Hidup mulia dengan hati mulia. Betapa luar biasanya Anda, karena Anda memiliki hati yang mulia. kemuliaan hati tak ternilai harganya. Walau Anda barangkali hidup dalam kemiskinan tetapi berkat kemuliaan hati Anda, Anda tetap sabar dan bertawakal tanpa bersangka buruk kepada Allah dan makhluqnya.
Kita bisa belajar ke banyak orang, barangkaki mereka yang terlihat keren dengan wajahnya yang tampan atau mungkin sangat nampak pisik prima karena didukung modal melimpahnya harta. Namun, banyak manusia jenis yang disebutkan tadi justru merusak diri sendiri dan orang lain. Kerusakannya nampak seperti kerakusannya, kesombongannya, dan ketidakpeduliaanya kepada orang lain. Inilah bukti orang yang sebenarnya jauh dari hidup mulia karena hatinya yang jauh dari kemuliaan .
Kemuliaan, keselamatan, kelurusan, kebersihan,dan keikhlasan hati dalam bahasa agama Islam lazim dikenal sebagai qolbun salim Kata ini berasal dari dua kata
bahasa Arab, yaitu qolbun (hati) dan salim (mulia, bersih, suci dan lurus).
Jika kedua kata ini digabungkan, maka akan membentuk arti ‘hati yang
lurus, bersih, suci dan ikhlas dalam segala gerak, pikiran, perasaan,
perbuatan dan lain sebagainya hanya kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an,
Allah menyebut istilah qolbun salim sebanyak dua kali. Dan keduanya
menggambarkan tentang hatinya nabi Ibrahim as. :
1. Dalam QS. Asy Syu'ara : 87 – 89
“Dan
janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (yaitu) di
hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang
yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
2. Dalam QS. Ash-shaffaat : 83 – 85
“Dan
sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh). (Ingatlah)
ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (Ingatlah)
ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya: "Apakah yang kamu sembah
itu?”
Jika kita
renungkan, sebenarnya Allah SWT menginginkan agar seluruh
hamba-hamba-Nya dapat memiliki hati yang mulia/selamat/ bersih, yang dapat mengantarkan
mereka pada surga Allah SWT, sekaligus untuk menyempurnakan segala
kenikmatan yang diberikan kepada seluruh hamba-hamba-Nya. Dan untuk
menyucikan hati manusia, Allah menurunkan Al-Qur’an (agama Islam), guna
dijadikan pedoman hidup manusia: (QS. Al maaidah : 6)
“Allah
tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan ni`mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Hati mulia adalah hati yang penuh kesyukuran. Namun
untuk memiliki hati yang bersih, kita terlebih dahulu harus mengetahui
seluk beluk hati manusia, sifat-sifatnya dan juga godaan-godaan yang
dapat menghanyutkannya. Hati ini merupakan pusat jiwa manusia, yang
apabila hatinya baik, maka insya Allah akan baik pula seluruh tubuhnya,
dan jika hatinya buruk, maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dari
Abdullah bin Nu’man ra, Rasulullah SAW bersabda:
أَلاَ
وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ
“…ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat sekerat darah, yang apabila
ia baik maka baik pula seluruh jasadnya. Dan apabila ia rusak, maka
rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa sekerat darah tersebut
adalah hati. (HR. Bukhari Muslim)
Dari
hadits di atas kita dapat memetik satu kesimpulan, yaitu bahwa hati
ternyata laksana nahkoda sebuah bahtera. Dimana arah tujuan dari bahtera
tersebut sangat ditentukan oleh sang nahkoda. Jika nahkodanya memiliki
niatan dan tujuan yang baik, insya Allah akan membawa bahtera tersebut
ke arah yang baik. Sebaliknya, jika ia memiliki tujuan yang jahat, maka
secara otomatis kapal tersebut sedang berjalan ke arah yang negatif.
Oleh karena itulah sangat penting bagi kita memiliki hati yang bersih
guna menjadikan kehidupan kita benar-benar sedang melaju ke arah yang
baik, yaitu keridhaan Allah SWT.
Imam
al-Ghazali mengungkapkan, “bahwa hati merupakan sesuatu yang paling
berharga dalam diri manusia. Karena dengan hatilah, seseorang mampu
mengenal Allah, beramal untuk mengharapkan ridha-Nya dan juga guna
mendekatkan diri kepada-Nya. Sedangkan jasad pada hakekatnya hanyalah
menjadi pelayan dan pengikut hati, sebagaimana seorang pelayan terhadap
tuannya.”
Namun
ternyata banyak rintangan untuk mendekatkan hati kepada Sang Pencipta.
Karena godaan syaitan sangat luar biasa terhadap diri manusia. Imam
Al-Ghazali menggambarkannya dengan sebuah benteng yang dikepung oleh
musuh yang berambisi memasuki dan menguasainya. Benteng tersebut sudah
barang tentu harus dijaga pintu-pintunya, guna menghindari desakan musuh
yang bergerak menyerbunya. Namun orang yang tidak mengetahui
pintu-pintunya sudah barang tentu tidak dapat menjaganya. Maka demikian
juga halnya dengan hati. Seseorang tidak mungkin dapat menjaganya bahkan
juga mengusir syaitan yang menyerangnya melainkan dengan mengetahui
pintu-pintu yang terdapat dalam hatinya tersebut. Pintu-pintu yang dapat
dimasuki syaitan diantaranya adalah:
- Iri hati
- Dengki
- Terlalu ambisi
- Emosi
- Hawa nafsu (kemaksiatan)
- Kemegahan (bermewah-mewah)
- Cinta (lawan jenis)
- Kesombongan
- Ketergesaan, dsb.
Rasulullah SAW sering mengungkapkan doa
yang cukup masyhur;
يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى دِيْنِكَ، وَيَا مُصَرِّفَ الْقُلُوْبِ صَرِّفْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Wahai
Pembolak balik hati, tetapkanlah hati kami dalam agama-Mu. Wahai
Pemutar balik hati, tetapkanlah hati kami untuk taat kepada-Mu.”
Beliau
yang telah di jamin dapat menapakkan kakinya dalam surga, masih dengan
khusyu’nya memanjatkan doa yang indah. Maka sebagai umat dan
pengikutnya, memanjatkan doa guna kelurusan hati merupakan hal yang
seyogyanya mendapatkan prioritas. Marilah sejenak kita meninggalkan
berbagai keegoisan hati dalam diri kita, baik politik, golongan,
jabatan, kekayaan dan sebagainya. Guna memasrahkan jiwa dan raga yang
ternyata sangat kecil dan tiada memiliki daya apapun juga di hadapan
Yang Maha Perkasa.
Sebagai
hamba Allah, hendaknya kita memohon dan memasrahkan hati kita kepada
Allah, agar hati ini terhindar dari noda-noda. Sehingga kita memiliki hati yang mulia/ menuju
keikhlasan-Nya yang abadi.