Tulisanku ini tidak hanya untuk mereka yang sudah berkeluarga. Namun, ini bisa untuk pembelajaran hidup bagi yang masih remaja atau yang sudah siap-siap berkeluarga.  Yang jelas, tak ada seorang pun yang ingin hidup menderita, kacau, berantakan dalam rumah tangga. Kehidupan  yang harmonis, tenteram dan damai dalam keluarga dapat diibaratkan "kehidupan laksana di rumah syurga" atau istilah kerenya itu "home sweet home" atau juga "baitii jannatii". Sebaliknya rumah tangga yang jauh dari keharmonisan, ketentraman, keberkahan laksanan hidup dalam neraka.
            Apakah tulisanku ini hanya teori atau dengan kata lain hanya dalam awang-awang alias cuma dalam impian?
      Tentu tidak, sobat!. Aku telah menikah  sejak Desember 1998, bukan bermaksud menyombongkan diri, merasa sudah  berpengalaman sekitar 15 tahun. Dan kehidupan kami  Insya Allah sangat tenteram, bahagia dan dalam keharmonisan. Mungkin pembaca bertanya-tanya, lha Maskatno Giri hidupnya kaya-raya!. Tidak sobat! hidupku sederhana saja. Aku adalah  seorang guru bukan pejabat, aku satu-satunya pencari  nafkah dalam keluarga. Istriku  satu sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan anakku empat dan ditambah lagi ada  seorang ibu kandungku yang tinggal bersamaku. Jadi  penghasilanku untuk  tujuh  manusia. Jadi untuk hidup laksana di syurga tidak perlu kaya raya.
        Tahukah sobat !. Seseorang yang telah menikah  tentunya menginginkan  kehidupan   rumah tangga
 yang harmonis, tentram, damai, rukun dll.  Maka yang harus dipikirkan pertama kali  adalah 
bagaimana melakukan  harmonisasi hubungan  rumah tangga (baca:suami-istri). Kalau hanya berteori, setiap orang bisa dan gampang. Perlu diingat bahwa  anak-anak akan memperhatikan dan meniru  keharmonisan dan kebaikan ortunya.  Kenyataanya menjaga  
keharmonisan pasangan  suami-istri (pasutri) tidaklah semudah  
membalikkan telapak tangan, dibutuhkan ilmu,  usaha dan pengorbanan.
         Sebelum membicarakan  tip-tip untuk membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis. Kita perlu memastikan bahwa kita memiliki niat yang benar bahwa hidup di dunia hanya sekali, kita  (suami dan istri) harus berniat memiliki keluarga  yang baik, harmonis, tenteram, berkah dll. Jadi NIAT yang baik itu 'Harus".
      Berikut ini adalah sepuluh  tip  mewujudkan keharmonisan dalam rumah tangga yang telah aku praktikan dan tip-tip berikut ini pun sering dibahas dalam berbagi versi buku tentang rumah tangga,  salah satunya  telah  ditulis Wafaa‘  Muhammad, dalam kitabnya versi terjemahan on line Kaifa  Tushbihina Zaujah Rumansiyyah. Tip-tip menuju keluarga harmonis, tenteram dan bahagia:
1. Berupaya saling mengenal dan memahami
      Perbedaan
  lingkungan dan kondisi tempat suami atau istri tumbuh  sangat 
berpengaruh  dalam pembentukan ragam selera, perilaku, dan sikap  yang 
berlainan pada  setiap pihak dari yang lain. Hal itu merupakan  
kewajiban setiap pasutri  untuk memahami keadaan ini dan berusaha  
mengetahui serta mengenal pihak  lain yang menjadi pasangan hidupnya.  
Mereka juga harus mengetahui semua  hal yang berkaitan dengan situasi  
kehidupan yang mempengaruhi, sehingga  dapat maju ke depan dan  
mewujudkan keharmonisan.
2. Perasaan  timbal-balik
       Suami
 dan istri adalah partner dalam satu  kehidupan yang direkatkan  dalam 
tali pernikahan; satu ikatan suci yang  mempertemukan keduanya.  Tak 
pelak lagi, keduanya harus berbagi  suka-duka; membagi kesedihan dan  
kegembiraan bersama. Keduanya saling  berkelindan untuk menyongsong  
satu cita-cita luhur yaitu mewujudkan  tatanan kehidupan berdasarkan  
aturan Allah dan Rasul-Nya. Untuk memupuk  kasih sayang di masing-masing
  pihak, suami membutuhkan cinta istri, dan  istri pun membutuhkan cinta
  suami.
