yang layak diteladani adalah tindakan mulia, daripada menjadi sumber masalah yang membikin resah. Sebagaimana rasulullah saw, beliau adalah sosok uswatun hasanah atau suri teladan yang sangat baik dan mulia.
Selasa, 23 April 2013
Pembelajaran Inkuiri
A. Konsep
Dasar
Pembelajaran inkuiri adalah pembelajaran yang menekankan kepada
proses mencari dan menemukan. Materi pelajaran tidak diberikan secara langsung.ngkan
guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing siswa untuk belajar.
Pembelajaran inkuiri merupakan rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan
pada proses berpikir kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri
jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu sendiri
biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara guru dan siswa. Pembelajaran ini
sering juga dinamakan pembelajaran heuristic, yang berasal dari bahasa
Yunani, yaitu heuriskein yang berarti “saya menemukan:.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi-kondisi umum
yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1)
aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang
mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji
kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses
pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana
lazimnya dalam pengujian hipotesis.
B. Ciri-ciri Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran
inkuiri memiliki beberapa ciri, di antaranya:
Pertama, pembelajaran inkuiri menekankan kepada aktivitas
siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan. Artinya, pada pembelajaran
inkuiri menempatkan siswa sebagai subjek belajar. Dalam proses pembelajaran,
siswa tidak hanya berperan sebagai penerima materi pelajaran melalui penjelasan
guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari
materi pelajaran itu sendiri.
Kedua, seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan
untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan,
sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan
demikian, pada pembelajaran inkuiri menempatkan guru bukan sebagai satu-satunya
sumber belajar, tetapi lebih diposisikan sebagai fasilitator dan
motivator belajar siswa. Aktivitas pembelajaran biasanya dilakukan melalui
proses tanya jawab antara guru dan siswa. Karena itu kemampuan guru dalam
menggunakan teknik bertanya merupakan syarat utama dalam melakukan inkuiri.
Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai
konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat
membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi
kerja kelompok.
Ketiga, tujuan dari pembelajaran inkuiri adalah
mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis, dan kritis, atau
mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan
demikian, dalam pembelajaran pembelajaran inkuiri siswa tidak hanya dituntut
untuk menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat
menggunakan potensi yang dimilikinya. Manusia yang hanya menguasai pelajaran
belum tentu dapat mengembangkan kemampuan berpikir secara optimal. Sebaliknya,
siswa akan dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya manakala ia bisa menguasai
materi pelajaran.
C. Prinsip-Prinsip Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri mengacu pada prinsip-prinsip
berikut ini:
- Berorientasi pada Pengembangan Intelektual. Tujuan utama dari pembelajaran inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar.
- Prinsip Interaksi. Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antara siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan. Pembelajaran sebagai proses interaksi berarti menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar, tetapi sebagai pengatur lingkungan atau pengatur interaksi itu sendiri.
- Prinsip Bertanya. Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan pembelajaran ini adalah guru sebagai penanya. Sebab, kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir. Dalam hal ini, kemampuan guru untuk bertanya dalam setiap langkah inkuiri sangat diperlukan. Di samping itu, pada pembelajaran ini juga perlu dikembangkan sikap kritis siswa dengan selalu bertanya dan mempertanyakan berbagai fenomena yang sedang dipelajarinya.
- Prinsip Belajar untuk Berpikir. Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (learning how to think), yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak. Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara maksimal.
- Prinsip Keterbukaan. Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang menyediakan berbagai kemungkinan sebagai hipotesis yang harus dibuktikan kebenarannya. Tugas guru adalah menyediakan ruang untuk memberikan kesempatan kepada siswa mengembangkan hipotesis dan secara terbuka membuktikan kebenaran hipotesis yang diajukannya.
D. Langkah-Langkah Pelaksanaan Pembelajaran
Inkuiri
Proses pembelajaran inkuiri dilakukan melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:
- Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
- Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan hipotesis.
- Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
- Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
- Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
E, Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan pembelajaran yang
banyak dianjurkan, karena memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:
- Pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, sehingga pembelajaran melalui pembelajaran ini dianggap jauh lebih bermakna.
- Pembelajaran ini dapat memberikan ruang kepada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka.
