Rasa takut kupikir pernah dirasakan oleh hampir semua manusia normal. Namun, kalau terlalu sering ketakutan kupikir bisa menjadi masalah.
Akupun juga sering merasakan ketakutan di saat remaja. Bahkan rasa takut kadang masih saja ada walau saat ini aku sudah memiliki anak menginjak remaja. Mungkin pembaca bertanya takut kepada siapa?
Takut yang kumaksud di sini bukan kepada siapa-siapa, melainkan takut ketidakbahagiaan atau kesengsaraan di masa depan. Ketakutan sengsara di masa depan yang kubayangkan karena berbagi sebab: direndahkan orang karena tak mampu mandiri, kebodohan hingga menjadi bahan ejekan, kemiskinan yang layak dikasihani dll.
Oh, ternyata ketakutan atas kesengsaraan di masa depan berdampak positif juga. Dampak ketakutan tersebut membantuku rela berjuang dengan berlatih mandiri, mau belajar, tidak malas bekerja, tidak mudah menyerah, menjaga nama baik dan siap menahan diri dari godaan yang tidak baik,dan tidak bosan berdoa.
Saat usia yang sudah kepala empat sepertiku, ketakutan kurasa sangat perlu dipertahankan. Dan ketakutanku di sini tentu sedikit berbeda. Ketakutan tentu lebih komplek, karena di belakangku ada anak, istri, ortu, mertu, saudara dll.
Kini aku tinggal mengandalkan doa"Jangan biarkan generasiku lebih buruk dari aku Ya Allah!. . "Ya Allah semoga aku merasakan indahnya masa tua yang dikawal oleh istri dan anak-anak yang shalih dan shalihah".
Maka dengan rasa takut kesengsaraan di masa tua, aku tidak menntut menjadi manusia sempurna. Namun aku berusaha mendidik diri: menjadi teladan yang baik untuk putra-putri tercinta, terus menerus mau belajar, meningkatkan ibadah, mau refleksi diri, tidak mengumbar hawa nafsu, dan tentu berusaha tetap istiqomah dalam usaha dan doa dll.
Kini aku tinggal mengandalkan doa"Jangan biarkan generasiku lebih buruk dari aku Ya Allah!. . "Ya Allah semoga aku merasakan indahnya masa tua yang dikawal oleh istri dan anak-anak yang shalih dan shalihah".
Maka dengan rasa takut kesengsaraan di masa tua, aku tidak menntut menjadi manusia sempurna. Namun aku berusaha mendidik diri: menjadi teladan yang baik untuk putra-putri tercinta, terus menerus mau belajar, meningkatkan ibadah, mau refleksi diri, tidak mengumbar hawa nafsu, dan tentu berusaha tetap istiqomah dalam usaha dan doa dll.
Intinya melalui tulisan ini aku bisa merenung bahwa menjaga rasa takut itu perlu. Dengan rasa takut di sini ibaratnya aku memiliki rem atau pengendali. Lagi pula, aku pun harus sadar bahwa aku tidak hanya diawasi oleh anak- istri, tetangga kanan-kiri, dan lebih jauh lagi ada yang mengawasi yaitu DZAT yang tak pernah tidur di siang dan malam hari. Dia adalah Allah ilahi rabbi.