…Suami dan istri harus  berbagi suka-duka, membagi kesedihan dan  kegembiraan bersama…
 
3.  Setiap pihak harus hormat
       Ketika
 suami atau istri memasuki  rumahnya, maka dia layak  mendapatkan 
penghormatan dan apresiasi dari  pasangannya. Hal itu  bertujuan untuk 
menjaga harkat dan mengangkat  prestise pasutri,  sehingga masing-masing
 merasa nyaman untuk membangun  rumah tangga  harmonis. Dalam hal ini, 
sudah menjadi kewajiban pasutri  untuk mencari  poin-poin positif yang 
dimiliki masing-masing untuk  digunakan sebagai  penopang sikap saling 
menghormati.
4.  Berusaha membahagiakan  pasangannya
     Dalam
 kehidupan keluarga,  bahkan dalam kehidupan sosial secara  general, 
jika seseorang berusaha  mengedepankan dan mengutamakan orang  lain dari
 dirinya sendiri, maka  berarti dia telah menanam benih-benih  cinta dan
 kedekatan kepada semua  orang di sekelilingnya.
    Dengan demikian, 
setiap pasutri  disarankan untuk senantiasa  menyenangkan pasangannya, 
dan mendahulukan  serta mengutamakannya dari  dirinya sendiri, demi 
memperkukuh ikatan  cinta kasih di antara  keduanya. Pasalnya, ketika 
suami melihat istri  membaktikan diri untuk  menyenangkan dirinya, 
tentunya dia akan melakukan  sesuatu yang bisa  membuat senang dan 
gembira hati istri. Hal itu  dilakukannya untuk  membalas kebaikan 
istrinya, atau setidaknya sebagai  pengakuan atas  kebaikan tersebut.
5. Mengatasi persoalan  bersama
       Pernikahan
 merupakan bentuk relasi partnership dan  partisipasi.  Partnership yang
 berdiri di atas landasan kesamaan tujuan,  cita-cita,  sikap, intuisi 
dan perasaan, serta kolaborasi dan solidaritas  dalam  memecahkan setiap
 persoalan. Setiap masalah yang timbul dalam  kehidupan  suami-istri, 
maka masalah itu dilihat sebagai suatu kecemasan   kolektif.
…Setiap masalah yang timbul dalam kehidupan  suami-istri, harus  dipandang sebagai suatu kecemasan kolektif…
 
       Paradigma
  demikian memicu suami agar berusaha bekerja keras dalam  rangka  
memberikan kehidupan mulia bagi istri dan anak-anaknya. Pun  demikian,  
istri akan berusaha menjalankan urusan rumah tangga sesuai  prosedur 
yang  disepakati bersama. Upaya yang dilakukan oleh suami dan  istri 
tersebut  merupakan solusi untuk memecahkan masalah bersama. Pun  
demikian, baik  suami maupun istri tidak perlu menyembunyikan  
problemnya, bahkan  diperlukan kejujuran dan transparansi demi  
menumbuhkan benih-benih  kepercayaan dan saling pengertian, sehingga  
mudah menemukan solusi. Bisa  jadi, permasalahan memiliki dampak positif
  untuk meneguhkan ikatan  suami-istri.
6. Sikap qana’ah (bersyukur dengan apa yang telah diterima)
      Di antara  tanda keharmonisan cinta pasutri adalah sikap merasa puas  dengan yang  ada (qana’ah);
 merasa puas dengan prasarana hidup  yang tersedia.  Kelanjutan sikap 
manja, kebiasan hidup serba ada, boros  dan berfoya-foya  pada masa 
kecil atau remaja termasuk salah satu faktor  yang memicu  pertikaian 
pasutri. Sikap demikian berlawanan dengan  kedewasaan yang  menuntut 
pandangan realistis tentang kehidupan. Hal-hal  picisan dan  glamor yang
 digembar-gemborkan media publikasi sejatinya  tidak akan  menciptakan 
kebahagiaan. Karena kebahagiaan sejati memancar  dari hati  dan jiwa 
terdalam, bukan bertolak dari aspek-aspek materi  yang justru  memicu 
kesenjangan dan konflik pasutri.