- Pembelajaran ini merupakan strategi yang dianggap sesuai dengan perkembangan psikologi belajar modern yang menganggap belajar adalah proses perubahan tingkah laku berkat adanya pengalaman.
- Keuntungan lain adalah dapat melayani kebutuhan siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Artinya, siswa yang memiliki kemampuan belajar bagus tidak akan terhambat oleh siswa yang lemah dalam belajar.
Di samping memiliki keunggulan, pembelajaran ini juga
mempunyai kelemahan, di antaranya:
- Sulit mengontrol kegiatan dan keberhasilan siswa.
- Sulit dalam merencanakan pembelajaran oleh karena terbentur dengan kebiasaan siswa dalam belajar.
- Kadang-kadang dalam mengimplementasikannya, memerlukan waktu yang panjang sehingga sering guru sulit menyesuaikannya dengan waktu yang telah ditentukan.
- Selama kriteria keberhasiJan belajar ditentukan oleh kemampuan siswa menguasai materi pelajaran, maka strategi ini tampaknya akan sulit diimplementasikan.
Perbedaan penggunaan in spite of, despite, although dan even though
Perbedaan in
spite of, despite, although dan even though. Keempat
kata ini digunakan untuk menunjukkan pertentangan (bisa diartikan “walaupun”)
tetapi ada perbedaan dalam struktur dimana kata-kata ini terdapat.
In spite of
dan Despite
Setelah in
spite of dan despite kita menggunakan noun atau pronoun.
- We enjoyed our picnic in spite of the rain
- Despite the pain in his foot he completed the marathon
- Despite having all the necessary requirements, they didn’t offer her the job.
Perlu
diingat bahwa gerund (bentuk -ing) adalah bentuk noun dari sebuah kata kerja
(verb). Jadi pada kalimat terakhir di atas despite juga diikuti oleh
noun.
Yang
membedakan antara in spite of dan despite hanya
“of”. Despite tidak menggunakan of. Kalimat berikut salah:
- Despite
ofthe bad day, there was many people at the match.
Although
Setelah although
kita menggunakan sebuah subjek dan sebuah kata kerja (verb).
- We enjoyed our picnic although it rained all day.
- Although she studied very hard, she didn’t manage to pass the exam.
- The picnic was great although the service wasn’t very nice.
In spite of dan despite boleh digunakan
bersama dengan sebuah subjek dan sebuah kata kerja jika kita menyertakan frase
“the fact that“.
- In spite of the fact that she studied very hard, she didn’t manage to pass the exam.
- Despite the fact that she studied very hard, she didn’t manage to pass the exam.
Even though
Even though sama struktur penggunaannya dengan although,
hanya saja even though lebih kuat.
- I decided to buy the car even though we didn’t really have enough money
- He keep making that annoying noise even though I’ve asked him to stop twice.
Seperti although,
even though juga diikuti dengan sebuah subjek dan sebuah kata kerja
(verba).
President Obama’s Speech in Jakarta, Indonesia
THE WHITE HOUSE
Office of the Press Secretary
For Immediate Release
November 10, 2010
November 10, 2010
REMARKS BY THE PRESIDENT
IN JAKARTA
IN JAKARTA
University of Indonesia
Jakarta, Indonesia
Jakarta, Indonesia
9:30 A.M. WIT
THE PRESIDENT: Terima
kasih. Terima kasih, thank you so much, thank you, everybody. Selamat
pagi. (Applause.) It is wonderful to be here at the University
of Indonesia. To the faculty and the staff and the students, and to Dr.
Gumilar Rusliwa Somantri, thank you so much for your hospitality.
(Applause.)
Assalamualaikum
dan salam sejahtera. Thank you for this wonderful welcome. Thank you to
the people of Jakarta and thank you to the people of Indonesia.
Pulang
kampung nih.
(Applause.) I am so glad that I made it back to Indonesia and that
Michelle was able to join me. We had a couple of false starts this year,
but I was determined to visit a country that’s meant so much to me. And
unfortunately, this visit is too short, but I look forward to coming back a
year from now when Indonesia hosts the East Asia Summit.
(Applause.)