7. Sikap toleransi  kedua belah pihak
       Sungguh 
 sangat tidak logis jika setiap  pihak mengharapkan perilaku  ideal 
permanen dari pasangannya dalam  hubungan rumah tangga, karena  menurut 
tabiatnya, manusia kadang salah  dan benar. Suami atau istri  kadang 
lupa dan khilaf sehingga kerap  mengulangi kesalahan serta  
kekeliruannya. Dia mungkin melakukan  kesalahan karena ketidaktahuan,  
dan mengulanginya tanpa disadarinya.  Jika setiap pihak berkeinginan  
untuk menghukum, menghakimi, atau  membalas dendam untuk setiap  
kesalahan yang dilakukan pasangannya, maka  berarti dia merusak fondasi 
 keharmonisan rumah tangga.
…Kesalahan  tidak perlu 
diikuti dengan tekanan, cacian, dan  intimidasi, terutama  jika 
kesalahan itu tidak berkaitan dengan  norma-norma keislaman…
 
       Jika
 kita mencela segala hal, maka kita tidak akan menemukan sesuatu   yang 
tidak kita cela. Melakukan kesalahan adalah hal lumrah yang hanya   
membutuhkan pelurusan, pengarah, dan petunjuk, yang dibarengi dengan   
sikap penyesalan dan keinginan untuk berubah lebih baik. Kesalahan tidak
   perlu diikuti dengan tekanan, cacian, dan intimidasi, terutama jika  
 kesalahan itu tidak berkaitan dengan norma-norma keislaman. Yakinlah   
bahwa seseorang tidak akan kehabisan cara yang sesuai untuk mengoreksi  
 kesalahan dan penyimpangan pasangannya. Jalan terbaik dalam hal ini   
adalah nasihat yang tenang dan membuat pasangannya merasa bahwa hal itu 
  adalah untuk kebaikan diri dan keluarganya.
8. Mengutamakan komunikasi secara terus-terang
     Sikap
 terus terang, kejujuran, dan keberanian adalah kunci   kebahagiaan 
kehidupan rumah tangga yang tidak mungkin nihil dari   kesalahan. Dalam 
artian, jika Anda melakukan kesalahan, maka yang harus   Anda lakukan 
adalah bergegas meminta maaf, berani mengakuinya, dan   berjanji tidak 
akan mengulanginya lagi di kemudian hari. Sikap tersebut   sama sekali 
tidak berarti menistakan status dan harga diri Anda. Hal  itu  justru 
mendorong pihak lain untuk menghormati, mempercayai, dan   memaafkan 
Anda.
9. Kepedulian dan solidaritas
        Bagian 
 fragmen terindah kehidupan rumah tangga adalah kepedulian dan   
solidaritas yang dilakoni suami atau istri dalam menghadapi kesulitan   
dengan kesabaran dan perjuangan luar biasa. Tatkala istri berdiri di   
samping suaminya, maka suami akan merasa kuat dan penuh percaya diri,   
begitu juga sebaliknya. Ketika istri atau suami merasakan bahwa   
pasangannya merasa kuat dan percaya diri, maka dia akan merasa jiwanya  
 diliputi kedamaian dan ketenteraman. Sisi ini pada kenyataannya   
merupakan esensi pernikahan dan integrasi batin di antara kedua belah   
pihak.
10. Kearifan
        Kearifan satu sama lain
 –hingga  pada situasi yang paling suram—  membantu meletakkan fondasi 
kukuh  keharmonisan. Bisa jadi, dikarenakan  sebuah kesalahan, suami 
atau istri  memiliki kemampuan hebat untuk  mencelakai pasangannya, 
hanya saja  kearifan mencegahnya melakukan hal  itu. Kearifan 
memperkokoh semangat  kesepahaman di antara keduanya. Atau  salah satu 
pasutri mungkin merasa  lebih berhak dalam hal tertentu,  namun setelah 
berpikir ulang tentang  hal itu, dia tidak lagi keukeuh mempertahankan pendapatnya yang  bisa memicu friksi.