Before I go any further,
I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians
who are affected by the recent tsunami and the volcanic eruptions --
particularly those who’ve lost loved ones, and those who’ve been
displaced. And I want you all to know that as always, the United States
stands with Indonesia in responding to natural disasters, and we are pleased to
be able to help as needed. As neighbors help neighbors and families take
in the displaced, I know that the strength and the resilience of the Indonesian
people will pull you through once more.
Let me begin with a
simple statement: Indonesia bagian dari didi saya.
(Applause.) I first came to this country when my mother married an
Indonesian named Lolo Soetoro. And as a young boy I was -- as a young boy
I was coming to a different world. But the people of Indonesia quickly
made me feel at home.
Jakarta -- now, Jakarta
looked very different in those days. The city was filled with buildings
that were no more than a few stories tall. This was back in 1967, ’68 --
most of you weren’t born yet. (Laughter.) The Hotel Indonesia was
one of the few high rises, and there was just one big department store called Sarinah.
That was it. (Applause.) Betchaks and bemos, that’s
how you got around. They outnumbered automobiles in those days. And
you didn’t have all the big highways that you have today. Most of them
gave way to unpaved roads and the kampongs.
So we moved to Menteng
Dalam, where -- (applause) -- hey, some folks from Menteng Dalam
right here. (Applause.) And we lived in a small house. We had
a mango tree out front. And I learned to love Indonesia while flying
kites and running along the paddy fields and catching dragonflies, buying satay
and baso from the street vendors. (Applause.) I still
remember the call of the vendors. Satay! (Laughter.) I
remember that. Baso! (Laughter.) But most of all, I
remember the people -- the old men and women who welcomed us with smiles; the
children who made a foreign child feel like a neighbor and a friend; and the
teachers who helped me learn about this country.
Because Indonesia is
made up of thousands of islands, and hundreds of languages, and people from
scores of regions and ethnic groups, my time here helped me appreciate the
common humanity of all people. And while my stepfather, like most
Indonesians, was raised a Muslim, he firmly believed that all religions were
worthy of respect. And in this way -- (applause) -- in this way he
reflected the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s
Constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring
characteristics. (Applause.)
Now, I stayed here for
four years -- a time that helped shape my childhood; a time that saw the birth
of my wonderful sister, Maya; a time that made such an impression on my mother
that she kept returning to Indonesia over the next 20 years to live and to work
and to travel -- and to pursue her passion of promoting opportunity in
Indonesia’s villages, especially opportunity for women and for girls. And
I was so honored -- (applause) -- I was so honored when President Yudhoyono
last night at the state dinner presented an award on behalf of my mother, recognizing
the work that she did. And she would have been so proud, because my
mother held Indonesia and its people very close to her heart for her entire
life. (Applause.)
So much has changed in
the four decades since I boarded a plane to move back to Hawaii. If you
asked me -- or any of my schoolmates who knew me back then -- I don’t think any
of us could have anticipated that one day I would come back to Jakarta as the
President of the United States. (Applause.) And few could have
anticipated the remarkable story of Indonesia over these last four decades.
The Jakarta that I once
knew has grown into a teeming city of nearly 10 million, with skyscrapers that
dwarf the Hotel Indonesia, and thriving centers of culture and of
commerce. While my Indonesian friends and I used to run in fields with
water buffalo and goats -- (laughter) -- a new generation of Indonesians is
among the most wired in the world -- connected through cell phones and social
networks. And while Indonesia as a young nation focused inward, a growing
Indonesia now plays a key role in the Asia Pacific and in the global
economy. (Applause.)
Now, this change also
extends to politics. When my stepfather was a boy, he watched his own
father and older brother leave home to fight and die in the struggle for
Indonesian independence. And I’m happy to be here on Heroes Day to honor
the memory of so many Indonesians who have sacrificed on behalf of this great
country. (Applause.)
When I moved to Jakarta,
it was 1967, and it was a time that had followed great suffering and conflict
in parts of this country. And even though my stepfather had served in the
Army, the violence and killing during that time of political upheaval was
largely unknown to me because it was unspoken by my Indonesian family and
friends. In my household, like so many others across Indonesia, the
memories of that time were an invisible presence. Indonesians had their
independence, but oftentimes they were afraid to speak their minds about
issues.
In the years since then,
Indonesia has charted its own course through an extraordinary democratic
transformation -- from the rule of an iron fist to the rule of the
people. In recent years, the world has watched with hope and admiration
as Indonesians embraced the peaceful transfer of power and the direct election
of leaders. And just as your democracy is symbolized by your elected
President and legislature, your democracy is sustained and fortified by its
checks and balances: a dynamic civil society; political parties and
unions; a vibrant media and engaged citizens who have ensured that -- in
Indonesia -- there will be no turning back from democracy.
But even as this land of
my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about
Indonesia -- that spirit of tolerance that is written into your Constitution;
symbolized in mosques and churches and temples standing alongside each other;
that spirit that’s embodied in your people -- that still lives on.
(Applause.) Bhinneka Tunggal Ika -- unity in diversity. (Applause.)
This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why
Indonesia will play such an important part in the 21st century.
So today, I return to
Indonesia as a friend, but also as a President who seeks a deep and enduring
partnership between our two countries. (Applause.) Because as vast
and diverse countries; as neighbors on either side of the Pacific; and above
all as democracies -- the United States and Indonesia are bound together by
shared interests and shared values.
Yesterday, President
Yudhoyono and I announced a new Comprehensive Partnership between the United
States and Indonesia. We are increasing ties between our governments in
many different areas, and -- just as importantly -- we are increasing ties
among our people. This is a partnership of equals, grounded in mutual
interests and mutual respect.
So with the rest of my
time today, I’d like to talk about why the story I just told -- the story of
Indonesia since the days when I lived here -- is so important to the United
States and to the world. I will focus on three areas that are closely
related, and fundamental to human progress -- development, democracy and
religious faith.
First, the friendship
between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in
development.
When I moved to
Indonesia, it would have been hard to imagine a future in which the prosperity
of families in Chicago and Jakarta would be connected. But our economies
are now global, and Indonesians have experienced both the promise and the
perils of globalization: from the shock of the Asian financial crisis in
the ‘90s, to the millions lifted out of poverty because of increased trade and
commerce. What that means -- and what we learned in the recent economic
crisis -- is that we have a stake in each other’s success.
America has a stake in
Indonesia growing and developing, with prosperity that is broadly shared among
the Indonesian people -- because a rising middle class here in Indonesia means
new markets for our goods, just as America is a market for goods coming from
Indonesia. So we are investing more in Indonesia, and our exports have
grown by nearly 50 percent, and we are opening doors for Americans and
Indonesians to do business with one another.
America has a stake in
an Indonesia that plays its rightful role in shaping the global economy.
Gone are the days when seven or eight countries would come together to
determine the direction of global markets. That’s why the G20 is now the
center of international economic cooperation, so that emerging economies like
Indonesia have a greater voice and also bear greater responsibility for guiding
the global economy. And through its leadership of the G20’s
anti-corruption group, Indonesia should lead on the world stage and by example
in embracing transparency and accountability. (Applause.)
America has a stake in
an Indonesia that pursues sustainable development, because the way we grow will
determine the quality of our lives and the health of our planet. And
that’s why we’re developing clean energy technologies that can power industry
and preserve Indonesia’s precious natural resources -- and America welcomes
your country’s strong leadership in the global effort to combat climate
change.
Above all, America has a
stake in the success of the Indonesian people. Underneath the headlines
of the day, we must build bridges between our people, because our future
security and prosperity is shared. And that is exactly what we’re doing
-- by increasing collaboration among our scientists and researchers, and by
working together to foster entrepreneurship. And I’m especially pleased
that we have committed to double the number of American and Indonesian students
studying in our respective countries. (Applause.) We want more
Indonesian students in American schools, and we want more American students to
come study in this country. (Applause.) We want to forge new ties
and greater understanding between young people in this young century.
These are the issues
that really matter in our daily lives. Development, after all, is not
simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about
whether a child can learn the skills they need to make it in a changing
world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business,
and not suffocated by corruption. It’s about whether those forces that
have transformed the Jakarta I once knew -- technology and trade and the flow
of people and goods -- can translate into a better life for all Indonesians,
for all human beings, a life marked by dignity and opportunity.
Now, this kind of
development is inseparable from the role of democracy.
Today, we sometimes hear
that democracy stands in the way of economic progress. This is not a new
argument. Particularly in times of change and economic uncertainty, some
will say that it is easier to take a shortcut to development by trading away
the right of human beings for the power of the state. But that’s not what
I saw on my trip to India, and that is not what I see here in Indonesia.
Your achievements demonstrate that democracy and development reinforce one
another.
Like any democracy, you
have known setbacks along the way. America is no different. Our own
Constitution spoke of the effort to forge a “more perfect union,” and that is a
journey that we’ve traveled ever since. We’ve endured civil war and we
struggled to extend equal rights to all of our citizens. But it is
precisely this effort that has allowed us to become stronger and more
prosperous, while also becoming a more just and a more free society.
Like other countries
that emerged from colonial rule in the last century, Indonesia struggled and
sacrificed for the right to determine your destiny. That is what Heroes
Day is all about -- an Indonesia that belongs to Indonesians. But you
also ultimately decided that freedom cannot mean replacing the strong hand of a
colonizer with a strongman of your own.
Of course, democracy is
messy. Not everyone likes the results of every election. You go
through your ups and downs. But the journey is worthwhile, and it goes
beyond casting a ballot. It takes strong institutions to check the power
-- the concentration of power. It takes open markets to allow individuals
to thrive. It takes a free press and an independent justice system to
root out abuses and excess, and to insist on accountability. It takes
open society and active citizens to reject inequality and injustice.
These are the forces
that will propel Indonesia forward. And it will require a refusal to
tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to
transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a
belief that the freedom of Indonesians -- that Indonesians have fought for is
what holds this great nation together.
That is the message of
the Indonesians who have advanced this democratic story -- from those who
fought in the Battle of Surabaya 55 years ago today; to the students who
marched peacefully for democracy in the 1990s; to leaders who have embraced the
peaceful transition of power in this young century. Because ultimately,
it will be the rights of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara
that stretches from Sabang to Merauke, an insistence -- (applause) -- an
insistence that every child born in this country should be treated equally,
whether they come from Java or Aceh; from Bali or Papua.
(Applause.) That all Indonesians have equal rights.
That effort extends to
the example that Indonesia is now setting abroad. Indonesia took the
initiative to establish the Bali Democracy Forum, an open forum for countries
to share their experiences and best practices in fostering democracy.
Indonesia has also been at the forefront of pushing for more attention to human
rights within ASEAN. The nations of Southeast Asia must have the right to
determine their own destiny, and the United States will strongly support that
right. But the people of Southeast Asia must have the right to determine
their own destiny as well. And that’s why we condemned elections in Burma
recently that were neither free nor fair. That is why we are supporting
your vibrant civil society in working with counterparts across this
region. Because there’s no reason why respect for human rights should
stop at the border of any country.
Hand in hand, that is
what development and democracy are about -- the notion that certain values are
universal. Prosperity without freedom is just another form of
poverty. Because there are aspirations that human beings share -- the
liberty of knowing that your leader is accountable to you, and that you won’t
be locked up for disagreeing with them; the opportunity to get an education and
to be able to work with dignity; the freedom to practice your faith without
fear or restriction. Those are universal values that must be observed
everywhere.
Now, religion is the
final topic that I want to address today, and -- like democracy and development
-- it is fundamental to the Indonesian story.
Like the other Asian
nations that I’m visiting on this trip, Indonesia is steeped in spirituality --
a place where people worship God in many different ways. Along with this
rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population -- a
truth I came to know as a boy when I heard the call to prayer across
Jakarta.
Just as individuals are
not defined solely by their faith, Indonesia is defined by more than its Muslim
population. But we also know that relations between the United States and
Muslim communities have frayed over many years. As President, I have made
it a priority to begin to repair these relations. (Applause.) As
part of that effort, I went to Cairo last June, and I called for a new
beginning between the United States and Muslims around the world -- one that
creates a path for us to move beyond our differences.
I said then, and I will
repeat now, that no single speech can eradicate years of mistrust. But I
believed then, and I believe today, that we do have a choice. We can
choose to be defined by our differences, and give in to a future of suspicion
and mistrust. Or we can choose to do the hard work of forging common
ground, and commit ourselves to the steady pursuit of progress. And I can
promise you -- no matter what setbacks may come, the United States is committed
to human progress. That is who we are. That is what we’ve
done. And that is what we will do. (Applause.)
Now, we know well the
issues that have caused tensions for many years -- and these are issues that I
addressed in Cairo. In the 17 months that have passed since that speech,
we have made some progress, but we have much more work to do.
Innocent civilians in
America, in Indonesia and across the world are still targeted by violent
extremism. I made clear that America is not, and never will be, at war
with Islam. Instead, all of us must work together to defeat al Qaeda and
its affiliates, who have no claim to be leaders of any religion –-- certainly
not a great, world religion like Islam. But those who want to build must
not cede ground to terrorists who seek to destroy. And this is not a task
for America alone. Indeed, here in Indonesia, you’ve made progress in
rooting out extremists and combating such violence.
In Afghanistan, we
continue to work with a coalition of nations to build the capacity of the
Afghan government to secure its future. Our shared interest is in
building peace in a war-torn land -- a peace that provides no safe haven for
violent extremists, and that provide hope for the Afghan people.
Meanwhile, we’ve made
progress on one of our core commitments -- our effort to end the war in
Iraq. Nearly 100,000 American troops have now left Iraq under my
presidency. (Applause.) Iraqis have taken full responsibility for
their security. And we will continue to support Iraq as it forms an
inclusive government, and we will bring all of our troops home.
In the Middle East, we
have faced false starts and setbacks, but we’ve been persistent in our pursuit
of peace. Israelis and Palestinians restarted direct talks, but enormous
obstacles remain. There should be no illusion that peace and security
will come easy. But let there be no doubt: America will spare no
effort in working for the outcome that is just, and that is in the interests of
all the parties involved -- two states, Israel and Palestine, living side by
side in peace and security. That is our goal. (Applause.)
The stakes are high in
resolving all of these issues. For our world has grown smaller, and while
those forces that connect us have unleashed opportunity and great wealth, they
also empower those who seek to derail progress. One bomb in a marketplace
can obliterate the bustle of daily commerce. One whispered rumor can
obscure the truth and set off violence between communities that once lived
together in peace. In an age of rapid change and colliding cultures, what
we share as human beings can sometimes be lost.
But I believe that the
history of both America and Indonesia should give us hope. It is a story
written into our national mottos. In the United States, our motto is E
pluribus unum -- out of many, one. Bhinneka Tunggal Ika --
unity in diversity. (Applause.) We are two nations, which have
traveled different paths. Yet our nations show that hundreds of millions
who hold different beliefs can be united in freedom under one flag. And
we are now building on that shared humanity -- through young people who will
study in each other’s schools; through the entrepreneurs forging ties that can
lead to greater prosperity; and through our embrace of fundamental democratic
values and human aspirations.
Before I came here, I
visited Istiqlal mosque -- a place of worship that was still under
construction when I lived in Jakarta. And I admired its soaring minaret
and its imposing dome and welcoming space. But its name and history also speak
to what makes Indonesia great. Istiqlal means independence, and
its construction was in part a testament to the nation’s struggle for
freedom. Moreover, this house of worship for many thousands of Muslims
was designed by a Christian architect. (Applause.)
Such is Indonesia’s
spirit. Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila.
(Applause.) Across an archipelago that contains some of God’s most
beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people
choose to worship God as they please. Islam flourishes, but so do other
faiths. Development is strengthened by an emerging democracy.
Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.
That is not to say that
Indonesia is without imperfections. No country is. But here we can
find the ability to bridge divides of race and region and religion -- by the
ability to see yourself in other people. As a child of a different race
who came here from a distant country, I found this spirit in the greeting that
I received upon moving here: Selamat Datang. As a Christian
visiting a mosque on this visit, I found it in the words of a leader who was
asked about my visit and said, “Muslims are also allowed in churches. We
are all God’s followers.”
That spark of the divine
lives within each of us. We cannot give in to doubt or cynicism or
despair. The stories of Indonesia and America should make us optimistic,
because it tells us that history is on the side of human progress; that unity
is more powerful than division; and that the people of this world can live
together in peace. May our two nations, working together, with faith and
determination, share these truths with all mankind.
Sebagai
penutup, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: terima kasih
atas. Terima kasih. Assalamualaikum. Thank you.
END
10:31 A.M. WIT
(Distributed by the
Bureau of International Information Programs, U.S. Department of State. Web
site: http://www.america.gov)
Langganan:
Postingan (Atom)